RSS
Container Icon

The Threembak Kentir's Ke Gunung Merbabu 5

Lanjutan...

Trio Meong Vs CJR KW 4


Pemandangan lucu tersaji saat Trio Klaten berbalik turun, mereka jatuh secara beruntun. Kami yang melihat adegan tersebut spontan ngakak. Habis jatuhnya lucu banget, Radit yang jalan paling belakang (ketahuan dari postur tubuhnya yang paling tinggi) rem kakinya tidak makan terus melaju dengan kecepatan tinggi menabrak sosok yang kelihatannya Dino. Nah, Igit yang jalan paling depan jadi panik. Maksudnya mungkin mau menghindari serudukan dari Dino dan Radit, tapi karena begitu paniknya kali, eh, dia malah jatuh duluan baru tertimpa dua rekannya. Benar-benar seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Igit menikmati sensasinya tuh, sudah jatuh tertindih dua orang pula.
Sudah, ah. Kasihan!” ucapku berusaha menghentikan derai tawa.
“Benar. Jahat banget, tertawa di atas penderitaan orang lain.” Citonk menyetujui.
Suasana bisa terkendali, saat trio Klaten dengan tertatih mencapai ujung tanjakan. Igit terlihat begitu kepayahan, kakinya cidera. Dia tampak memegang sebatang kayu sebagai tongkat.
“Bawa balsam otot nggak?” tanya Dino. “Igit keseleo saat jatuh tadi. Kalian lihat kan?”
“Wah, nggak bawa. Paling balsam gosok, mau?” tawar Pheenux yang masih berdiri selepas mengepak alat makan.
“Nggak apa-apa. Yang penting bisa memberi pertolongan pertama.” jawab Dino.
“Eh, tadi makasih lho.” ucap Pheenux tiba-tiba bersamaan dengan terulurnya balsam gosok dari tanganku ke Dino.
Makasih apa?” ketiganya sontak menatap melompong pada Pheenux.
“Kalian sudah memberi kami hiburan,” Pheenux kembali tertawa. Citonk dengan air muka geli mendelik saat Pheenux mengarahkan mata padanya.
“Iya, iya lucu!” tanggap Dino serius.
“Sori…”
“Menurut kalian lucu!” cetus Radit. Mendadak suasana senyap. Citonk dan Pheenux tidak lagi cengengesan.
“Empat!” celetukku membuat anak-anak lain jadi bingung. “Iya, Radit baru empat kali memperdengarkan suaranya yang seksi.”
Citonk yang duduk bersebelahan denganku menyikut lengan.
“Kamu ngitungin Radit ngomong?” Dino melongo.
“Dia ini memang sering kurang kerjaan.” ungkap Pheenux tertawa. “Eh, tapi bener Sush, seksi. Kok jarang ngomong sih?”
“Yaah, karena seksi makanya dia jadi pelit ngomong. Takut ntar kalian pada klepek-klepek, hayo, gimana coba?” jawab Dino.
“Tipe cowok dingin, Pheen!” timpal Citonk.
“Cowok es?” ulang Igit merasa geli dengan istilah itu sambil meringis menahan sakit ketika Radit mengoles engkelnya yang keseleo.
“Kami juga cewek dingin lho!” selorohku. “Hei, Pheen yang kul, kenapa?” kami bertiga langsung pasang gaya sok kul. Tapi malah jadi aneh. Wagu!
Dino tertawa, Igit senyum-senyum. Sedang Radit cuma nyengir sebentar lalu fokus lagi menatap pemandangan yang terhampar di bawah
“Sudah ah, yang biasa aja.” Dino mengakhiri suasana yang mendadak jadi beku, gara-gara tiga cewek yang tadinya berisik jadi sok kul.
“Oh ya, Igit gimana kakinya? Masih bisa jalan?” tanyaku penasaran. Pasalnya berdasarkan peta masih ada beberapa punggungan lagi yang harus didaki.
“Lumayan. Lumayan sakit maksudnya.”
“Ceilee… perhatian nih!” goda Dino.
“Jalan lagi yuk!” ajakku memutus celoteh Dino.
“Kita jalan pelan-pelan aja.” saran Radit.
“Kalau mengikuti kami ditanggung seperti putri Solo.” cetus Pheenux.
“Hah, jalan ngibrit gitu seperti putri solo.” Igit membelalak.
“Iya, jalan kayak badak gitu, apa nggak pada capek?” protes Dino.
“Nggak sih, cuma cuuuapek buaaangeeeet!” tanggap Pheenux.
Setelah berkemas, kami melanjutkan langkah mendaki. Kali ini tim putri harus bersabar berjalan di belakang Igit. Apalagi jalan ke puncak isinya tanjakan melulu. Sama sekali tidak ada bonus. Igit dengan terseok tampak berjuang melawan rasa sakit yang bersemayam di kaki. Sesekali berhenti seakan mengukur berapa jauh lagi puncak dari tempat dia berdiri. Lumayan, masih jauuuuuh, Bang!
Dentang kelontong sapi (lonceng sapi) yang tergantung di tas Radit masih setia mengiringi setiap jengkal pijakan derap kaki yang semakin patah-patah. Akhirnya pukul lima kami berhasil menancapkan bendera kemenangan dengan menapakkan jejak kaki di tanah yang seakan telah rindu terjamah.
Puncak Bleh! Untuk selanjutnya....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

The Threembakentir's Ke Gunung Merbabu 4

Lanjutan...

Trio Meong Vs CJR KW 4


Gimana kalau kita istirahat sambil nunggu mereka?” usul Citonk.
“Iyes!” sahutku sudah menjatuhkan diri ke tanah.
Lima menit berlalu. Mendekati menit kesepuluh karena yang ditunggu tidak muncul-muncul kami memutuskan meninggalkan Trio Klaten. Daripada nanti menghambat operasional. Lebih baik jalan dulu, lagian mereka kan cowok, sebentar juga bisa menyusul.
Satu tanjakan lagi berhasil terlewati, kini di depan terhampar padang rumput yang luas. Kami bertiga terkagum-kagum melihat fenomena alam yang membentang memanjakan mata. Saat ini kami berdiri di tengah padang rumput sabana. Kanan-kiri bukit-bukit hijau menjulang membentengi lembahan menghijau.
“Wow, keren!” decak Pheenux pada garis setapak mengarah ke bukit tinggi nan jauh di depan.
“Ngeri juga ya, kalau udah liat tanjakannya.” ucap Citonk.
“Puncakkah?” gumamku.
“Sepertinya.” komentar Citonk.
“Ayo semangat!!” seru Pheenux.
Dengan tertatih-tatih kami merayapi bukit yang medannya, ampun susah euy! Tegak lurus ke atas, tanpa undakan yang jelas. Sudah begitu, tanahnya berbulir kering bercampur sedikit pasir yang acap kali memerosotkan sepatu beberapa senti. Cukup buat jantung ikutan berdesir, khawatir muka mencium tanah lalu memarutnya.
Meski berjalan dalam kaki patah-patah dan nafas yang putus-putus. Jangan salah, kami tetap dapat menyuarakan lagu separuh nafasnya Dewa.
“Separuh nafasku… hosh… hosh…” ngos-ngosan. “terbang bersama dirimu… hosh… hosh…” ngos-ngosan lagi.
“Sebentar lagi… hosh… hosh!”
Tanjakan terjal berhasil terlibas. Berharap ini puncak Merbabu. Sayangnya, puncakan lain telah menunggu dengan senyuman mengejek.  
“Hah, puncak lagi, haha…” tudingku tertawa.
Kami merayapi dengan terbata-bata. Satu bukit kandas tapi masih menanti bukit lain. Dengan lemas kami menjatuhkan carier di tanah.
“Fiuuh… gila! Bikin deg-degan aja. Kirain ini puncak asli!” kata Pheenux diamini aku dan Citonk.
“Makan yuk, laper nih!” ajak Citonk yang sudah terlihat memucat, maklumlah waktu itu sudah pukul setengah satu.
 Dari atas bukit sini kami bisa memandang, menyapu hampir seluruh padang sabana dan bukit-bukit lain. Sangat lepas tak terhalang oleh lebatnya hutan. Hanya rerumputan yang setia menemani langkah kaki, bahkan saat makan siang rumput-rumput semak turut bersenda di sekitaran kami.
Satu jam kemudian lezatnya makan siang menghampiri perut, habis api kompornya tidak fokus, kabur-kabur oleh angin, so, matengnya jadi lamaaaa banget! Apalagi menunggu dalam kondisi lapar. Serasa setahun.
Ada yang naik punggungan sebelah sana tuh!” kataku yang waktu itu sedang ormed. Sementara Pheenux lagi sibuk ngerokin leher Citonk yang katanya berasa masuk angin.
Pheenux langsung menerka mereka Trio Klaten. Ketiga cowok yang dua jam lalu jalan bareng kini tengah menaiki punggungan sebelah kanan tidak menyadari posisi kami. Sampai akhirnya salah satu dari mereka menunjuk ke arah bukit yang kami pijak.
Kami pun heboh melambaikan tangan agar ketiganya naik mengikuti jalur kanan. Karena berdasarkan hasil ormed, bukit yang kami duduki sekarang arah yang benar. Mereka tampak berdiskusi, tak lama terlihat pergerakan ke arah sebaliknya.
Pemandangan lucu tersaji saat Trio Klaten berbalik turun. 
(Apakah itu? Tunggu lanjutannya ya....) 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS