Lanjutan...
Pen, Aku Padamu...!
*H2 Operasional
Seperti dugaanku, paginya tubuh kami
benar-benar terasa ‘enak-enak’ gimana gitu. Semalaman kami tidur sambil pijat
refleksi khusus area punggung. Matras dan sleeping bag (SB) tidak bisa meredam
aksi batuan yang menusuk-nusuk tubuh kami.
“Nux, nggak bisa keluar!” jeritku
tertahan “Aduh, aku kebelet pipis nih.” Sebuah flysheet menutup seluruh tenda kami. Depan pintu masuk tenda Ali tampak bergelung dalam
SB-nya. Sebelahnya entah ada siapa tidak tahu. Yang pasti dalam flysheet para cowok
terkapar dalam kantung tidur masing-masing.
Wah, terperangkap!
“Bangunin aja mereka!” saran Pheenux ikut melongok di pintu tenda.
Seorang anak tampak bergerak-gerak, dia Noly. Dengan wajah masih bau
aroma kantuk dia berkoar-koar membangunkan teman-temannya. Tapi tak satupun
bergeming bahkan satu diantaranya malah ada yang bergumam masih terlalu pagi, tanpa
membuka mata.
“Sebentar aku buka ikatan yang sebelah sana,” kata Noly bergerak ke ujung flysheet. “Udah lompatin aja!” katanya lalu menyusup kembali ke kantung tidur.
Pagi ini jatahku masak dibantu Ali yang tiba-tiba ikutan bangun. Sementara Pheenux dan Citonk mulai mengemas barang-barang yang ada dalam
tenda. Biar cepat, tinggal bongkar tenda, packing
dan berangkat!
Sayang semua melenceng dari rencana operasional. Jam
keberangkatan jadi mundur. Gara-gara anak-anak Yogya pada telat bangun dan tidak segera menggulung flysheet mereka. Pheenux jadi terlambat packing menunggu tenda dilipat. Walau komentar mereka tidak enak dikuping tapi untungnya ada itikad baik
dengan membantu kami melipat tenda.
Jalanan masih berbatu dengan kondisi nge-track abis tanpa bonus landai
kami lalui. Tetap
dengan prinsip pelan-pelan asal sampai, kami berjalan sambil menghitung jumlah langkah.
Pelan euy...
Matahari pagi bersinar cerah, kadang sinarnya yang nakal
berhasil menerobos dari sela pepohonan yang masih lumayan banyak dibanding
jalur Bambangan Gunung Slamet pasca kebakaran. Komentar keempat cowok Yogya yang ribut berkenaan dengan langkah kami yang lebih
pelan dari siput membuat lelah yang menghimpit semakin menggencet habis nafas kami.
“Oh, jadi kalian
ini cewek mapala.” ucap Kunyit ketika kami melepas lelah sejenak sambil mengatur nafas.
“Mapala? Wow!” komentar Ujang.
“Capek ya?” tanya Kentang.
“Aku kira Mapala nggak kenal lelah.” oceh Ujang lagi. “Yuk, jalan
lagi katanya Mapala,
harusnya kuat dong. Masa baru jalan sebentar udah ngos-ngosan!”
“Berisik
banget!” cetusku kesal, pasti wajahku sudah terlihat terlipat delapan. “Bisa
pada diam nggak?”
“Ada yang marah nih?” sindir Ujang cengengesan.
“Santai, Mbak!” ucap Kunyit coba mendinginkan suasana yang mulai memanas
You know? Tanganku sudah
mulai terkepal, sobat. Ingin sekali membungkam mulut mereka pakai bogem mentah.
Sifat temperamenku ditambah beberapa jurus silat yang kupelajari saat SMA dan
Kempo ketika masuk bangku kuliah, selalu membuatku ingin mempraktekkan ke orang
lain secara nyata. (Obsesi jadi atlet silat yang tidak kesampaian)
“Biarin aja Sus, aku juga
kesal. Kita buktikan saja kalau kita
bisa,” nasehat Citonk berhasil meluruh emosiku.
“Menyebalkan
sekali mereka itu,” runtukku. “Apaan si Pheenux
itu. Dia malah
melayani celotehan mereka.”
“Ya deh, aku diam,” ucap Ujang dengan suara keras, dan dia masih bersikap
acuh tak acuh. “Eh, tapi Peni kuat ya?” puji Ujang. “Idih, kenapa diam aja. Ups! aku lupa, aku kan nggak boleh ngomong.” Ujang langsung menutup
mulutnya.
“Peni, siapa tuh!” sungut Pheenux.
“Pheenux, Bleh!” Kunyit membenarkan. “Jalan yuk! Hampir sampai kok.”
“Sampai pos III kaleee!” tambah Kentang tertawa.
“Nah, itu dia maksudku,” Kunyit ikutan ngakak lalu menepuk kepala Kentang. “Pinter kamu!”
“Nggak lucu!” komentar Noly yang dari tadi sibuk menghisap rokoknya tak
peduli dengan situasi yang baru saja terjadi.
“Santai, Mbak. Jangan serius gitu dong! Santai man!” oceh Kunyit lagi.
“Eh, mereka bertiga itu kayak super, super... super boy apa ya? Itu lho film pahlawan
yang bisa terbang, pakai kacamata semua,” Kentang meringis menatap ke arah kami yang kebetulan berkacamata
minus semua. “Mereka ini pasti sakti.”
“Super woman!”
ralat Ujang.
“Cewek semua sih.”
“Power puf jell!”
seru Kunyit.
“Eh, tapi mereka nggak pakai kaca mata.”
“Powerpuff Girls!”
ralat Noly.
“Kompakan nih yee?” timpal Ujang.
“Asli minus
kok.” sahut Citonk datar.
“Keren!” ucap Kentang.
Tanpa mempedulikan ocehan mereka, aku,
Pheenux dan Citonk berjalan meninggalkan riuh rendah yang memuakkan itu. Aku
kembali konsen ke jalan yang terjal, e-ge-pe sebodo teuing ala Sunda dengan mereka. Sebagaimana kata Citonk,
buktikan saja kalau kita bisa.
Selama perjalanan celotehan anak-anak Yogya tiada matinya. Mereka sekarang menemukan TO baru sebagai bahan lelucon
mereka. Siapa lagi kalau bukan pendaki lain yang baru saja turun dari puncak.
Dasar, rupanya hobi mereka mengganggu orang lain toh.
Seperti pepatah Jawa; Tresno Jalaran Soko Kulino. Lama-lama celotehan
mereka kok jadi terdengar kocak ya. Ada saja komentar mereka ke para pendaki
lain. Mirip sekumpulan orang gila menggelikan.
“Mas mau kemana?” sapa Kunyit pada beberapa rombongan pendaki lain yang
turun.
“Mau turun.” Jawab pendaki
itu.
“Ooh, saya kira mau naik ke bawah,” Kunyit berkata tanpa
ekspresi. Sementara mas-mas yang ditanya nyengir aneh. “Naik ke bawah sih
seperti apa ya?” lanjut Kunyit bertanya ke Kentang.
“Tau!”
“Mbak puncak masih jauh nggak?” tanya Ujang pada rombongan berikutnya
yang kebetulan berpapasan dengan kami. Sial banget mereka, ketemu gerombolan sableng ini. Tapi nasib mereka masih tergolong baik, tidak separah kami yang terjebak di dalamnya.
“Masih Mas!” sahut yang cowok.
“Oh gitu, ya.
Makasih. Maklum Mas, kemarin malam pas naik sambil
merem sih, jadi nggak hafal.” Ujang menyeringai. Rombongan yang baru disapa menggerutu tidak jelas, langsung
ngacir turun. (selanjutnya ternyata rombongan Yogya tiba-tiba menghilang. Ada apa dengan mereka yah?)