RSS
Container Icon

Teruntuk Tuhan...

Teruntuk Tuhan…



Terimakasih Tuhan….

Terimakasih karena hingga detik ini Engkau masih meberiku nafas agar k uterus bertasbih

Terimakasih karena memberiku waktu tuk memperbaiki sebentuk iman yang masih koyak

Terimakasih atas kesempatan mencari bekal demi menghadap-Mu kelak



Terimakasih Tuhan….

Terimakasih karena tiada bosan mendengar keluh kesah dan sumpah serapahku pada-Mu

Terimakasih karena selalu mengabulkan setiap untaian permintaan yang kuhaturkan



Terimakasih Tuhan….

Terimakasih karena selalu membimbing pijak-pijak kaki nakalku

Terimakasih karena selalu mengingatkan atas khilaf sengaja dan khilaf diluar pengertianku



Terimakasih Tuhan….

Telah memberiku hidup indah bersama kekasih yang Engkau tunjukkan untukku.



Jika telah sebegitu besar kemurahan hati-Mu, dihari dimana aku mulai ada ini masih pantaskah aku mengemis karunia yang masih Engkau simpan?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perjalanan


*Pertemuan

Ayam jantan sudah berkokok dengan gagahnya, dan aku masih terkapar enggan membuka mata. Bagai dikalungi berjuta tembaga mata ini terasa sukar tuk melihat gegap nuansa pagi yang baru saja lahir. Lelah masih setia menggelayut ditubuh. Nyeri, ngilu dan perih bahu-membahu menempa tubuh yang terbujur kaku, memprovokasi otak agar tak mengkoordinir otot melakukan satu gerak apa pun. Cukup begini, diam dan menikmati sejumlah kenangan.

Kemarin. Masih jelas terbayang saat jiwa dan ragaku dibelenggu oleh sistem yang tak aku paham. Luar biasa. Dia menyambutku dengan angkuh. Lecutan caci menjadi kata manis yang dia saji tuk menggerakkan tubuh melalui remote kontrol. Desauan angin yang dulu kurasa semilir menyegarkan berubah menggores balutan kulit sensitifku. Aku yang masih perawan. Hingga darah segar menetes diantara keringat yang meleleh terpanggang oleh sang siang.

Pertemuan pertama ini menerbitkan prasangka betapa kejam dirinya. Bahkan aku bernadzar tak sudi menemuinya kelak kecuali dia bersedia menyembulkan sedikit senyum manisnya padaku. Aku yakin, setiap senyuman yang tersungging menampilkan kesejatian sisi manis yang tersimpan dalam muka seram. Dengan itu mungkin jiwaku akan melunak dan mencoba tuk kembali mengenalmu.

Kemarin. Masih teringat bagaimana dirimu menjamuku dengan bongkahan-bongkahan amarah yang menggelindingkan raga. Aneh, dimana salahku? Setiap pijak langkahku kau hadang dengan kebengisan tapakan yang terjal. Kadang curam menanjak, kadang curam menurun, kadang lintasan bara kau pasang, bahkan kau juga menyisakan segaris jalan untuk satu kaki, bukan sepasang kaki. Beberapa kali aku nyaris jatuh, sekali aku terjatuh. Saat kuseka dayaku yang mulai meluruh kau justru tertawa. Tawamu terus menggema mengisi gendang telinga, terbahak di balik kebisuan ragamu.

Jika tidak salah sudah separuh jalan aku hidup bersamamu. Terawali dari naungan pucuk-pucuk hijau lebat yang menyesatkan dan bersanding dengan onak duri yang selalu siaga merajam tubuhku. Selesai menciumi diriku dengan hawa dingin yang menggigil, aku dituntun dalam gelap menelanjangi pesona auramu tanpa helaian busana hijau. Aku terkesiap. Indah, sunyi menelungkupi damai alami. Tak lama aku menikmati kesejukan yang menarikan bulu kuduk, selanjutnya aku dipanggang dalam terik surya membara. Panas, kulitku serasa mengelupas. Aku bergantung pada tali-tali erat, jika kupaksa lepas, lolos pula nyawa yang selama ini kudekap. Merayap dan terus merayap pada dinding batu tegak pencakar bumi.

Hari-hari bergulir. Begitu lambat namun pasti datang dengan membawa kejutan yang menantang urat syaraf. Firasatku berucap, ini akan segera berakhir. Penindasan yang sukar kutolak, kurasa akan menemui ajalnya. Atau justru ajalku? Oh, tidak. Dia sungguh ingin membunuhku terlebih dahulu sebelum dia mengakhiri dirinya. Sebuah hamparan penghisap tubuh menantiku dengan bangga. Rimbunan belukar menatap seakan merasakan haus yang berkepanjangan. Dia ingin tubuhku berkubang menyatu dengannya. Tidak! Dan terlambat. Alunan teriakan membahana menyeretku hingga terjerembab masuk semakin dalam.

Di antara keputus-asaan kutemukan butir semangat pemberontakan. Aku harus keluar dari kubangan ini! Seketika itu pula perih yang menggelitiki kakiku lenyap. Aku bangkit dan melawan. Satu hari aku berjuang mempertahankan ragaku dari hisapan lumpur maut. Nafasku tersengal, aku telah berada kembali diujung bibir kehidupan.

Senja semakin mendekat ke malam. Derap langkah lelah tertatih bersemangat mencari satu titik cahaya yang paling terang. Sayup kudengar bisikan memberi tanda bahwa sejengkal lagi hidup baru akan terjelang. Yah, cahaya itu penunjuk jalan menuju titik terbit cahaya terterang.

Gemerisik pasir yang bermain disela kaki tak kuhiraukan. Aku berjalan hanya dipandu semburat merah dilangit yang menampilkan bola pemberi nyawa siang. Samar kulihat pula sebuah bendera panji kemenangan yang harus kupegang dan kibarkan. Tentu saja, aku harus meraihnya, mengangkatnya dan meneriakkan kemenangan yang telah kureguk dengan taruhan nyawa.

Pagi ini hari begitu cerah. Terbukti dari kilatan sinar yang sukses meneropong mataku hingga mau membuka. Mimpi burukku telah berakhir. Dan hari ini tak disangka aku memperoleh kecupan lembut lengkap dengan senyum manis membasuh dendam yang kemarin bersemayam. Dia yang angkuh dan bengis namun mengasuhku dengan kasih yang hadir dipagi ini. Menjengukku, menebar senyum dan meluruhkan egoku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS