RSS
Container Icon

It's About Sabu


Sangga Buana


Kami tadinya hanya butiran-butiran biji yang terserak di antara dedaunan, sampai ada seorang anak bernama Upi memunguti kami dan memasukkan kami dalam sebuah mangkok berwarna oranye. Mata anak itu berbinar manakala ia menamai kami satu persatu dengan menuliskan angka mulai 1 sampai dengan 17 pada tubuh kecil kami. Dia menggenggam kami kemudian memburaikan kami pada mangkok oranye itu lagi.

Kami sangat gembira ketika ia memperlakukan kami dengan sangat ramah. Dia selalu mengajak kami bermain di sela jari-jari mungilnya. Hingga suatu hari kami dipindahkan pada sebuah wadah kecil kedap udara. Kami nyaris tidak bisa bernafas karena tubuh kami saling berhimpitan dan terguncang-guncang. Peluh kami meleleh hampir menenggelamkan sebagian dari kami. 

Tiba-tiba setelah tercekam dalam kebutaan sesaat, tubuh kami telah terbang dan berjatuhan terpencar pada sebuah tanah yang gersang. Kami memanggil satu persatu nama teman-teman kami untuk memastikan bahwa mereka mendarat dengan selamat dan tepat. 

Hanya sekejap kami merasa lega, karena berikutnya kami harus berjuang agar dapat hidup pada tanah berbatu nan tandus. Kami sempat geram pada anak kecil itu karena telah tega membuang kami ke tempat yang ekstrim dari sebelum kami dipungutnya. 

Kami hanya bisa berteriak untuk saling menguatkan dan terus berharap dalam doa, hujan akan turun menyembuhkan luka akibat cakar matahari yang ganas. Hanya itu yang kami butuhkan agar bisa bertahan di antara butir kerikil yang terus mengejek kelemahan kami.

Doa kami terkabul. Hujan lebat telah meluruhkan ego tanah tempat kami berpijak. Perlahan kami mulai dapat membenamkan diri menyatu dengan kehidupan yang telah dititahkan untuk kami. Perlahan tapi pasti kami menyelami, meresapi dan akhirnya dapat tidur mendekap bumi kering tempat takdir kami terlukis.

Entah telah berapa kali matahari menyapa kami dengan binar ceria. Tak satu kali pun kami menyambutnya renyah. Hingga suatu pagi yang cerah kami akhirnya sanggup membalas sapanya dengan seutas tunas dalam senyum bangga. Sayangnya biji yang pernah anak itu_Upi tulisi dengan angka tiga memilih pergi manakala akar rapuh kami mulai terjejak. Kami harus merelakan karena hidup adalah pilihan. Dan kami yang tersisa memilih bertahan demi keajaiban yang mungkin akan segera tercipta.

Dalam naungan langit biru, dalam siraman kawan hujan, dalam percikan cinta ayahanda surya dan dalam buaian sayang bunda bulan kami semakin tumbuh dan terus menghujamkan akar kami pada gunung yang semula gersang. Sepertinya kami berhasil menyangga kehidupan yang semula kerontang.

Lihat!

Tak ada lagi gunung gersang, karena kami berenambelas telah berhasil memberi warna hijau pada tanah gunduk kecokelatan. Kami memberi aura hijau sesuai dengan daya kami masing-masing. Kami berkembang sesuai keinginan kami sendiri. 

Ada yang menjulang tinggi mencakar langit, ada yang merebah, ada yang merimbun, ada yang merambati tubuh yang lain. Menjadi pohon pinus, menjadi pohon jati, menjadi tanaman semak, menjadi palem, menjadi anggrek, menjadi ilalang, menjadi liana berduri dan berbagai jenis pohon tumbuhan lain. Kami saling menopang kehidupan gunung yang baru saja kami bangun. Kami tidak boleh terpencar, kami harus tetap utuh berenambelas agar terjadi keseimbangan.

Tak mudah kawan untuk bertahan menghadapi hujatan hujan badai atau rongrongan manusia yang menginginkan keelokan kami. Selalu saja ada yang mengotori tubuh kami. Selalu ada yang mengiming-imingi kami kehidupan baru. 

Kami mencoba menahan godaan dengan saling mengingatkan bagaimana kami terbentuk. Kami terus berusaha menyatukan perbedaan yang seringkali dihiasi perselisihan. Kami berupaya menjaga tali-tali yang mengikat tubuh kami. Apapun yang terjadi kami harus solid atas nama persaudaraan. 

Tapi kawan, pada suatu ketika salah satu dari kami harus tumbang oleh titah alam. Dia biji nomor delapan si lumut kebaikan. Dia harus meluruh ke dalam tanah. Dia harus kembali pada Sang Pemilik sejati.

Dalam keadaan timpang gunung yang kami hidupi, Gunung Sangga Buana yang kami nafasi tetap kami genggam. Kami berjanji dalam hati akan menjaganya meski kami tinggal berlimabelas dari tujuhbelas biji yang terkukuhkan. Kami berjanji akan menjadi teman, saudara meski raga kami tidak lagi bersemayam di sana. Biar hati dan jiwa kami tetap menjadi bagian dari Sangga Buana di bumi UPL tercinta.

Apa kabar para benih baru?


                                                                                                        Based on request from Kokom.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS