Lanjutan...
Trio Meong vs CJR KW 4
Pagi ini begitu cerah, secerah wajah kami. Hari ini aku menjabat sebagai leader.
Jalur awal yang dilalui ternyata tidak
seberat sangkaan, banyak bonus yang membuat pergerakan menjadi cepat. Kondisi hutan
yang masih sedikit perawan menambah kesegaran tubuh.
Sesekali kami berpapasan dengan penduduk yang habis mencari kayu atau daun-daunan
untuk pakan ternak. Mereka begitu ramah menyapa pendatang, otomatis kami pun tak kalah ramah menebar senyum
semanis-manisnya.
Tiba di pertigaan, langkahku mulai ragu-ragu. Untuk memastikan aku segera mengeluarkan
peta. Ormed, ormed (orientasi medan).
“Ke kiri,” gumamku menentukan langkah. Tapi beberapa tapak kemudian
aku termangu,
lalu mengambil nafas sebanyak-banyaknya, “Tanjakan ala tangga, Bleh!”
“Habiskan!” balas Pheenux bersemangat.
“Serius nih kita habisi!” tanggapku masih menatap ke atas yang tidak terlihat ujungnya.
“Ayo, Sush!” Citonk ikutan bersemangat.
Kami lalu
meniti setiap pijakan tanah yang semakin ditapak semakin mengarah curam nyaris
menyentuh hidung.
“Sebentar lagi kayaknya datar!” laporku terengah-engah namun tetap melaju mencoba
mengalahkan rasa lelah.
Tiba di akhir
tanjakan.
“Lho!” pekikku kaget manakala mendapati dua mahluk yang tidak asing leyeh-leyeh bersandar pada tas masing-masing. Mereka itu rombongan cowok yang sudah berangkat jam setengah enam tadi.
“Masih di sini, tho?”
“Iya, kami habis buang bekal dalam perut.” jawab si imut. “Biar ringan.”
Seorang cowok yang memakai bandana berambut gondrong
diikat ekor kuda hanya tersenyum tipis. Penampilannya MAPALA banget. Paling
keren di antara ketiganya. Dan cowok itu seleranya Citonk!
“Yang satu lagi mana nih?” tanya Pheenux yang sudah ikut mengerumuni keduanya.
“Igit?” sahut
si imut. “Masih ada
keperluan.”
“Wah, aku lupa nih nama kalian.” ucapku terus terang. “Igit,
terus Mas?” tunjukku pada si imut. “Sori, aku rada amnesia kalau mengingat nama orang.”
“Aku Dino, dia Radit.” tunjuk Dino pada Radit si gondrong. “Sushi, Citonk sama Pheenux, kan?” Dino
menunjuk tim cewek satu persatu.
“Betul seratus!” balasku. Tepuk tangan
mengiringi nilai yang aku suguhkan.
Setelah dirasa cukup beristirahat, tim putri meminta
ijin untuk jalan duluan. Jalur berikutnya masih ngetrack berat. Kami terus melaju seakan tidak kenal sama
yang namanya Om Lelah. Pas nemu tempat ideal buat istirahat aku minta break
pada anggota rombongan lain. Sayangnya, yang ada di belakangku cuma Pheenux
seorang. Citonk tidak ada!
“Tercecer di mana tuh anak!” kata Pheenux nyengir memandangku yang tertawa geli.
“Tonk, hello genk!” kami pun memanggil-manggil Citonk. Tidak ada
balasan.
“Pheen, aku lihat ke bawah ya.”
“Mengkhawatirkan juga tuh anak.” timpal Pheenux yang bersedia menjaga barang bawaan.
Setelah melangkah turun setengah
berlari kurang lebih dua ratus meter, terlihat Citonk sedang
duduk bersandar pada carier sambil kipas-kipas pakai topinya.
“Lagi ngapain, Tonk?” sapaku setengah geli setengah
khawatir. “Kamu nggak pa-pa kan?”
“Sebentar, Sush.”
“Yuk! Aku bawakan cariernya, di atas ada tempat luas buat istirahat. Daripada
ditanjakan gini.” ucapku seraya mengangkat carier Citonk ke punggung.
Begitu sampai di tempat Pheenux, “Mana Citonk?”
“Hah?” aku jadi menengok ke
belakang. “Kirain tadi jalan ngikuti aku.” desahku menghempaskan tubuh bersama
carrier Citonk.
“Kumat
ngadatnya?” ujar
Pheenux.
Aku hanya
menggeleng sambil mengangkat bahu.
Pheenux berdiri melangkah turun. Tak berapa lama yang nongol malah trio Klaten.
“Citonk,
nampaknya kecapekan.” kata Dino setelah ber-say
hey. “Yang bawa carier Citonk kamu?” tanya Dino ketika menyadari aku
bersandar pada carrier Citonk.
Aku menanggapinya dengan meringis.
“Ckckck…” Igit berdecak kagum.
“Wow, dua kali naik turun?” tanggap Dino.
Tak lama muncullah Citonk yang tampak
kepayahan. Disusul Pheenux dan Radit.
“Sush, air di carier Citra pindah ke aku aja!” kata Pheenux langsung melangkah ke arahku.
Tanpa banyak komen aku segera
mengeluarkan satu buah jerigen berisi air, lalu
menyerahkan pada Pheenux.
“Benar juga mungkin dia keberatan,” komentar Dino yang
orangnya lebih bisa diajak komunikasi ketimbang dua orang rekannya yang
sepertinya tipe cowok dingin.
Perjalanan berlanjut kembali. Tentu saja
setelah memastikan Citonk siap melaju. Kami berenam
berjalan berurutan dengan rombongan
cewek berada di depan. Formasi tim putri berubah, Citonk ditaruh depan, takut
tercecer lagi.
Bonus jalur
datar membuat laju langkah menambah
kecepatan. Percakapan tak lupa kadang mengisi sela langkah kaki yang
terasa ringan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Sebuah tanjakan sudah menanti
kembali menantang dengan angkuh. Tanpa gentar kami lalu menapaki setapak demi setapak.
Dan entah kenapa, Citonk mendadak perkasa. Gara-gara Radit kali ya. Hihi… kayak habis dicash. Baterainya fit bener
sampai nggak ngedrop-ngedrop.
Sepengetahuan kami, Trio Klaten masih setia mengikuti
langkah ala badak.
Tapi ketika tiba di tempat datar lagi, ternyata mereka lenyap.
“Wah, kok ada yang tercecer lagi sih?” cetusku lalu meneguk air dari
botol.
“Tiga orang sekaligus malah” timpal Pheenux. “Perasaan
tadi mereka masih di belakang deh.”
Jangan-jangan... kok mendadak syerem yah? Kami bertiga saling berpandangan.
(kira-kira mereka_Trio Klaten menghilang kemana sih?)