RSS
Container Icon

The Three Mbakentir's ke Gunung Salak (katanya 7)

lanjutan...


Elang, Terdampar!



Dan samar-samar di antara kepulan asap ada semacam pergerakan dari sesuatu benda.

“Apa itu orang?” tanya Noly.

“Ngapain sih mereka?” tambah Dede.

“Katanya air belerang bisa buat penyembuhan, mungkin mereka sedang mengobati penyakit mereka.” jelas Citonk.

“Tahan sekali mereka dengan bau busuk ini,” ujar Kentang mau muntah.

“Makan siang yuk! Kita kan sudah sampai di tempat rekreasi kita. Tinggal acara makan-makannya nih.” usulku tertawa.

“Setuju!” sahut Ujang. “Tang, kompor keluarkan. Aku mau masak mie terenak sepanjang masa.”

Kenapa De, kok bengong jorok gitu?” tegur Pheenux ketika melihat Dede jongkok di tengah jalan sambil memandang ke arah datangnya kami tadi.

Luar biasa!” tanggapnya. “Nafasku bisa habis sebelum sampai ujung sana. ucap Dede sambil menunjuk ujung jalan jauh di atas kami.

Halah, lebay!” tuding Citonk.

Wah benar!” tanggapku setuju dengan Dede. “Tadi kita enak meluncur turun, baliknya hmmm, nikmat ditanggung kaki langsung linu.”

Kentang ikutan menghampiri jalur turun kami. “Wah, benar! Apa kita tidak usah pulang? Bikin perkampungan baru di sini. Aku sebagai kepala sukunya ya, wkwkkk....

Siapa yang mau jadi anak buahmu?” kata Pheenux mencibir.

“Teganya dirimu teganya, teganya….” Dede menyanyikan sebuah lirik lagu dangdut mewakili Kentang yang langsung menciut ke bawah semak-semak.

Ujang dan Ali tak peduli dengan celotehan kami. Mereka tampak sibuk memasak mie untuk makan siang kali ini.

“Sudah matang!” teriak Ujang sambil mengacungkan garpu yang dipegangnya. “Peni, ayok sini makan!”

“Kok yang ditawari cuma Pheenux?” protesku langsung mendekat ke Ujang dengan siap sedia senjata makan ditangan.

“Weiit, kamu ambil sendiri!” Ujang menjauhkan piring berisi mie dari jangkauanku.

“Ampun deh, ah! Yang punya yayang!” tanggapku sambil beringsut ke Ali yang langsung melahap mie dari nesting tempat masak ala gunung.

Tak lama kemudian kami sudah prasmanan makan bersama satu nesting berempat kecuali Ujang yang akhirnya makan sendiri karena Pheenux menolak mentah-mentah tawaran makan sepiring berdua.

Setelah kenyang kami sekali lagi memandang ke arah kawah ratu. Tak ada satu pun yang bernafsu turun lagi ke kawah. Mungkin karena sudah kenyang jadi malas jalan. Yang jelas aku agak kecewa karena bukan puncak Salak yang kami dapat tapi sebuah kawah yang katanya bisa memberi keberkahan. Ah, kalau begitu langsung pulang sajalah.

Hari itu kami kembali nge-camp di tempat semalam kami menginap, bumper. Rasa lelah memaksa seluruh isi tenda cepat hanyut dalam dunia mimpi, semua tertidur begitu saja. Tiba-tiba tengah malam Ujang berteriak hingga membangunkan seluruh isi tenda.

“Api, api, Cit, awas kepalamu!” teriak Ujang.

Bunyi gaduh, gedebak-gedebuk, bugh… orang mukul-mukul sesuatu seakan menggugah suasana malam yang sunyi.

“Kebakaran!” teriak Ali.

“Hah!” aku mengerjap-kerjapkan mata belum sadar apa yang terjadi, beberapa detik kemudian mataku melihat jelas bahwa kantung tidur yang dipakai buat alas tidur aku dengan Citonk berlubang kena bekas api.

“Coba tadi aku nggak terbangun. Kita semua pasti udah jadi manusia panggang.” ucap Ujang memeriksa tangannya yang memerah.

“Kayaknya enak,” celoteh Dede setengah terjaga setengah tidur, tanpa mendapat respon dari siapapun. Semua masih tercengang membayangkan yang Ujang katakan.

“Gimana sih?” tanya Citonk membuka keheningan.

“Lilin yang tadi ditaruh sini habis dan membakar tutup wadah makanmu Cit. Terus menular membakar kantung tidurmu. Rambutmu kena bakar sedikit tuh.” terang Ujang sambil meniup-niup tangannya yang kena luka bakar akibat terlalu bernafsu membinasakan kobar api. “Tanganku jadi korban nih.”

Sus, kita bawa obat luka bakar kan?” tanya Pheenux.

“Ada, sebentar. Di mana ya?”

“Belakang Teh Mei.” tunjuk Citonk.

“Tolong, Teh!”

“Ini!” sodor Mei.

“Eh, topi siapa nih? Tadi langsung aku ambil buat memadamkan api.” Ali memperlihatkan sebuah topi hitam yang menderita luka bakar juga.

“Wah, punyaku tuh!” aku Noly langsung mengambil dari tangan Ali dengan ekspresi berduka.

“Sori, darurat!”

Hhh... sudahlah, yang penting kita tidak mati konyol di sini,” katanya. “Tadi siapa sih yang tidur terakhir?”

“Nih, obatnya Jang!” aku menyodorkan salep luka bakar.

“Nggak tahu, yang jelas waktu aku ngobrol sama Dede, tiba-tiba aku berada di dunia antah berantah.” ungkap Kentang nyengir. “Selanjutnya ada orang teriak-teriak kebakaran.”

“Ah, kamu tuh!” kecam Noly. “Lain kali langsung matikan segala api yang ada  dalam tenda. Jadi tidak membahayakan seperti tadi.”

“Sudah, yang penting kita masih selamat.” Mei angkat bicara.

Suasana hening lagi. Satu-persatu kami tumbang kembali pada posisi meringkuk saling silang tidak karuan. (selanjutnya perjalanan pulang kami lebih mengenaskan. tunggu ya....)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS