RSS
Container Icon

The Three Mbakentir's ke Gunung Salak (katanya 6)

lanjutan....
Elang, Terdampar!


Paginya pukul setengah sembilan, kami bersiap melanjutkan perjalanan. Melewati jalur yang masih terlindung oleh lebatnya pepohonan. Medan berupa batu-batuan kecil yang ditebar menutupi lapisan tanah di bawahnya. Tanjakan yang kami dapat pun tidak securam seperti yang telah terbayangkan.
Anehnya sudah sekitar tiga jam lebih perjalanan, kami belum menemukan pertigaan jalan setapak yang mengarah ke kanan. Padahal Bapak penjaga pintu masuk bilang persimpangan ke Gunung Salak tidak lebih dari dua jam perjalanan. Apa kami yang jalannya terlalu pelan. Ah, tidak, standar deh! Malah tergolong cepat. Habis dapat bonus terus (tidak ada tanjakan maksudnya).
Hari itu pun lalu lintas jalur lumayan ramai. Banyak sekali orang hilir mudik berpapasan dengan kami. Berdasarkan informasi, mereka sedang melakukan napak tilas. Entah apa, aku tidak begitu paham. Dan tujuan akhir mereka semua atau ujung perjalanan mereka sebelum berbalik adalah Kawah Ratu. Sesuai dengan yang tertera dikarcis ‘Karcis Masuk Wisata Alam Kawah Ratu’.
Saat istirahat makan snack__tea time kami berunding tentang posisi setelah ormed seperlunya tanpa peta dan kompas. Saat sudah mentok Ujang urun suara kalau waktu jalan tadi sekilas dia melihat jalan setapak ke kanan. Katanya sih jalan itu sangat samar, makanya dia abaikan.
“Jadi balik lagi?” tanya Pheenux ke Ujang.
“Jauh nggak dari sini?” tanya Citonk.
“Jauh lah,” jawab Ujang. “Aku nemunya sebelum kita lewat jembatan kecil.”
“Wow! Jauhna....” komentar Kentang.
“Kok kamu nggak bilang dari tadi!” protes Pheenux.
“Habis kalian jalannya kayak babi hutan sih, main terjang nggak tengok kiri-kanan, ngerem saja enggak,” jawab Ujang enteng.
“Mau balik nggak nih?” tanya Noly memutus debat kusir tanpa kuda.
“Waaa, balik lagi?” Dede terduduk lesu. “Sudah jauh begini, je.
Benar, tanggung,” tanggapku. “Lanjut saja, siapa tahu pertigaannya masih di depan. Semisal tidak ketemu juga, yaah, kita piknik saja ke Kawah Ratu.” ucapku enteng sambil tertawa. Dede, Kentang ikut tertawa sambil mengacungkan ibu jari. Teh Mei cuma tersenyum dengan makna tak aku mengerti.
“Gimana, Pin?” Citonk minta pertimbangan.
“Piknik ya piknik. Why not!” sambut Pheenux menyeringai dan mengerling ke arahku.
“Cukup, cukup, dari pada ribut nggak jelas” ucap Dede. “Kita nyanyi lagi yuk!”
Dasar Dede, kata-katanya tidak ada yang serius. Kirain dia mau memberi solusi cerdas atas kebuntuan jalan ke puncak Gunung Salak. Kami sempat takjub lho, tapi setelah jeda dalam penahanan nafas, dengan seenaknya dia menebas nafas tegang kami dalam aneka ekspresi kecewa sekaligus geli.
“Nyanyi? Jalan!” hardik Pheenux.
“Ampun, Mbak! Galaknya!” kata Dede diiringi gelak tawa semua.
“Kemana nih?” tanya Kentang tulalit.
“Lha kamu penginnya kemana?” Noly balik bertanya.
“Ooh, lanjut ya… ayolah!” katanya sambil mengangkat cariernya dengan enggan.
Kami pun sepakat meneruskan perjalanan mengikuti jalur yang ada. Tanpa kami sadari jalan yang mereka lewati berubah menjadi sebuah turunan. Pergerakan semakin cepat saja. Pukul satu mereka tiba di sebuah tempat yang menganggumkan. Sebuah hamparan gunung tebing kecil berasap berwarna kekuning-kuningan memenuhi penglihatan mereka. Mungkin lebih mirip ke bentuk sebuah kawah. Bau belerang seperti aroma telur busuk menyengat hidung. Lama kami termangu di tempat menikmati pemandangan di depan.

Wah, ini kutukan! Sepertinya kami benar-benar piknik ke kawah ratu. Semua jadi memandang ke aku yang tadi seenaknya bilang; ayo kita piknik ke kawah ratu. (masih nyambung bro, sis....) 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS