*Saat
Berdekap Denganmu
Aku tak tahu apakah ini sebatas pelarian atas kepenatan dalam menjalani
hidup kemarin. Ataukah karena alam yang pendiam menyimpan segudang teka-teki
yang sayang untuk dilewatkan, dibongkar hingga auranya telanjang? Yang pasti
hari ini kobar adrenalinku akan tersalurkan dengan manis. Bersiap mengarungi
detik, putaran waktu dan mengecap setiap mili kokohnya ragamu.
Aku dongakkan kepala, mengukur
jarak untuk target hari ini. Dan aku rasa tepat bagian batu yang menjorok (hang
pertama) dengan hiasan rumput liar. Lima
puluh meter, semoga, aku harap lebih, mengingat poin yang sukar ditembus.
Aku melirik ke sejumlah peralatan panjat siap pakai. Sebagian besar
alat-alat itu termasuk benda berat yang terbuat dari besi. Semua tergantung
membentang seperti jemuran lengkap dengan talinya bahkan mirip pajangan barang
dagangan.
“Tiga hari!” ucap teman satu timku mengajak toas.
“Why not!” balasku tak kalah
optimis. Apalagi operasional perdana ini aku didaulat sebagai leader. Si
penentu jalur pemanjatan, tentu tanggung jawabku besar. Aku harus memastikan
pengaman yang kutancapkan menggigit kuat bibir batu andesit yang keras.
Aku mulai merayap mendekap batuan kokoh yang berjuluk tebing. Kaki,
tangan, kelentukan tubuh dan otak berkoordinasi tanpa henti agar tak luncas dan
terpental mengikuti laju gravitasi. Tanganku terus meraba sekedar mencari
tempat singgah ternyaman jika ingin tetap berdekap dengannya. Kakiku menegang
tuk sebuah pijakan penentu guliran nafas. Detak jantung dan nafas seakan
berlomba menghantarkan butiran keringat.
Matahari semakin tinggi. Pancarannya benar-benar menyengat sekujur tubuh
memaksa kulit yang mulai menjelaga runtuh terkelupas karenanya. Tubuhku masih
bergelantungan bersama tali-tali sahabat jiwa. Lelah dan haus silih berganti
menemani tanpa bisa ku elak.
Berat terlihat. Tapi tantangan ini sangat menjanjikan kepuasan para
penantang kaum pejantan. Hidup seakan meregang nyawa. Seluruh indera bekerja.
Satu lelah, asa kan
musnah.
Hari ketiga. Hari penghabisan penuh pengharapan. Seorang kawan membimbing
lintasan. Ku lihat begitu gesit laju geraknya, semangat yang meracun dirinya
jadi pematik rasa penasarannya tuk segera menapak puncak kepuasan yang
terjanjikan.
Aku sempatkan meletakkan pantat yang telah rindu ingin mengadu lempeng
datar. Meski hanya setengah pantat yang diperbolehkan mendarat, aku sudah cukup
tersanjung. Batu yang mejorok dan menyisakan sedikit ruang bagi lelahku sungguh
melegakan tarikan nafas yang sebelumnya sesak.
“Hoi…..! Top!” teriak kawan setimku yang me-leader.
Kepala kudongakkan mencari kepastian pendengaran. Benar. Dia sedang
berjuang agar kakinya bisa menapak tegak. Tercapailah asa. Sesaat dia
meghilang. Kemudian kepalanya tiba-tiba melongok ke bawah seraya menampilkan
sunggingan penebar semangat.
Gairah mendesir menyulut organ tubuhku tuk segera bersua. Satu pijakan,
dua rengkuhan, dan…
“Ah!” erangku.
“Zan….!” kawan-kawanku meneriaki aku.
Seketika sadarku melayang seiring tubuhku yang serasa terbang. Lepaslah
lelah sesaat, berganti desiran ringan membelah udara. Sekejap. Hingga indera
perasaku menggores perih wajah yang bersimbah peluh bercampur debu dan sedikit
leleran cairan kental berwarna merah darah. Yeah, darah mengalir cukup deras
dari sudut pelipis kananku. Tapi otakku masih sangat jernih walau tubuh
tergantung tak sempurna.
Aku mengenang sejenak gerangan apa yang telah dengan sukses memerosotkan
tubuhku hingga beberapa meter ke bawah. Piuh, pe-erku semakin banyak. Aku
teringat betapa bergeloranya diriku ketika sobat satu perjuangan berhasil
menggenggam tali kemenangan dengan bangga. Aku jadi terlalu bernafsu ingin
segera memeluknya, merasakan degup jantung yang berdentang mengabarkan kejayaan
kami sebagai seorang pecinta yang selalu haus kasih Sang Dewi Alam. Lalu azab
menelan ambisi serakah. Aku bahkan tak menyadari jika batuan yang kudekap begitu rapuh, tanganku yang
mencengkeramnya semakin melabilkan hingga runtuh bersamaku. Ah, cerobohnya aku!
“Kau tak apa-apa, sobat!” gemuruh suara kawanku menyadarkan
keterkejutanku.
“Oke!” sahutku sambil mengacungkan ibu jari.
Ku seka darah yang menyatu keringat di sudut mata. Daya kembali
kukumpulkan bersama pijar semangat yang ada. Aku tak hiraukan tusukan
menyakitkan dipelipis kanan. Hanya satu yang kupedulikan, titik akhir
pemanjatan ini. Walau terus terang ku akui tubuhku sempat melemas tanpa aliran
darah, tapi itu tidak akan menyurutkan nyaliku yang kian menggebu.
Sekali lagi aku meniti lintasan yang pernah kurambati. Sejauh ini
kesabaranlah batu ujian yang harus aku renangi. Aku pijak dan tancapkan
jari-jariku dengan mantap. Satu rengkuhan lagi. Batinku menyemangati. Sobatku
pun menyeringai menanti hadirku dengan dengungan pengobar semangat yang tak
kalah berwibawa dari batinku. Selanjutnya dia mengulurkan tangannya membantuku
memijak puncak yang aku rindukan.
Darah masih mengalir meski pertolongan ala kadarnya menyentuh lukaku.
Nafas mulai normal setelah tersengal. Aku duduk menikmati nuansa penyegaran bak
semerbak bauan aromatik. Wangi Sang Dewi Alam yang terpujakan. Kuciumi hembusan
hawa yang disajikan, hingga pedih yang memakan rasa punah tersapu sang bayu.
Lirih ku dengar senandung jiwa kasmaran. Terbuai aku dalam alirnya. Dia
lalu memapah indera lihatku menyaksikan bentangan alam yang maha luas. Memaksa
benakku berangan dan menginginkan, hhh… seandainya hati dan jiwaku seluas jagat
ini pasti tidak akan pernah ada luka terpendam. Yang ada hanya kejujuran tuk
sebuah cinta kasih.