Lanjutan...
Pen, Aku Padamu...!
Dan sobat, mendekati
pos II terjadi kecelakaan kecil tapi cukup fatal. Citonk yang berjalan di belakangku
jatuh terduduk. Kakinya keseleo.
Awalnya kupikir cuma jatuh biasa tidak sampai cidera. Aku bahkan sempat menertawakan Citonk yang
meringis-ringis. Habisnya aksi jatuh begitu sudah biasa dong yah. Dulu pas naik
Slamet, kami malah bergantian eksyen jatuh. Biar dramatis.
Kami merubung Citonk, kotak P3K sudah aku keluarkan. Kentang yang katanya bisa sedikit ilmu pijat membantu mengurut kaki Citonk.
“Sakit, Cit?” tanyaku. “Bisa jalan?”
“Aku nggak pa-pa. Sepertinya bisa,” ucapnya berusaha
berdiri dengan bantuanku dan Pheenux.
“Kalau nggak bisa jangan dipaksa. Kita ngecamp aja.” kata Pheenux.
“Iya,” sahutku
mengamini.
“Ngecamp di mana? Di sini nggak ada tempat buat ngecamp,
kali.” kata Citonk kembali meringis menahan
sakit.
“Tul juga, di sini nggak mungkin bisa pasang tenda. Cuma
jalur berbatu menurun.”
“Kalau masih bisa jalan kita ngecamp di pos I aja, yang ada shelter-nya.” saran Kunyit.
“Yuk, jalan!” ajak Citonk.
Meski terseok-seok, Citonk tetap berusaha berjalan sendiri. Kunyit mengusulkan agar ada yang menggendong Citonk.
Sayang Citonk menolak mentah-mentah ide tersebut.
Akhirnya setelah melalui proses
rayu-merayu, Citonk menyerah pasrah. Nah, sekarang masalahnya siapa yang mau gendong Citonk? Perdebatan yang
seru akhirnya memutuskan kata sepakat Ali-lah yang mendapat kehormatan untuk
menggendong Citonk. Lebih tepatnya Ali kalah suara, karena semua tangan
menunjuk ke arahnya. Ali yang dasarnya kalem, cuma manggut-manggut nampaknya
sambil berpikir, akankah diriku pingsan begitu sampai gerbang Cemoro Sewu. Ah,
betapa mengenaskan.
“Masih kuat, Li?” tanya Ujang.
“Tenang,”
“Bagus! Cuma tanya loh.”
Citonk rupanya bisa mendengar ratapan merana
Ali. Baru beberapa langkah Citonk sudah minta turun.
Katanya sih merasa bisa jalan sendiri. Ali pun tersenyum lega dalam hati. Makasih Tonk, kau sungguh pengertian
dengan teman kecilmu ini.
Hari mulai gelap. Payahnya selain kaki Citonk yang keseleo, harus
ditambah penderitaan tanpa penerangan cahaya. Cuma kami tiga dara manis dan
pasangan Kiko-Ale yang bawa senter, yang lain pada sok sakti tuh. Biar kaya si
buta dari goa hantu kaleee, berjalan dalam gelap. Mending si buta asli buta,
lha mereka punya
mata sehat tak punya cahaya. Percuma kan ,
tetap saja meraba-raba, membuta gitu, jadi tambah menghambat perjalanan saja!
Kira-kira pukul delapan, setelah berjuang hingga titik lelah penghabisan, bergelap-gelap, menahan kantuk dan
terseok-seok untuk Citonk, kami sampai juga di pos I. Lega
banget pokoknya.
Tak disangka tak diduga, anak-anak Yogya
mengambil alih tenda dan alat masak. Mereka mempersilakan kami menghuni tenda
seraya menunggu mereka memasak. Hehe... indahnya. Mana pernah kami diperlakukan secara istimewa oleh
pejantan UPL. Tidak ada istilah
bermanja-manja. Semua harus bekerja saling bantu. Kali ini kami benar-benar tersanjung, setelah tersandung batu betulan.
“Wah, be queen
nih!” celetuk Pheenux.
“Kalau sama kami santai aja,” sahut Ujang. “Enak tho, jadi ratu.”
Suasana akrab terjalin lagi. Sayang
mataku tak bisa diajak berteman. Dia sudah teriak-teriak minta dipejamkan. Aku
segera menyusul Citonk yang sudah lebih dulu menikmati mimpi. Di luar suara
senda mereka mengiringi lelapnya tidurku. (Perjalanan pulang ternyata tidak selancar perkiraan. Haduh, ada apalagi nee???)