Trio Meong vs CJR kw 3
sumber gambar : argopura.blogspot.co.id
“Halah, malah hujan,” gerutu Citonk yang berdiri depan
rumah Pak Bau. Juru kunci jalur pendakian Selo. Gerimis turut mewarnai suasana kelabu yang telah lama melingkupi sekitar.
Saat ini kami sedang berada di
basecamp pendakian gunung Merbabu di dusun Tarubatang, desa Genting, kecamatan
Selo. Istirahat dulu lah, setelah tadi jalan dari Polres Selo (saat pendakian
kala itu belum ada kendaraan menuju ke sana).
“Kalau cuma hujan sih nggak masalah. Kabutnya itu lho nggak nguatin, tebal kebangetan!” tambahku.
“Hhh….” Citonk menghela nafas kemudian masuk menghampiri Pheenux yang sedang memasak
buat makan siang kami.
“Nasinya belum matang?” tanya Citonk.
Pheenux membuka tutup nasi, lalu mencicipinya. “Sebentar lagi.”
“Anak-anak pasti sudah mulai naik,” ujarku yang ikut duduk mengerubuti kompor menanti
hidangan dari Chef Pheenux.
“Kira-kira
bisa pas ketemu di puncak nggak ya?” desah Citonk.
“Nggak ada koordinasi, kemungkinannya kecil, Tonk.” balas Pheenux.
“Heh, ketawa sendiri.” tegur Citonk padaku.
“Nggak, cuma lucu aja. Akhirnya, bisa juga kita berangkat bertiga. Nekatzzz!”
“Habis Kunyit
nggak jelas infonya sih. Eh, kemarin dia ngajak kita naik mana?
Wekas atau Thekelan?”
“Wekas,” jawab Citonk. “Meragukan, nggak jelas mau beneran naik apa nggak. Daripada
kita telantar mending naik sendiri.”
“Dan kita ambil jalur Selo.”
“Mau gimana lagi, pusdok cuma
punya data pendakian lewat sini.” kata Pheenux.
“Judulnya cari yang praktis?” komentar Citonk.
“Aman juga dong!” imbuhku. “Jangan
sampai edisi pendakian ke Salak terulang lagi.”
“Sudah matang!” seru Pheenux. “Mari kita eksekusi!”
Kami pun
mulai sibuk membagi
jatah makan siang kali ini yang berupa
sayur sop dan tempe goreng. Sejak pukul setengah dua belas kami sudah nongkrong di rumah Pak Bau. Kalau tidak salah namanya Pak Warso.
Bagian depan rumah Pak Warso telah ter-setting sebagai tempat transit untuk para
pengunjung puncak Merbabu. Di situ terdapat area khusus bagi pendaki yang hendak bermalam. Siap pakai pokoknya, ada tiga hamparan tikar mengisi sudut ruang sebelah kanan.
Sebelah rumah Pak Warso, berdiri
mushola kecil yang dapat berfungsi sebagai tempat istirahat lain. Tentu jika
rumah Pak Warso telah penuh sesak tak mampu menampung pendaki yang lapar puncak.
Pak Warso sempat tidak percaya saat
menerima
kedatangan tiga cewek
yang mengaku
mau naik Merbabu tanpa kawalan
pejantan. Awalnya mungkin beliau pikir kami hanya bercanda, “Ah,
paling sudah janjian sama teman lain,” tapi, nyatanya… nihil. Berkali-kali Pak
Bau menghitung kami, jumlahnya tetap tiga. Kalau
sampai bertambah jadi empat, kami yang malah jadi merinding disko.
Fiuuh, Pak Bau akhirnya menyerah menunggu rombongan kami yang lain.
Dia pun cuma berpesan agar naik ketika kabut sudah hilang, sebab menurut beliau
bahaya kalau naik saat kabut. Kami
manggut-manggut. Paham
benar resiko mendaki dalam cuaca berkabut, kemungkinan tersesat besar. Modal kami menuju puncak
kan peta dan kompas. Bagaimana mau ormed (orientasi medan ) kalau kawasan
tertutup kabut.
