*Membelah
Canda Riak
Lengan telah lelah menanggung beban, ketika sebuah jeram menanti dengan
lapar seolah ingin segera melumat habis penampakan raga yang hendak melintas.
“Bersiap, dayung kuat!” seru skipper pemandu laju perahu lantang.
Sebagai awak perahu kami dituntut patuh apapun yang sang kapten
komandokan. Jeram menatap liar ke arah kami layaknya pesakitan dengan algojo
bertangan dingin siap mengeksekusi.
“Maju kuat!” teriak skipper penuh semangat. Kami jelas menyambutnya
dengan bangga.
Teriakan pemicu kekuatan mistik bertalu-talu, mengiringi gerak otot
bisep. trisep yang berkesinambungan menarik dan menegang. Wush! Perahu meluncur
cantik tanpa dayungan. Arus kuat sangat bijak menuntun laju perahu pada
permukaan flat.
Jeram-jeram kecil mengiringi arak-arakan gegap kemenangan. Kami tetap
menjaga konsentrasi jika tak ingin si riak buih putih tiba-tiba menyusup lengah
kami dan kemudian dengan nakal ia
muntahkan seluruh isi armada. Tidak, kawan kecilku. Kami paham trik kunomu.
Aliran berubah tenang bahkan mengandaskan perahu. Satu persatu walau
enggan kami menurunkan kaki membiarkannya bermain bebas dengan air yang dingin.
Orteging harus kami lakukan agar bisa melawan jeram berikutnya. Ini sangat
menggelikan. Ajang balas dendamkah? Kami kini yang diperbudak perahu dengan memanggulnya
hingga batas kandas usai.
Kembali ke posisi semula. Perahu mengarah tak beraturan. Manuver menjadi
pemecahan kendali yang sempat terkacaukan.
“Tarik kanan!” komando skipper. Perahu terlalu merapat ke dinding sebelah
kiri.
Perahu kembali menyisir normal. Kami terus mendayung melampaui ombak,
bernafas di eddy sebelum terjun ke
jeram dahsyat. Bahkan sebuah hole
pada dinding tebing sukses kami pecundangi. Hhh…..nyaris saja, sedikit
terlambat mengatur tempo kami bakal celaka termakan lubang yang semena-mena
itu.
Kami menguras keringat di atas flat.
Kapten kami mengendus ketidak beresan. Orteging lagi? Firasat kami berkelakar.
“Ada
celah yang bisa dimasuki!” kabar menggembirakan dari sang kapten.
Kami mengayuh kuat, mengendalikan perahu ke sisi kiri sungai.
Dan…..kejutan besar menanti. Celah seukuran perahu menyajikan aliran yang
menghujam tajam. Curahan bak air terjun kami lawan habis-habisan. Meski kami
tahu kami akan terjungkal menabrak perahu lain yang sedang menepi menurunkan
awaknya. Sudah terlambat, perahu yang tergelincir dalam ruang sempit tak
sanggup bermanuver. Terjepit.
Seisi perahu sontak berhamburan ke sungai. Bahkan ada yang mendarat di
perahu tetangga terkurung di antara dua perahu yang saling berpaut.
Satu demi satu awak berkumpul. Kami semua tertawa telah menyelesaikan
sebuah aksi yang mendebarkan. Jeram Cepit. Nama tepat untuk jeram yang baru
saja menjepit dan memuntahkan kami.
Penyusuran dilanjutkan. Tiba di jeram curam lagi. Manuver dilakukan. Dan
seorang awak menjadi tumbal terpental mengikuti derasnya sungai. Aksi
penyelamatan digelar, resque rope
menjadi senjata ampuh untuk menarik nyawa. Kawan kami menyeringai.
“Itu tadi keren sekali!”
Ketegangan-ketegangan menyalami kami dengan indah. Si otak tubuh perahu
sungguhlah hebat. Perahu terus dan terus melibas jeram tanpa jera. Begitu manis
mengarungi setiap golakan yang ingin menggulingkan singgasana kenikmatan. Tentu, kami akan melawan. Meski
sesumbarnya seakan menyurutkan nyali.
Riak gelombang sungai masih setia mengikuti kayuhan dayung. Sementara
matahari berangsur menghilang seperti menyengaja menanti kami di ujung terbenam.
Dan arus tak lelah berlari mencari titik rendah akhir dari sebuah perjuangan.
Baiklah. Ayo, kita berlomba, kita buktikan siapa yang paling tangguh dapat
menyentuh cakrawala hari ini!