lanjutan....
Elang, Terdampar!
Paginya pukul setengah sembilan, kami bersiap melanjutkan
perjalanan. Melewati jalur yang masih terlindung oleh lebatnya pepohonan. Medan berupa batu-batuan
kecil yang ditebar menutupi lapisan tanah di bawahnya. Tanjakan yang kami dapat pun tidak
securam seperti yang telah terbayangkan.
Anehnya sudah sekitar tiga jam lebih perjalanan, kami belum menemukan pertigaan
jalan setapak yang mengarah ke kanan. Padahal Bapak penjaga pintu masuk bilang
persimpangan ke Gunung Salak tidak lebih dari dua jam perjalanan. Apa kami yang jalannya terlalu
pelan. Ah, tidak, standar deh! Malah tergolong cepat. Habis dapat bonus terus (tidak ada tanjakan maksudnya).
Hari itu pun lalu lintas jalur lumayan ramai. Banyak sekali orang hilir mudik
berpapasan dengan kami. Berdasarkan informasi, mereka sedang melakukan napak tilas. Entah apa, aku tidak begitu paham.
Dan tujuan akhir mereka semua atau ujung perjalanan mereka sebelum berbalik
adalah Kawah Ratu. Sesuai dengan yang tertera dikarcis ‘Karcis Masuk Wisata
Alam Kawah Ratu’.
Saat istirahat makan snack__tea time kami berunding tentang posisi
setelah ormed seperlunya tanpa peta dan kompas. Saat sudah mentok Ujang urun suara kalau waktu jalan tadi sekilas dia melihat jalan setapak ke kanan. Katanya sih jalan itu
sangat samar, makanya dia abaikan.
“Jadi balik lagi?” tanya Pheenux ke Ujang.
“Jauh nggak dari sini?” tanya Citonk.
“Jauh lah,” jawab Ujang. “Aku nemunya sebelum kita lewat jembatan kecil.”
“Wow! Jauhna....” komentar Kentang.
“Kok kamu nggak bilang dari
tadi!” protes Pheenux.
“Habis kalian jalannya kayak babi hutan sih, main terjang nggak tengok kiri-kanan, ngerem saja enggak,” jawab Ujang enteng.
“Mau balik nggak nih?” tanya Noly memutus
debat kusir tanpa kuda.
“Waaa, balik lagi?” Dede terduduk lesu. “Sudah jauh begini, je.”
“Benar, tanggung,” tanggapku. “Lanjut saja, siapa tahu pertigaannya masih di depan. Semisal tidak ketemu juga, yaah, kita
piknik saja
ke Kawah Ratu.” ucapku enteng sambil tertawa. Dede, Kentang ikut tertawa sambil
mengacungkan ibu jari. Teh Mei cuma tersenyum dengan makna tak aku mengerti.
“Gimana, Pin?” Citonk minta pertimbangan.
“Piknik ya piknik. Why
not!” sambut Pheenux menyeringai dan mengerling ke
arahku.
“Cukup, cukup, dari pada ribut nggak jelas” ucap Dede.
“Kita nyanyi lagi yuk!”
Dasar Dede, kata-katanya tidak ada
yang serius. Kirain dia mau memberi solusi cerdas atas kebuntuan jalan ke
puncak Gunung Salak. Kami sempat takjub lho, tapi setelah jeda dalam penahanan
nafas, dengan seenaknya dia menebas nafas tegang kami dalam aneka ekspresi
kecewa sekaligus geli.
“Nyanyi? Jalan!” hardik Pheenux.
“Ampun, Mbak! Galaknya!” kata Dede diiringi gelak tawa
semua.
“Kemana nih?” tanya Kentang tula lit.
“Lha kamu penginnya kemana?” Noly balik bertanya.
“Ooh, lanjut ya… ayolah!” katanya sambil
mengangkat cariernya dengan enggan.
Kami pun
sepakat meneruskan perjalanan mengikuti jalur yang ada. Tanpa kami sadari jalan yang
mereka lewati berubah menjadi sebuah turunan. Pergerakan semakin cepat saja. Pukul
satu mereka tiba di sebuah tempat yang menganggumkan. Sebuah hamparan gunung tebing kecil
berasap berwarna kekuning-kuningan memenuhi penglihatan mereka. Mungkin lebih
mirip ke bentuk sebuah kawah. Bau belerang seperti aroma telur busuk menyengat
hidung. Lama kami termangu di tempat menikmati pemandangan di depan.
Wah, ini kutukan! Sepertinya kami
benar-benar piknik ke kawah ratu. Semua jadi memandang ke aku yang tadi
seenaknya bilang; ayo kita piknik ke kawah ratu. (masih nyambung bro, sis....)