Lanjutan...
Elang, Terdampar!
Setelah berkali-kali mendapat
penolakan akhirnya seorang sopir truk budiman bersedia
memberi tumpangan. Ujang dan Kentang
yang berjalan paling belakang mencomoti kami satu-persatu yang
terbagi menjadi beberapa kelompok.
Sayang, berkah tumpangan tidak dapat kami nikmati lama, baru saja kami mau meluruskan kaki,
ternyata sudah sampai pasar Cicurug. Mau bagaimana lagi? Tidak mungkin dong, membajak
truk sampai terminal Sukabumi, atau ke Bandung sekalian? Lebih sip lagi kalau servisnya langsung sampai ke
Purwokerto-Yogya. Memang truk nenek moyang Loe?
Mustahil, sebab begitu tiba di pasar Cicurug kami langsung dilempar keluar truk.
Setelah mengucap terimakasih ribuan
kali dan sampai pak sopir capek meladeni dengan segera tancap gas, kami mencari
bus ke Sukabumi. Untuk mengusir gundah ketiadaan uang, kami bernyanyi-nyanyi
riang di jok belakang. Untung tidak ada yang menimpuk pakai sandal, karena
suara amburadul yang tercipta benar-benar memekakan telinga.
Mendekati terminal
Sukabumi kami diturunkan di jalan. Jangan merasa kasihan dulu, bukan hanya kami kok yang diusir keluar. Kata pak kondektur bus sih, mereka tidak ingin masuk terminal. Tidak tahu alasannya apa. Yang jelas sesuai rencana kami terus mencari kubah ATM. Demi penghematan, aku,
Mei ditemani Ali mendapat mandat sebuah misi suci menjadi The Seeker, pemburu ATM. Sisanya
mencari info perjalanan selanjutnya.
Tidak jauh dari dugaan, saat aku kembali dari
ATM dibelahan kota lain karena harus pakai angkot untuk menjangkaunya. Ujang
dan yang lain tampak duduk-duduk di trotoar sambil menyanyikan lagu kebangsaan
kami kali ini.
♪♫Aku
ingin terbang tinggi seperti elang… ini tanganku untuk kau cium, ini tubuhku untuk kau peluk tapi tak
bisa kau miliki….♫♪
Pukul enam sore kami sudah berganti tempat mangkal di stasiun Kiara
Condong. Pokoknya judul perjalanan kali
ini ‘menanti’. Menurut
informasi pukul setengah sepuluh kereta baru akan berangkat. Dan lagi-lagi kami terdampar sambil nyanyi-nyanyi di peron stasiun dekat WC. Lagunya
Elang lagi.
Pokoknya antara mulut dan perut sama
sekali tidak kompak. Mulut menyanyikan lagu pop, tapi perut memutar musik
keroncongan. Yang terdengar adalah lolongan antara bosan dan kelaparan. Mau beli makan, duit tidak ada. Jangankan
makan, minum saja terpaksa ambil air di bak WC, nekat ya? Dalam kondisi perut
lapar apa sih yang tidak masuk akal.
Aku mulai mengorek-korek semua kantong
baju. Tak lupa meminta Citonk dan Pheenux melakukan operasi kantong juga. Tanpa
diminta Mei ikut-ikutan merogoh-rogoh sakunya.
“Ini aku ada,” kata Teh Mei. “Mau buat
apa Sus?”
“Beli gorengan dan lontong. Lumayan
kan, buat ganjal perut.”
Dede yang duduk tak jauh dari
gerombolan cewek mengacungkan ibu jari. Gerak selanjutnya kami para cewek
beranjak keluar stasiun mencari gerobak gorengan.
Nah, saat beli gorengan inilah kami tak lupa meminta air
minum yang layak konsumsi. Cuma dapat satu botol sih, tapi terlalu lumayan bagi kami daripada air WC. Tentu dengan syarat minumnya hanya boleh satu
tutup botol per-anak. Kalau masih haus, ada tuh air WC. Kejaaam! Jerit para
pejantan.
Penderitaan kami belum berakhir. Dalam kereta pun kami harus rela duduk disambungan antar gerbong
depan pintu WC lagi. Maklumlah, kereta waktu itu padat amat. Amat saja tenang
kenapa kita tidak
tenang, selama ada gitar, mari kita bernyanyi riang. Semboyan Dede. Anggap saja
amal menghibur orang-orang yang duduk manis digerbong. Asyik! Pokoke jempole joged! (sayang, sekali lagi kami
harus menemui kemalangan. Pak Kondektur memergoki kami sebagai penumpang gelap, ada pak polisinya pula. Piye iki? Mau lari ke pantai atau ke hutan?)