RSS
Container Icon

Perjalanan Etape 6

*Saat Berdekap Denganmu




Aku tak tahu apakah ini sebatas pelarian atas kepenatan dalam menjalani hidup kemarin. Ataukah karena alam yang pendiam menyimpan segudang teka-teki yang sayang untuk dilewatkan, dibongkar hingga auranya telanjang? Yang pasti hari ini kobar adrenalinku akan tersalurkan dengan manis. Bersiap mengarungi detik, putaran waktu dan mengecap setiap mili kokohnya ragamu.
 Aku dongakkan kepala, mengukur jarak untuk target hari ini. Dan aku rasa tepat bagian batu yang menjorok (hang pertama) dengan hiasan rumput liar. Lima puluh meter, semoga, aku harap lebih, mengingat poin yang sukar ditembus.
Aku melirik ke sejumlah peralatan panjat siap pakai. Sebagian besar alat-alat itu termasuk benda berat yang terbuat dari besi. Semua tergantung membentang seperti jemuran lengkap dengan talinya bahkan mirip pajangan barang dagangan.
“Tiga hari!” ucap teman satu timku mengajak toas.
Why not!” balasku tak kalah optimis. Apalagi operasional perdana ini aku didaulat sebagai leader. Si penentu jalur pemanjatan, tentu tanggung jawabku besar. Aku harus memastikan pengaman yang kutancapkan menggigit kuat bibir batu andesit yang keras.
Aku mulai merayap mendekap batuan kokoh yang berjuluk tebing. Kaki, tangan, kelentukan tubuh dan otak berkoordinasi tanpa henti agar tak luncas dan terpental mengikuti laju gravitasi. Tanganku terus meraba sekedar mencari tempat singgah ternyaman jika ingin tetap berdekap dengannya. Kakiku menegang tuk sebuah pijakan penentu guliran nafas. Detak jantung dan nafas seakan berlomba menghantarkan butiran keringat.
Matahari semakin tinggi. Pancarannya benar-benar menyengat sekujur tubuh memaksa kulit yang mulai menjelaga runtuh terkelupas karenanya. Tubuhku masih bergelantungan bersama tali-tali sahabat jiwa. Lelah dan haus silih berganti menemani tanpa bisa ku elak.
Berat terlihat. Tapi tantangan ini sangat menjanjikan kepuasan para penantang kaum pejantan. Hidup seakan meregang nyawa. Seluruh indera bekerja. Satu lelah, asa kan musnah.
Hari ketiga. Hari penghabisan penuh pengharapan. Seorang kawan membimbing lintasan. Ku lihat begitu gesit laju geraknya, semangat yang meracun dirinya jadi pematik rasa penasarannya tuk segera menapak puncak kepuasan yang terjanjikan.
Aku sempatkan meletakkan pantat yang telah rindu ingin mengadu lempeng datar. Meski hanya setengah pantat yang diperbolehkan mendarat, aku sudah cukup tersanjung. Batu yang mejorok dan menyisakan sedikit ruang bagi lelahku sungguh melegakan tarikan nafas yang sebelumnya sesak.
“Hoi…..! Top!” teriak kawan setimku yang me-leader.
Kepala kudongakkan mencari kepastian pendengaran. Benar. Dia sedang berjuang agar kakinya bisa menapak tegak. Tercapailah asa. Sesaat dia meghilang. Kemudian kepalanya tiba-tiba melongok ke bawah seraya menampilkan sunggingan penebar semangat.
Gairah mendesir menyulut organ tubuhku tuk segera bersua. Satu pijakan, dua rengkuhan, dan…
“Ah!” erangku.
“Zan….!” kawan-kawanku meneriaki aku.
Seketika sadarku melayang seiring tubuhku yang serasa terbang. Lepaslah lelah sesaat, berganti desiran ringan membelah udara. Sekejap. Hingga indera perasaku menggores perih wajah yang bersimbah peluh bercampur debu dan sedikit leleran cairan kental berwarna merah darah. Yeah, darah mengalir cukup deras dari sudut pelipis kananku. Tapi otakku masih sangat jernih walau tubuh tergantung tak sempurna.
Aku mengenang sejenak gerangan apa yang telah dengan sukses memerosotkan tubuhku hingga beberapa meter ke bawah. Piuh, pe-erku semakin banyak. Aku teringat betapa bergeloranya diriku ketika sobat satu perjuangan berhasil menggenggam tali kemenangan dengan bangga. Aku jadi terlalu bernafsu ingin segera memeluknya, merasakan degup jantung yang berdentang mengabarkan kejayaan kami sebagai seorang pecinta yang selalu haus kasih Sang Dewi Alam. Lalu azab menelan ambisi serakah. Aku bahkan tak menyadari jika batuan yang  kudekap begitu rapuh, tanganku yang mencengkeramnya semakin melabilkan hingga runtuh bersamaku. Ah, cerobohnya aku!
“Kau tak apa-apa, sobat!” gemuruh suara kawanku menyadarkan keterkejutanku.
“Oke!” sahutku sambil mengacungkan ibu jari.
Ku seka darah yang menyatu keringat di sudut mata. Daya kembali kukumpulkan bersama pijar semangat yang ada. Aku tak hiraukan tusukan menyakitkan dipelipis kanan. Hanya satu yang kupedulikan, titik akhir pemanjatan ini. Walau terus terang ku akui tubuhku sempat melemas tanpa aliran darah, tapi itu tidak akan menyurutkan nyaliku yang kian menggebu.
Sekali lagi aku meniti lintasan yang pernah kurambati. Sejauh ini kesabaranlah batu ujian yang harus aku renangi. Aku pijak dan tancapkan jari-jariku dengan mantap. Satu rengkuhan lagi. Batinku menyemangati. Sobatku pun menyeringai menanti hadirku dengan dengungan pengobar semangat yang tak kalah berwibawa dari batinku. Selanjutnya dia mengulurkan tangannya membantuku memijak puncak yang aku rindukan.
Darah masih mengalir meski pertolongan ala kadarnya menyentuh lukaku. Nafas mulai normal setelah tersengal. Aku duduk menikmati nuansa penyegaran bak semerbak bauan aromatik. Wangi Sang Dewi Alam yang terpujakan. Kuciumi hembusan hawa yang disajikan, hingga pedih yang memakan rasa punah tersapu sang bayu.
Lirih ku dengar senandung jiwa kasmaran. Terbuai aku dalam alirnya. Dia lalu memapah indera lihatku menyaksikan bentangan alam yang maha luas. Memaksa benakku berangan dan menginginkan, hhh… seandainya hati dan jiwaku seluas jagat ini pasti tidak akan pernah ada luka terpendam. Yang ada hanya kejujuran tuk sebuah cinta kasih. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS