*Menari
Bersama Agas
Mataku seketika menuai pencerahan. Seluruh beban yang menghimpit luruh
tertinggal dan tenggelam dalam alun gelombang mengayun laju perahu. Ombak kecil
menggulung deru perahu hingga oleng menawarkan desiran pemacu adrenalin. Ini
barulah sebuah awal dari balik ketegangan yang akan disajikan. Makanan pembuka
yang menumbuhkan gairah tuk mencerna hidangan utama.
Sahabat, hari ini aku menantang kalian bercumbu dengan aroma laut
bercampur geliat lumpur liat. Rawa, sebuah istilah yang akan membawa imaji pada
tempat berlumpur dan terngiang kata buaya. Meski tak selamanya demikian. Justru
rawa adalah hamparan tempat memikat yang tak kalah pamor dengan tonggak
bebatuan menjulang berjuluk sang tebing perkasa. Walau pada kenyataannya jati
dirinya tiada setenar rekan penyaji tantangan alam lainnya.
Inilah dirinya. Sang Tuan Rumah yang ‘ramah’. Segala ada tersedia dalam
tatanan nan apik. Di awal langkah sambutan meriah kilauan air akan mengulum
setiap jejak yang ditinggalkan. Bergelut dengan kaki-kaki terjerembab, membuka
tabir jeruju yang mencolek genit dikulit, menepis sengatan pemilik cahaya
abadi, berlomba dengan ratusan semut yang tiba-tiba berkeliaran dibadan atau
menunggu cubitan mesra putri agas yang selalu merindu uluran tarian khasnya.
Inilah sepenggal kisah aku dan teman-temanku saat menyingkap tirai sangar
yang memagari sisi perawan sang rawa.
Perahu mendaratkan kami dititik awal perjalanan. Kami berjajar satu
lintas menerjang vegetasi daun-daun perepat yang rapat. Sungguh menghambat laju
kaki meski telah diangkat tinggi. Aneka hijauan daun yang solid memayungi
lumpur hingga tak menggigit kaki. Meski terkadang mereka nakal menjegal pijak
ayunan tapak kami.
Penjelajahan terus berlangsung, sungai-sungai kecil memasang aliran dan
harus kami lewati. Kadang kami dipaksa turun untuk menikmati romansa percik membasah.
Tak jarang kami melompatinya dengan bangga. Dan ketika induk sungai marah
menghadang derap laku kami, senyum lebar kami haturkan sebagai pembilas rona
mengganas. Kami berusaha santun memenuhi alur penghantar ke sebrang. Berenang,
disambut kembali himpunan lumpur pekat.
Malam mengganti selimut siang. Bercengkeramalah kami diantara dahan-dahan
penyelamat hembusan gelombang pasang. Dalam hammock kami menidurkan badan yang
letih hingga esok tiba menebar harum masakan di atas para-para, masih sebagai
kawanan kera yang bergelantungan pada pohon-pohon pencakar.
Hari demi hari kami selami dengan riang. Tiba di sungai terakhir
menghamburkan tubuh berpeluh lumpur. Satu tim perahu menyapa kami dalam reuni
yang hangat. Sesaat kami mengenang gegap percumbuan kemarin. Kami tersenyum
puas berhasil menelanjangi aura seram yang ia pancarkan. Tidak. Ia seorang
kawan lama yang menyenangkan. Seorang pemberi kesan yang sempurna. Seorang
penabur kenangan manis yang terlupa.
Lihatlah kawan! Kamera waktu telah memproyeksikan kebersamaan kami.
Saat-saat terindah… saat berkubang dalam jebakan lumpur, saat harus makan
menelan lumpur, saat bayu menggoyang ayunan mimpi, saat putri agas merajuk
mengajak berdansa dan… banyak lagi kenangan manis mengisi ruang ingatan. Begitu
menggiurkan, teruntuk petualang yang lapar akan tantangan mendebarkan.
Bola merah pembias panas telah letih dan beranjak memasuki sarangnya.
Kulihat burung bangau mengangkasa dengan ringan seakan mengenalkan bahwa inilah
rumahnya. Belibis bercanda dengan kawanannya mengabarkan ini tempat singgah
termewahnya. Peranakan bangsa kera menyanyi dengan jeritan bercerita bahwa di
sinilah keturunan mereka dilahirkan untuk mendiami hamparan impian. Ku berseru
dalam hati. Damailah kalian di sana .
Jangan hiraukan kehadiran kami yang murni bukan hendak mengusik kalian. Kami
datang tuk sekedar menjenguk, mengenal kalian dengan bendera persahabatan.