“Pheen, sini biar aku yang cuci piring,” aku menawarkan diri ke sumber air. Sekalian mau ada urusan darurat sama
kamar mandi.
“Boleh, dengan senang hati!”
“Aku bantu, Sush.” Citonk menyusul keluar menuju kamar mandi
yang letaknya di belakang rumah, terpisah dari rumah induk. Sementara Pheenux tampak membereskan peralatan pendukung masak dan bahan makanan.
Pada akhirnya Citonk yang mencuci
semua peralatan. Yah, seperti yang aku bilang tadi, aku ada urusan dengan kakus
dulu. Begitu keluar, Citonk sudah kelar cuci-cucinya. Ah, leganya. Makasih ya,
Tonk!
“Ada pendaki turun tuh!” kata Citonk terlihat antusias ketika kami
sampai di teras rumah dengan menenteng piring dan gelas yang sudah bersih.
“Habis naik, Mas?” tanyaku basa-basi pada seorang anak yang duduk
beristirahat di halaman rumah Pak Bau.
“Iya,” jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Di atas gimana? Apa kabutnya tebal juga?” Citonk ikut mengintrogasi.
“Iya, lampu senter sampai nggak tembus.” jawab yang lain
yang memakai tutup kepala.
“Kalian mau naik?” tanya anak yang hidungnya tertempel plester.
“Iya, tapi nunggu kabut hilang.” sahut Citonk.
“Eh, cuma berdua?” tanyaku penasaran.
“Berlima. Yang tiga, itu mereka!” tiga orang pendaki
muncul lagi.
“Udah ketemu Bapak?” tanya salah seorang yang bertubuh tinggi
hitam dan baru datang.
“Belum, istirahat dululah,” sahut si hidung plester.
“Masuk aja!” ajak Citonk. “Daripada kehujanan gitu. Bapak ada kok.”
“Sebentar Mbak, istirahat dulu,” jawab yang lain.
“Oh ya udah, saya tinggal masuk.” pamitku menyusul Citonk yang sudah ngacir duluan.
Di dalam Pheenux dan Citonk sedang
mendiskusikan tentang keberangkatan kami nanti.
“Pokoknya kita tunggu sampai kabut reda.” ucap Pheenux pada Citonk.
“Meski sore sekali pun?” tanya Citonk.
“Kalau redanya sore, kita langsung cabut.” kata Pheenux mantap.
“Kalau pakai
target waktu, bisa-bisa baru dapat sepuluh langkah sudah langsung bangun
tenda.” celetukku. “Masih di jalan aspal pula, haha...”
“Kondisional,” balas Pheenux. “Maksimal
cabut jam tiga. Lewat jam itu kalau masih kabut, terpaksa nge-camp di sini.”
“Sepakat.”
“Permisi!” gerombolan anak-anak yang baru turun tadi masuk
base camp Pak Bau. “Bapak ada?” tanya salah seorang
yang ditunjuk sebagai jubir.
“Di dalam, Mas.” sahut Pheenux. “Ketok-ketok aja,”
Si jubir mengikuti saran Pheenux. Satu detik, dua, lima sampai satu menit tidak ada
tanda-tanda orang nongol dari dalam.
“Wah, kok sepi?”
Kami saling
berpandangan sejenak.
“Coba Tonk, kamu tengok ke dalam!” perintah Pheenux bossi.
“Sebentar,” Citonk menurut beranjak lalu melongok ruang
pribadi Pak Bau sambil terus memanggil-manggil dengan
suara yang lebih stereo.
“Bertiga aja?” tanya seorang yang berkulit putih.
“Iya,” jawab aku
dan Pheenux kompak.
“Berani?” ujarnya seakan meremehkan kemampuan kami.
Belum sampai kami menjawab tantangan
anak itu, Pak Bau muncul dan menyambut mereka dengan ramah.
