I
Pen,
Aku Padamu!
(Pendakian
Gunung Lawu)
sumber gambar : nogo-ijo.blogspot.com
* H-1
Aku bergegas
keluar ketika ada suara yang berhasil
membebaskanku dari acara rapat yang hanya membuatku seperti sapi ompong. Blank, sobat! Dua minggu lalu aku baru saja dinobatkan sebagai Anggota Biasa
(AB) UPL MPA UNSOED. Satu minggu kemudian aku dapat kutukan menjadi koordinator
Publikasi untuk acara Festival Lingkungan Banyumasan dalam rangka ultah UPL
yang ke-21.
Kepala suku yang seharusnya menjadi
atasanku kabur. Entah bagaimana silsilahnya tiba-tiba aku dapat ucapan selamat
dari teman seangkatanku mengatakan bahwa aku yang masih bau kencur, kunyit dan
segala bumbu dapur (sebelumnya pas jadi Anggota Muda pernah jadi sie konsumsi
untuk Pendidikan Dasar) naik pangkat jadi koordinator publikasi. Sempat melongo bingung gitu deh. Biasa mengkondisikan
cabe, wortel dkk jadi makanan ‘agak’ layak makan, mengatur panci, wajan, tungku
beserta kawan-kawan eh, harus mengatur orang dan
selebaran.
But, show must go on! Aku dengan berat hati setelah ditawari bebek goreng sama Ketua Pelaksana,
Mbak Riana, ho-oh, ho-oh
saja.
Citonk dan Pheenux cengengesan
menatapku. “Jadi ikut ke Lawu nggak?” Citonk menembakku tepat dipusat nafsu sampai membuatku ngiler kayak orang nyidam.
“Kapan?”
“Besok,” sambar Pheenux berapi-api.
Bersamaan dengan itu sebuah palu
menghantam kepalaku. Job-mu, Sus!
“Besok pagi? Besok hari Rabu ini?”
tanyaku bertubi-tubi setengah syok. Padahal
besok aku harus mulai publikasi pasang-pasang pamflet dan bagi-bagi leaflet. “Hah!! Gila, apa?! Aku lagi banyak kerjaan nih!”
“Iya, subuh besok kita harus
berangkat. Semua sudah siap. Tadi kami habis ke Ajibarang pinjem tenda. Tahu
kan tenda kita?” ujar Citonk. Tenda sekre kami, UPL maksudnya, rusak dan
satunya sedang dalam perbaikan.
“Nggak bisa mundur sehari, dua hari?” rengekku.
“Nggak bisa! Udah telanjur buat janji sama teman di stasiun
Klaten. Kalau
dia punya HP sih nggak masalah, dia nggak ada, susah menghubunginya.” tolak Citonk mentah-mentah.
“Teganya, teganya, teganya....” aku
langsung menyanyi dangdut.
Ini kesempatan besar, sobat. Ini
pertama kalinya aku dan dua mahluk yang menculikku dari acara rapat tadi akan
mendaki gunung tanpa senior yang selalu sok cerewet. Dan aku
membayangkan ini akan terasa
menyenangkan karena kami akan mendaki minus cowok. Lha si Ali teman kampus Citonk dan Pheenux? Ah, anggap saja cewek, xixi.....
“Ayo, ikut nggak?” desak Citonk.
“Kenapa besok sih!” protesku lagi.
”Mumpung aku
ama Citonk di
kepanitiaan belum sibuk.” lontar Pheenux.
“Lha, aku?
Kalian kayaknya harus ikut diksar lagi deh, biar nggak egois.” sungutku.
Citonk dan Pheenux meringis. “Tendanya juga ngantri lho, empat hari lagi harus sudah
balik.”
“Begitu ya?” komenku lunglai.
“Minta ijin aja ama Mbak Riana. Tugasmu… berdayakan dong anak buahmu!
Tinggal sebar, kan?” ucapan Pheenux selaksa angin Gunung Lawu yang menyegarkan pikiran.
“Betul juga.” aku menjentikkan jariku. “Lagian ini
publikasi curi start.”
“Nah, apa lagi?” Pheenux kali ini mengompori.
“RO sudah buat empat orang lho. Peralatan tim udah
beres. Paling tinggal peralatan dan perlengkapan pribadi kamu aja.” penjelasan
Citonk
semakin membuatku meleleh super
mupeng.
RO: Rencana Operasional. RO wajib
hukumnya bagi anak UPL untuk melakukan pendakian, atau kegiatan alam lain. Dari
RO bisa diketahui siapa saja yang berangkat, perlengkapan yang dibawa dan
kegiatan sehari-hari selama perjalanan. RO juga akan memberi informasi kapan
mereka seharusnya merapat ke sekre. Jika dalam waktu tiga hari setelah batas kepulangan tidak ada kabar,
anggota harus siap-siap angkat senjata nge-SAR.
“Sebentar,” aku
ormed (orientasi medan, biasa dipakai untuk
mengetahui posisi kita di dalam hutan) melihat situasi
dalam sekre yang sudah tidak dalam kondisi rapat lagi. Detik selanjutnya sebuah target tembak muncul dari dalam ruang Ketum.
“Risti!” panggilku
dengan senyum malu-malu gimana.
“Ada apa?”
“Begini, sepertinya besok aku mau ikut ke Lawu, Ris. Tapi aku masih bingung
sama pekerjaanku,”
“Terus?”
“Aku pengin banget naik, Ris!” muka kupasang memelas. “Aku nitip publikasi ke kamu ya?” aku memegang tangannya sambil bersimpuh memohon.
Sebenarnya kualat banget aku menyuruh Risti buat meng-handle
tugasku, dia kan atasanku. Posisinya sekretaris panitia. Huehe....
“Iya, Ris, cuma tiga hari kok.” lontar Pheenux ikut membantu
aksiku. Pheenux dan Citonk ikutan menyembah Risti yang masih melongo. Awas, ada lalat masuk!
“Ris... please!!!”
aku yakin dengan muka menderita seperti ini, Risti yang berhati lembut bakal terharu menangis tersedu-sedu dan rela melepaskan kepergianku.
“Wah, kalau naik rasanya aku nggak bisa ikut. Aku udah
pernah ke Lawu.” tolak Risti membuatku menarik-narik jilbab histeris. Ya ampun, kami bukan sedang merayu kamu buat ikut naik Lawu! Geregetan tenan! Pheenux
dan Citonk cekikikan.
“Nah… karena itu, karena kamu udah pernah ke Lawu,
berilah daku kesempatan untuk menginjakkan kakiku di atas tanah yang pernah kau
pijak, please!!” jadi mendadak puitis de;
“Hubungannya sama aku?”
Rasanya aku ingin mengajak Risti push-up jungkir balik.
“Sabar-sabar!!!” ucapku dalam hati. “Hehe… selama aku nggak ada, naik Lawu, kamu urus kerjaanku ya.” aku nyengir kuda tanpa meringkik.
“Gimana, mau kan?”
Risti yang baik hati, namun belum masuk era
pentium tersenyum. Entah apa arti senyumnya itu.
Monalisa van Java!
“Please!!”
“Nux, masih ada yang mesti kita beli lho!” Citonk sepertinya tidak tahan
dengan aksi bujuk rayuan pulau
kelapaku yang belum klimaks.
“Oya ya,” Pheenux berdiri mengikuti Citonk. “Sus, selamat berjuang!” Pheenux mengerling kemudian
berlalu setelah mentransfer energi ke
tubuhku lewat tepukan pada pundakku.
Aku menatap Citonk dan Pheenux yang menghilang di balik
pintu sekre dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya turun juga gerimis dimataku. Tak
lama kemudian aku sudah meraung-raung, guling-guling bahkan koprol di hadapan
Risti. (bersambung...)