Elang, Terdampar!
Hari itu kami hanya sampai di warung I dekat dengan
pertigaan yang masuk ke jalur Salak (katanya). Ternyata tempat itu masih
kawasan buat kemping (bumper). Buktinya banyak sekali anak-anak yang juga mendirikan
tenda. Yang jelas, malam ini kami benar-benar menikmati acara kemping. Apalagi ada peralatan pendukung berupa gitar. Wah, cocok banget!
Satu lagi, tenda yang Ujang cs bawa tenda segitiga. Tenda pramuka, Bleh! Persami bang-get! Pas malam minggu lagi. Weleh, weleh....
“Pin, yang kamu suka apaan sih?” tanya Ujang saat kami sedang menggelar acara makan-makan
di luar tenda.
“Yang aku suka?” Pheenux pura-pura mikir.
“Barang atau sesuatu apa, kek?”
“Aku suka gunung! Apa tanya-tanya, kamu mau kasih aku
gunung?”
Ujang bengong
sesaat. “Okelah, akan aku
persembahkan semua gunung yang ada di bumi untukmu?”
“Caranya?” balas Kentang sambil
garuk-garuk kepala.
“Nanti kita pikirkan bersama ya.”
jawab Ujang merangkul Kentang.
“Gombal keterlaluan,” komentar Noly.
“Betul, Nol!” Pheenux mengacungkan ibu
jari. “Nggak mutu.”
Sementara itu aku dan Citonk cengar-cengir
diseling tepuk tangan melihat mereka yang sudah adu mulut hebat. Ali dan Teh
Mei terlibat percakapan romantis. Dede tetap sibuk mengenjreng gitar mengiringi
debat Pheenux-Ujang.
“Tonk, anak Mapala UI tadi cakep ya?” akhirnya aku buka lapak percakapan sendiri dengan Citonk.
“Si Jay?” tanggap
Citonk tersenyum. “Biasa aja,”
“Ganteng gitu kamu bilang biasa?”
tanggapku sedikit lega. Berarti tidak ada saingan, hehe... “Sayang, tadi tidak
minta nomor telepon, ya.”
“Haa.... Suxie jatuh cinta? Keajaiban
dunia ke sepuluh!” tunjuk Citonk tertawa-tawa girang.
“Memang kenapa?”
“Ada apaan?” Kentang menyelidik ke
arah kami.
“Iya, nggak apa-apa.” Citonk
masih tertawa.
“Suxie jatuh
cinta sama anak Mapala UI.” terang Dede yang ternyata diam-diam menyimak
pembicaraan aku dengan Citonk.
“Kalau Jay, aku setuju! Uh, cool banget! Mapala banget gitu loh!” Pheenux tiba-tiba ikut
nimbrung setelah beberapa menit lalu sibuk dengan Ujang. Sekarang Ujang yang gigit jari
dicuekin Pheenux yang sudah ngobrol seru tentang cowok yang baru saja kami temui tadi siang.
“Wah, nemu saingan nih.” cetusku. “Menurut Teh Mei?” tanyaku
mencari opini untuk mencari rival yang lain.
“Lumayan! Tapi buat kamu saja,” ucap Mei terlihat begitu dewasa.
Memang di antara kami
bersembilan yang paling tenang dan dewasa cuma Mei.
Kentang yang
ternyata lebih tua dari kami semua sikapnya pun tak kalah heboh seperti kanak-kanak.
“Tenang, ambil buat kamu saja!” ucap Pheenux kemudian. “Memang ganteng sih,
tapi terlalu ceper bagiku.” terus terang Pheenux yang postur tubuhnya memang
tinggi.
“Serius nih! Nggak pada nyesel? Hehe… jadi malu!”
mendadak jiwa feminimku keluar,
posisi duduk yang tadinya ngangkang jadi menutup. Membetulkan kerudung berkali-kali.
“Kenapa dia?” celetuk Noly takjub.
“Kamu jangan aneh-aneh Sus, kami jadi
takut nih.” timpal Ujang.
“Iya, jangan-jangan kesurupan.”
Kentang langsung maju ke depanku melambai-lambaikan tangannya di depan mataku.
“Buuu!” semburku membuat Kentang
terjengkang.
Semua tertawa melihatnya.
“Kamu tadi nggak minta alamatnya?” kata Mei membuatku langsung terjun dari Gunung Salak. Ya ampun, konyol sekali. Ini jelas akan jadi
angan semata. Alamat tidak tahu, apalagi nomor telpon yang bisa jadi penghubung
selanjutnya.
“Huu, payah!” Ujang menghujatku.
“Benar, hiks hiks....”
“Sudah-sudah, besok kita cari cowok
lain lagi ya.” bujuk Citonk.
“Oioi.... kami juga cowok-cowok keren
lho!” Dede tiba-tiba berdiri bergaya bak raja dangdut.
Kami para cewek langsung mual pengin
muntah. Pokoknya enggak banget! Tapi demi menyenangkan hati mereka kami berujar
hal yang baik.
“Kalian itu sudah seperti saudara bagi
kami. Tidak mungkin kan, jeruk makan jeruk.” Citonk berceramah mewakili kami. “Kenapa
e.. kenapa, karena hukumnya haram.”
“Betul!” seru aku, Mei dan Pheenux.
“Ya deh,” ucap Kentang.
“Ah, aku kecewa.” Dede duduk dengan
loyo.
Kami para cewek akhirnya tertawa geli
melihat tampang-tampang lucu para pejantan yang merasa bukan pejantan lagi.
Yah, karena seolah gagal menaklukkan hati kami para bidadari.
“Sus, kamu kan
bisa cari ke sekrenya.” kata Pheenux kembali pada topik si Jay. “Tenang, nanti aku
temani.”
“Serius?”
“Tentu kawan!”
“Aku juga siap.” kata Citonk.
Mei hanya senyum-senyum memandang kami
yang sudah mulai merencanakan invansi ke Mapala UI. Haha... tapi itu cuma bualan saja.
Para cowok saat itu sedang asyik membicarakan sesuatu
pula. Kecuali Dede yang sepertinya cinta berat sama gitar yang dibawanya,
hingga tiada detik dan jam tanpa menggenjreng gitar bututnya itu.
“Pinjam De!” Kentang mencoba melepaskan si gitar malang dari cengkeraman Dede. Tarik-menarik
sempat terjadi tapi Dede kemudian dengan pasrah menyerahkan gitar itu. Kentang pun segera memetik gitar dengan senyum
kemenangan. Sebuah lagu Malaysia
lama, Isabela mengalun syahdu sampai menegakkan bulu kuduk para gadis yang
perhatiannya langsung mengarah ke Kentang dengan protesan keras.
“Ganti-ganti!” omel kami. Dengan cuek Kentang tetap merep melek
menghayati lagu tersebut.
“Payah, tampang sangar, selera lagu Malaysia abis. Melankolis!” sindir
Pheenux.
Tidak ada reaksi, Kentang tetap pada alirannya. Sampai akhirnya golongan
cewek takluk juga. Bahkan malah ikutan nyanyi lagu Malaysia itu.
“Tang, kamu bisa lagunya Evie Tamala? Yang menangis,” pinta Mei
kemudian.
“Seperti apa?”
“Ku menangis, menangis ku karena rindu… ku bersedih
sedih ku karena rindu…” dengan merdu dan halus Mei menyanyikan sample lagu dangdut itu. Cengkoknya
sangat fasih terdengar.
“Sebentar,” Kentang mencoba mencari kunci gitarnya.
“Heran, kenapa orang Sunda pada pintar nyanyi dangdut sih?” komentarku.
“Nggak semua
kali,” sahut Mei. “Nah, itu ketemu! Ulang dari depan!”
Konser dangdut digelar, sebagai penyanyi utama Mei.
Mulai lagu dangdut lama yang ngetop sampai yang baru, mulai Putri Panggung,
Terlena, Cucak Rawa dll. Aku, Pheenux dan Citonk yang tadinya kurang menyukai keindahan musik dangdut, malam itu
mengakui bahwa musik dangdut ternyata tidak kalah asyik sama lagu-lagunya Dewa,
SOS, Padi, Kla Project dan band ngetop lain yang biasa menjadi soundtrack pendakian kami.
Tiba-tiba Kentang mengerem mendadak.
Gitarnya sama sekali tidak bunyi, membuat ceracau mulut kami membuai malam
dalam kegaduhan.
“Masuk tenda yuk!” ajak Kentang
kemudian.
“Kenapa?” protes Pheenux.
“Dingin, berrrr...” cetusnya.
“Iya, ayo pada masuk!” Dede segera
ngacir ke tenda.
Mau tak mau kami semua menurut masuk
dan meneruskan aksi menyanyi di dalam tenda ala pramuka. Ini sih judulnya
MAPRAM (Mapala Pramuka). Ya, sudahlah! (dan selanjutnya ada kejadian menggemparkan... Tunggu yach!)