Citonk
kembali pada kami yang sudah mulai packing carier masing-masing. Maksudnya biar nanti tinggal berangkat kalau
kabut sudah lenyap.
“Mbak, kami duluan!” seru si hidung plester setelah mereka beramah tamah sebentar dengan pemilik
rumah pada sudut kiri ruang yang terdapat seperangkat kursi panjang.
“Oh, iya ya!” sahut kami nyaris bersamaan.
“Langsung pulang?” tanya Pheenux. “Nggak mampir Merapi?”
“Waktunya nggak ada, udah ditunggu kuliah. Mari Mbak!” sahut anak yang pakai balaclava.
Mereka semua melambaikan tangan pada ketiga cewek yang
sedang ribut packing. Terpaksa kami menghentikan sejenak aksi beres-beres
tas lalu berdiri berjajar membalas lambaian kelima cowok yang lumayan kece.
Hampir saja aku ikut arus melaju ke
depan. Tarikan tangan dari Pheenux dan Citonk berhasil mengurungkan niat
membeoku.
“Lho, mau naik sekarang?” tanya Pak Warso setelah mengantar tamunya hingga teras depan.
“Yaaa, tergantung kabut, Pak. Kalau kabutnya hilang kami
langsung berangkat.” sahut Pheenux.
“Sepertinya hari ini akan kabut terus,” katanya. “Heran,
padahal kemarin cuaca cerah sekali.”
“Apa karena kami datang jadi berkabut begini, Pak.” sambarku.
Pak Warso tertawa. “Bisa jadi,” komentarnya. “Ya sudah, sekarang istirahat
saja dulu. Jangan sungkan-sungkan.”
“Iya Pak!” koor kami kompak mirip anak SD yang habis dikasih
instruksi sama Pak Guru.
“Sekarang mau ngapain lagi nih?” keluh
Pheenux berkacak pinggang. “Bosen.”
“Sepi, sepi,” timpalku.
Kami bertiga kompak duduk bersila menopang dagu menghadap
pintu ditemani segelas air teh dan sebungkus biscuit susu. Detik-detik berlalu.
“Keluar yuk!” ajak Citonk.
Acara bengong
massal berpindah ke teras depan yang berundak. Mata kami tidak lepas
memelototi kabut yang terus bergantungan di udara. Hujan tidak lagi turun.
Dalam hati kami terus memohon agar kabut segera disingkirkan dari pandangan.
“Mulai terang!” pekikku girang.
“Tunggu sebentar, serius nggak nih.” ucap Pheenux mencegah kegembiraanku.
Selama lima
belas menit menunggu dalam harap-harap cemas. Akhirnya cuaca semakin terlihat cerah.
Matahari rupanya sukses menembus pertahanan kabut yang mengitari desa terakhir ini.
“Siap-siap yuk!” ajakku bersemangat kuda. Ringkikannya bahkan terdengar menggugah sadar Citonk dan Pheenux yang
masih ragu-ragu dengan aura kasih, eh, aura wajah langit yang sendu malu.
“Jam berapa, Sush?” tanya Citonk.
“Jam dua,”
Khawatir si kabut berubah pikiran
kembali turun ke bumi, kami langsung memakai sepatu gunung menggusur alas kaki favorit, skandal
jepit_nama tren sandal jepit di luar peradaban. Menghabiskan
teh yang masih tersisa, lalu memasukkan biskuit yang tinggal tiga keping dalam kantung tas carier bagian
atas berdesakan dengan alas kaki merk
swallow.
Aku yang sudah
siap segera berderap menyongsong
mentari sang pahlawan kami. Jreng,
jreng....
Ini sungguh menggelikan. Sang kabut seakan tidak mengijinkan kami
berangkat sekarang. Tawaku pun menyembur seiring tatapan heran dari Pheenux dan
Citonk. Kesambet jin mana tuh anak? (apa yang akan terjadi selanjutnya ya, mereka jadi naik ke merbabu tak? tunggu kelanjutannya bulan depan^^)
0 komentar:
Post a Comment