RSS
Container Icon

My Coffee Story



Kopi Keliling Nusantara



 Sumber gambar : majalah.ottencoffee.co.id



Sayup-sayup denting lonceng telah terdengar dari tempatku biasa menunggu. Semakin dekat, gerudak bunyi gerobak turut mengiringi tiap suara pemanggil itu. Sosoknya yang tinggi kurus tampak timpang dari bentuk gerobaknya yang pendek tambun. Atas gerobak yang mirip meja datar akan penuh dengan perlengkapan pembuatan kopi saat dia mulai beraksi layaknya barista. Coffee dripper, hand grinder, filter paper dan french press timbul sebagai sarana penyeduh kopi. Peralatan pendukung seperti cup, timbangan, ketel leher angsa untuk mengontrol aliran air, termometer serta timer turut memenuhi meja berukuran 1 x 1,5 meter.
Aku pikir itu sangat merepotkan, memakan waktu dan tidak praktis. Tapi setelah mencecap kopinya segala penantian panjang kala dia harus mengeluarkan alat, menakar biji kopi, menggiling kopi hingga proses penyeduhan, ah, cita rasa yang tercipta sungguh luar biasa. Benar-benar fresh kopi, kalau boleh aku bilang demikian.
Mas Gota si barista keliling bahkan menunjukkan padaku aneka aroma kopi sangrai sebelum digiling dan setelah digiling. Hidungku yang tidak peka tak bisa membedakan secara jelas, namun menurutnya tiap kopi memiliki ciri khas aroma yang berbeda. Bila kopi Robusta beraroma kacang-kacangan, maka kopi Arabika cenderung memiliki aroma buah-buahan atau tergantung tempat tumbuhnya. Ada yang beraroma rempah diwakili kopi Mandheling, harum buah-buahan dapat tercium pada kopi Bali Kintamani, kopi Toraja menyebarkan wangi earthy, dan aroma gurih menguar dari kopi Aceh Gayo.
Satu hal lagi yang baru aku tahu, kadar kafein tinggi ternyata tidak menjamin kopi menjadi lebih enak. Semakin tinggi kadar kafein semakin pahit kopi tersesap. Kopi Arabika yang berkadar kafein 1,2 % lebih nikmat dibanding kopi Robusta yang kadar kafeinnya mencapai 2,2%.
Kata Mas Gota tak semua orang juga tahu mengenai empat varietas kopi di dunia. Selain kopi Arabika dan Robusta yang familiar ditelinga kita, ada kopi Excelsa, berikutnya kembaran Excelsa  kopi Liberica. Banyak yang salah menyamakan antara kedua kopi Afrika tersebut. Meski identik berat kopi Excelsa lebih ringan dari kopi Liberica yang merupakan kopi terbaik dunia. Untuk dua jenis kopi terakhir Mas Gota angkat tangan perihal rasa. Belum pernah mencicip.
Gerobak sepeda bertuliskan Kopi Keliling Nusantara pada tiap sisinya secara terpisah semakin dekat gardu ronda. Jam menunjukkan pukul delapan, dan hari ini jatahnya dia mangkal di pos kampling RT-ku.
Seperti aroma kopi yang telah sering kucecap, senyumnya berkibar menyapa dengan riang.
“Hari ini kopi apa, Mas?” tanyaku.
Mas Gota selalu datang membawa tema yang berbeda. Masih setia pada tiga macam racikan kopi hitam. Americano, Long Black dan kopi tubruk. Menurutnya teman ronda yang asyik so, pasti kopi hitam.
Americano dan Long Black berbasic espresso. Bedanya pada cara penyajian. Jika Long Black espresso-nya dituangkan ke air panas, maka Americano air panaslah yang dituang ke cairan espresso. Sedangkan Kopi Tubruk khas Indonesia tentulah semua sudah tidak asing lagi. Kopi ini tersaji lengkap dengan ampasnya.
“Robusta luwak dan kopi Gayo.”
“Robusta luwak, kayaknya nikmat kalau dibuat kopi tubruk saja.” balasku.
“Tapi harga lebih mahal, maklum melalui proses fermentasi diperut luwak.”
“Mari kita coba seberapa enak. Orang bilang rasa kopinya lembut dan eksotis.” timpal Pak Mehdi teman ronda yang baru datang.
Mas Gota mulai menata peralatan yang semula dia sembunyikan dalam kotak gerobak. Menimbang kopi seberat 20 gram lalu menyiapkan air sebanyak 200 gram. Selagi merebus air, Mas Gota menggiling kopi secara manual.
Tiba saat penyeduhan, tak sembarang tuang air panas. Untuk manual brew harus tunggu air bersuhu antara 85 - 87 derajat Celcius dari titik didih 100 derajat Celcius. Beda jika menggunakan mesin kisaran suhu yang cocok antara 90 – 96 derajat Celcius. Pada suhu tersebut kopi akan terekstrak secara sempurna. Tahap terakhir penyaringan, karena kami berdua pesan kopi tubruk, Mas Gota tak perlu repot menyiapkan filter paper untuk menyaring kopi.
Tidak seperti kafe-kafe yang kini sedang ngetren bak jamur di mana-mana. Kafe atau kedai kopi yang menyajikan segala varian kopi mulai Latte, Cappucino, Moccaccino, Frappe, Flat White, Macchiato dan Espresso itu sendiri. Mas Gota justru berjualan keliling dari pos ronda ke pos ronda, tiap RT, tiap desa demi menawarkan citarasa yang membumi.
 “Mas, kopi Papua Wamena ada? Long Black.” seorang peronda yang datang terlambat langsung memesan kopi pada Mas Gota. Pak Sabar.
“Mau coba kopi Gayo? Aromanya juga tajam seperti kopi Wamena.” tawar Mas Gota.
“Judul ngopi kali ini tubruk luwak dan Gayo, Pak.” imbuhku.
“Okelah,”
“Sabar ya, Pak.” kata Mas Gota setiap kali pelanggan selesai memesan kopi.
“Saya selalu sabar, Mas. Tenang saja.”
“Namanya juga Pak Sabar.” timpal Pak Mehdi.
Kami semua tertawa.
“Ngomong-ngomong Mas ini barista bukan tah? Kok tidak buka kafe saja.” tanya Pak Sabar. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya telah lama ingin aku lontarkan.
Mas Gota tersenyum simpul sambil menggeleng. “Saya bukan barista. Saya hanya peracik kopi tradisional. Seorang barista tentu bisa menjalankan mesin espresso, bisa membuat latte art dan punya sertifikat barista tentunya. Saya hanya penikmat kopi saja. Penikmat kopi yang keterlaluan terobsesi dengan kopi.” tawanya menggema.
“Saya kira semua orang yang pintar meracik kopi bisa dibilang barista.” kata Pak Mehdi.
“Tidak Pak, banyak kualifikasinya. Barista-baristaan seperti saya sih mungkin banyak.”
“Tapi pengetahuan Mas Gota tentang kopi bisa jadi melebihi seorang barista cafe. Saya pernah dengar cupping, tukang cicip kopi.” tambahku. “Kenapa tidak jadi itu saja?”
Cupper.” Mas Gota membenarkan istilahku. Dia menggeleng. “Lebih nikmat menjadi penjual kopi keliling macam ini. Apalagi melayani bapak-bapak yang rajin ronda.”
“Kalian dengar tidak, kemarin desa sebelah ada yang kecurian laptop dan HP.” Pak Sabar membuka obrolan lain bersamaan dengan kopi pesananku datang.
“Apa tidak ada yang ronda?” tanggapku setelah mencecap kopi tubruk luwak. Rasanya ada yang beda dari kopi luwak yang pernah aku minum dulu.
“Ada apa Pak?” tanya Mas Gota yang ternyata memperhatikan air mukaku.
“Ini lebih pahit dari yang pernah saya minum. Apa gulanya dikurangi?”
“Sama Pak, saya sengaja membuat takaran yang sama berkenaan dengan gula agar pelanggan bisa membedakan mana luwak Arabika dan mana yang Robusta.”
“Luwak Robusta.” aku manggut-manggut. “Aromanya benar kurang nendang. Tapi pahitnya menggelegar, Mas!” acung jempol kiriku. “Bisa jadi pencegah kantuk semalam suntuk.”
Pak Sabar dan Pak Mehdi masih membicarakan tentang desa tetangga yang kecolongan. Mereka bilang desa sebelah memang kurang aktif dalam kegiatan siskampling.
“Mas Gota pernah keliling ke desa itu?” tanya Pak Sabar.
“Iya Pak, pos kamplingnya memang sepi. Malah saya yang jadi ronda.”
“Tradisi ronda seringkali diremehkan. Padahal penting sekali demi keamanan lingkungan sendiri.” tutur Pak Mehdi.
“Betul, Pak.” tanggap Mas Gota. “Terus terang tujuan saya berkeliling dan sering mangkal di pos kampling untuk menghidupkan budaya ronda yang mulai luntur. Saya harap kopi saya menyegarkan mata para penjaga sukarela keamanan desa.”
“Malah ada yang lebih rela mengganti badan mereka dengan uang.” timpalku.
“Maksudnya?” tanya Mas Gota berkerut-kerut.
“Lebih senang membayar denda daripada berangkat ronda.”
“Jadi ada dendanya?”
“Di RT kami demikian Mas, agar orang mau aktif ronda. Tapi prakteknya ada saja yang sengaja tidak datang cuma membayar denda.”
Mas Gota manggut-manggut.
“Padahal dulu pos ronda merupakan media sosial untuk kalangan bapak-bapak yang begitu tenar.” kata Pak Mehdi yang umurnya lebih sepuh. Setidaknya beliau pernah merasakan sensasi ronda jaman dulu yang identik dengan sarung, sandal jepit, senter dan kentongan.
“Sekarang media sosial yang populer ada pada layar 5 sampai 7 inch.” imbuhku.
“Yang jauh jadi dekat, yang dekat malah jadi jauh.” timpal Pak Sabar.
“Saya senang, kalau pos ronda ramai lagi seperti ini.” kata Mas Gota memecah obrolan kami.
“Tentu saja senang, kopimu jadi laku mbok?”
“Ah, bisa saja Pak Sabar ini.” Mas Gota tersenyum malu-malu sambil menyajikan kopi untuk Pak Sabar.
“Semoga kegiatan ronda yang sudah berjalan ini tidak mandeg lagi.” gumam Pak Mehdi.
Aku mengangguk kembali meneguk Robusta luwak menyisakan sedikit air dan ampas. Pahit. Seperti kenyataan banyak tradisi leluhur mendekati punah bahkan telah lenyap sama sekali. 
Sebenarnya rutinitas ronda di kampung kami pun mengalami pasang surut. Ada kalanya hidup namun suatu waktu bisa mati suri lagi. Untuk periode kali ini agaknya bertahan lebih lama. Kehadiran kopi keliling Mas Gota memberi nuansa baru yang mencucuk hidung ingin menghirup aroma kopi dengan sensasi beda.
Kopi instan rumahan terlalu biasa, punya rasa hampir sama. Sebagai penghasil kopi Robusta terbanyak kedua dunia setelah Vietnam, kebanyakan kopi instan di negeri tercinta terbuat dari jenis kopi tersebut. Hanya beberapa kopi instan yang memakai kopi Arabika, itu pun mereka koarkan mengenai jenis kopi yang ditawarkan.
Sementara kopi dari gerobak keliling nusantara setiap cangkirnya memberi warna baru bagi lidah penikmat kopi sejati. Memang dari segi harga lebih tinggi dari kopi instan. Tapi soal memanjakan indera pengecap terbayar puas secara lunas.
Rasanya selalu tidak sabar ingin bertemu dengan Rabu malam yang penuh dengan aroma nusantara. Jika hari ini kita menjelajah rasa Aceh dan Jawa, esok mungkin kita bisa mencecap citarasa Mandheling dan Bali, berlanjut ke Flores seterusnya Toraja hingga ke Wamena. Tak hanya Arabika high quality saja. Robusta yang berlevel rendah, si kopi kelas dua, kopi Indonesia sesungguhnya turut hadir mewarnai malam kelam yang menyimpan aneka rahasia kehidupan. Menemani pijar mata agar terjaga demi keamanan bersama.



Sumber informasi/bacaan : majalah.ottencoffe.co.id


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupofStory diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS