Lanjutan...
Elang, Terdampar!
Paginya sinar mentari bersinar dengan cerah. Seperti
biasa kami
berlarian menuju pintu masuk kemarin. Apalagi didukung dengan medan jalan aspal yang mulus datar, sampai-sampai tidak sadar kalau ada satu anggota yang tercecer. Teh Mei tersesat di mana
dikau! Kentang langsung memeriksa ke ujung tikungan yang berjarak 50 meter dari kami kehilangan jejak Teh
Mei.
Detik berikutnya Kentang sudah
berteriak histeris memanggil nama Mei dengan nada melayu
tak lupa seolah suaranya menyembulkan gema. Kami semua terperangah. Kentang akhirnya tertelan
oleh tikungan tempat Teh Mei menghilang.
Kami semua menahan nafas bimbang. Ali
mulai bergerak perlahan menuju tikungan maut yang telah merengkuh Kentang dan Mei. Tiba-tiba sebuah
cahaya memancar dari arah ujung tikungan. Silau euy! Siapa sangka kalau kilau
itu berasal dari gigi Kentang yang kuning
meranggas akibat pantulan cahaya siang nan ganas. Teh Mei berjalan tertatih-tatih di samping
Kentang yang siap siaga menjaga langkahnya.
Aku segera menghambur ke arah mereka. “Teh, kenapa? Diapain
sama dia?”
tunjukku ke Kentang yang melongo bego.
“Nggak apa-apa, biasa lutut rada soak. Tapi kalau istirahat sebentar, nggak sakit lagi.”
“Wah, aku ini pahlawan yang tidak
dianggap toh, ceritanya.” Kentang garuk-garuk topinya.
“Apa mau digendong?” tawar Ujang yang ikut mendekat bersama yang lain.
“Kamu mau gendong aku?” kata Teh Mei tersenyum tidak yakin.
“Ali katanya mau tuh!” tunjuk
Ujang ngakak.
“Kenapa aku
lagi?” ucap
Ali setengah protes. Nampaknya hal itu membuka kenangan buruk sebelumnya saat
harus menggendong Citonk.
“Ada yang dapat durian runtuh dua kali
nih.” celetuk Pheenux mengerling ke arahku dan Citonk.
“Tenang Li, aku masih bisa jalan.”
“Woiii, istirahat dulu yuk!” seru Dede yang sudah duduk ditengah jalan sambil selonjor bareng Noly beberapa
langkah dari kami.
Melihat kondisi Mei, tanpa komando
kami sudah duduk berjejer di pinggiran jalan beraspal. Tak lupa petikan gitar
mengisi perut yang mulai dangdutan.
“Kita harus jalan sampai pasar Cicurug?” ungkapku setelah menghitung kembali biaya transportasi pulang. “Dari situ
baru kita naik bus ke terminal Sukabumi terus Bandung.”
“Berarti uang
kita cuma cukup buat pulang naik bus ke Bandung
dan naik kereta?” lontar Pheenux kaget ketika kaum hawa
berdiskusi mengenai situasi perekonomian perjalanan kali ini.
“Itu pun naik kereta harus dengan
nembak.” tambah Citonk.
“Kau pikir keuangan kita aman?” tunjuk Noly yang ikut
menguping.
“Long march? Diksar banget, ini mah.” ucap Pheenux ketularan
logat Mei.
“Siap?”
“Gampang! Tapi Teh Mei, gimana?” tanya Ali.
“Bisa,” jawabnya singkat dengan senyum meyakinkan.
“Cius neeh? Mi apa?” tanggap Ujang.
“Aku mie ayam, Jang!” sahut Dede
kencang.
“Mie bakso bolehlah,” tanggap Kentang.
“Ngomong-ngomong mie, jadi tambah
lapar nih.” timpal Pheenux.
“Tidak ada dana lagi buat jajan!”
tegasku memupus harapan indah tentang makan aneka mie panas di angan mereka.
“Jadi dari gerbang kawah ratu kita
jalan lagi? Siap!” teriak Ujang tiba-tiba. “Selama ada Peni, apapun akan terasa indah.”
“Yah, mulai lagi.” Pheenux mendengus
sebal.
Kami pun tertawa karenanya. Setelahnya
mereka sudah berdebat habis-habisan.
“Ngomong-ngomong
dari gerbang ke jalan utama tidak jauh, tho?” Dede memastikan ke
Citonk yang duduk dekatnya.
“Seperti kemarin. Kira-kira limabelas kilometer,” kata Citonk mencoba
mengira-ngira.
“Kamu tidak
salah hitung, Tonk?” Dede tampak gentar.
“Mungkin malah
lebih dari dua puluh kilometer.” tanggapku membuat Dede hanya sanggup menganga.
“Hei, ada yang bawa ATM nggak nih?” tanya Noly tiba-tiba menjelang keberangkatan tim sekarat ini. “Buat jaga-jaga. Aku sih bawa tapi duitnya sudah limit.”
“Aku ada,” sahut Mei. “Tapi aku juga nggak yakin sudah ditransfer.”
“Tenang Teh, aku bawa!” sahutku. “Kalian harus bersyukur padahal biasanya aku nggak pernah bawa ATM
kalau ke gunung. Nggak sengaja terbawa. Hehe.... tapi paling cuma bisa ambil seratus ribu. Limit juga.”
“Nggak apa-apa, Ya. Yang penting ada dana tambahan.” kata Teh
Mei yang selalu memberi kesejukan.
Di antara terik matahari, kami berjalan menyusuri jalanan beraspal. Impian makan mie dengan ayam sungguhan dan bakso
sungguhan kami tebus dengan memasak mie instan di
halaman sebuah masjid, sekalian numpang sholat.
Walau kondisi kami tampak sangat mengenaskan tapi tidak
melunturkan semangat kami untuk tetap bercanda menghilangkan penat dan kejenuhan.
Berkali-kali kami
terpaksa harus menelan ludah. Gerobak-gerobak es mulai es campur, es teler, es durian bahkan es lilin menggoda menari-nari sepanjang perjalanan. Berat kawan, lidah kami sampai terjulur dengan tenggorokan kering. Kalau air minum sih masih banyak, air murni dari bumper yang kami halalkan untuk tetap
diminum meski telah berada diperadaban.
Setelah lama memendam hasrat akan es, Teh Mei lalu berinisiatif
mengumpulkan beberapa uang recehan buat membeli es lilin. Kesempatan bagus nih,
pikirku yang
langsung beraksi minta air putih matang.
Es lilin yang berhasil kami beli
berjumlah empat biji saja. Terpaksa kami berbagi satu untuk berdua. Kebetulan
rombongan pertama hanya terdiri para cewek saja. Sisa es kami sisihkan buat para
pejantan letoy yang berjalan jauh di belakang.
Sesekali aku menengok ke Ujang cs mengukur jarak yang
terbentang antara kami. Sesekali pula aku melihat Ujang tampak berusaha mencari
tumpangan. Sayang tidak ada tanda-tanda keberhasilan. Sepertinya mereka takut
kalau Ujang itu begal yang menyamar jadi gembel jalanan. Huaha.... (hmm, berhasil tidak ya, Ujang membajak
sebuah mobil untuk kami bersembilan?)