RSS
Container Icon

Perjalanan Etape 8

*Membelah Canda Riak



Lengan telah lelah menanggung beban, ketika sebuah jeram menanti dengan lapar seolah ingin segera melumat habis penampakan raga yang hendak melintas.
“Bersiap, dayung kuat!” seru skipper pemandu laju perahu lantang.
Sebagai awak perahu kami dituntut patuh apapun yang sang kapten komandokan. Jeram menatap liar ke arah kami layaknya pesakitan dengan algojo bertangan dingin siap mengeksekusi.
“Maju kuat!” teriak skipper penuh semangat. Kami jelas menyambutnya dengan bangga.
Teriakan pemicu kekuatan mistik bertalu-talu, mengiringi gerak otot bisep. trisep yang berkesinambungan menarik dan menegang. Wush! Perahu meluncur cantik tanpa dayungan. Arus kuat sangat bijak menuntun laju perahu pada permukaan flat.
Jeram-jeram kecil mengiringi arak-arakan gegap kemenangan. Kami tetap menjaga konsentrasi jika tak ingin si riak buih putih tiba-tiba menyusup lengah kami  dan kemudian dengan nakal ia muntahkan seluruh isi armada. Tidak, kawan kecilku. Kami paham trik kunomu.
Aliran berubah tenang bahkan mengandaskan perahu. Satu persatu walau enggan kami menurunkan kaki membiarkannya bermain bebas dengan air yang dingin. Orteging harus kami lakukan agar bisa melawan jeram berikutnya. Ini sangat menggelikan. Ajang balas dendamkah? Kami kini yang diperbudak perahu dengan memanggulnya hingga batas kandas usai.
Kembali ke posisi semula. Perahu mengarah tak beraturan. Manuver menjadi pemecahan kendali yang sempat terkacaukan.
“Tarik kanan!” komando skipper. Perahu terlalu merapat ke dinding sebelah kiri.
Perahu kembali menyisir normal. Kami terus mendayung melampaui ombak, bernafas di eddy sebelum terjun ke jeram dahsyat. Bahkan sebuah hole pada dinding tebing sukses kami pecundangi. Hhh…..nyaris saja, sedikit terlambat mengatur tempo kami bakal celaka termakan lubang yang semena-mena itu.
Kami menguras keringat di atas flat. Kapten kami mengendus ketidak beresan. Orteging lagi? Firasat kami berkelakar.
Ada celah yang bisa dimasuki!” kabar menggembirakan dari sang kapten.
Kami mengayuh kuat, mengendalikan perahu ke sisi kiri sungai. Dan…..kejutan besar menanti. Celah seukuran perahu menyajikan aliran yang menghujam tajam. Curahan bak air terjun kami lawan habis-habisan. Meski kami tahu kami akan terjungkal menabrak perahu lain yang sedang menepi menurunkan awaknya. Sudah terlambat, perahu yang tergelincir dalam ruang sempit tak sanggup bermanuver. Terjepit.
Seisi perahu sontak berhamburan ke sungai. Bahkan ada yang mendarat di perahu tetangga terkurung di antara dua perahu yang saling berpaut.
Satu demi satu awak berkumpul. Kami semua tertawa telah menyelesaikan sebuah aksi yang mendebarkan. Jeram Cepit. Nama tepat untuk jeram yang baru saja menjepit dan memuntahkan kami.
Penyusuran dilanjutkan. Tiba di jeram curam lagi. Manuver dilakukan. Dan seorang awak menjadi tumbal terpental mengikuti derasnya sungai. Aksi penyelamatan digelar, resque rope menjadi senjata ampuh untuk menarik nyawa. Kawan kami menyeringai.
“Itu tadi keren sekali!”
Ketegangan-ketegangan menyalami kami dengan indah. Si otak tubuh perahu sungguhlah hebat. Perahu terus dan terus melibas jeram tanpa jera. Begitu manis mengarungi setiap golakan yang ingin menggulingkan singgasana  kenikmatan. Tentu, kami akan melawan. Meski sesumbarnya seakan menyurutkan nyali.
Riak gelombang sungai masih setia mengikuti kayuhan dayung. Sementara matahari berangsur menghilang seperti menyengaja menanti kami di ujung terbenam. Dan arus tak lelah berlari mencari titik rendah akhir dari sebuah perjuangan. Baiklah. Ayo, kita berlomba, kita buktikan siapa yang paling tangguh dapat menyentuh cakrawala hari ini!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS