RSS
Container Icon

Perjalanan Etape 9


*Menari Bersama Agas


Mataku seketika menuai pencerahan. Seluruh beban yang menghimpit luruh tertinggal dan tenggelam dalam alun gelombang mengayun laju perahu. Ombak kecil menggulung deru perahu hingga oleng menawarkan desiran pemacu adrenalin. Ini barulah sebuah awal dari balik ketegangan yang akan disajikan. Makanan pembuka yang menumbuhkan gairah tuk mencerna hidangan utama.
Sahabat, hari ini aku menantang kalian bercumbu dengan aroma laut bercampur geliat lumpur liat. Rawa, sebuah istilah yang akan membawa imaji pada tempat berlumpur dan terngiang kata buaya. Meski tak selamanya demikian. Justru rawa adalah hamparan tempat memikat yang tak kalah pamor dengan tonggak bebatuan menjulang berjuluk sang tebing perkasa. Walau pada kenyataannya jati dirinya tiada setenar rekan penyaji tantangan alam lainnya.
Inilah dirinya. Sang Tuan Rumah yang ‘ramah’. Segala ada tersedia dalam tatanan nan apik. Di awal langkah sambutan meriah kilauan air akan mengulum setiap jejak yang ditinggalkan. Bergelut dengan kaki-kaki terjerembab, membuka tabir jeruju yang mencolek genit dikulit, menepis sengatan pemilik cahaya abadi, berlomba dengan ratusan semut yang tiba-tiba berkeliaran dibadan atau menunggu cubitan mesra putri agas yang selalu merindu uluran tarian khasnya.
Inilah sepenggal kisah aku dan teman-temanku saat menyingkap tirai sangar yang memagari sisi perawan sang rawa.
Perahu mendaratkan kami dititik awal perjalanan. Kami berjajar satu lintas menerjang vegetasi daun-daun perepat yang rapat. Sungguh menghambat laju kaki meski telah diangkat tinggi. Aneka hijauan daun yang solid memayungi lumpur hingga tak menggigit kaki. Meski terkadang mereka nakal menjegal pijak ayunan tapak kami.
Penjelajahan terus berlangsung, sungai-sungai kecil memasang aliran dan harus kami lewati. Kadang kami dipaksa turun untuk menikmati romansa percik membasah. Tak jarang kami melompatinya dengan bangga. Dan ketika induk sungai marah menghadang derap laku kami, senyum lebar kami haturkan sebagai pembilas rona mengganas. Kami berusaha santun memenuhi alur penghantar ke sebrang. Berenang, disambut kembali himpunan lumpur pekat.
Malam mengganti selimut siang. Bercengkeramalah kami diantara dahan-dahan penyelamat hembusan gelombang pasang. Dalam hammock kami menidurkan badan yang letih hingga esok tiba menebar harum masakan di atas para-para, masih sebagai kawanan kera yang bergelantungan pada pohon-pohon pencakar.
Hari demi hari kami selami dengan riang. Tiba di sungai terakhir menghamburkan tubuh berpeluh lumpur. Satu tim perahu menyapa kami dalam reuni yang hangat. Sesaat kami mengenang gegap percumbuan kemarin. Kami tersenyum puas berhasil menelanjangi aura seram yang ia pancarkan. Tidak. Ia seorang kawan lama yang menyenangkan. Seorang pemberi kesan yang sempurna. Seorang penabur kenangan  manis yang terlupa.
Lihatlah kawan! Kamera waktu telah memproyeksikan kebersamaan kami. Saat-saat terindah… saat berkubang dalam jebakan lumpur, saat harus makan menelan lumpur, saat bayu menggoyang ayunan mimpi, saat putri agas merajuk mengajak berdansa dan… banyak lagi kenangan manis mengisi ruang ingatan. Begitu menggiurkan, teruntuk petualang yang lapar akan tantangan mendebarkan.
Bola merah pembias panas telah letih dan beranjak memasuki sarangnya. Kulihat burung bangau mengangkasa dengan ringan seakan mengenalkan bahwa inilah rumahnya. Belibis bercanda dengan kawanannya mengabarkan ini tempat singgah termewahnya. Peranakan bangsa kera menyanyi dengan jeritan bercerita bahwa di sinilah keturunan mereka dilahirkan untuk mendiami hamparan impian. Ku berseru dalam hati. Damailah kalian di sana. Jangan hiraukan kehadiran kami yang murni bukan hendak mengusik kalian. Kami datang tuk sekedar menjenguk, mengenal kalian dengan bendera persahabatan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS