Elang, Terdampar!
Pukul sebelas lewat lima menit, kereta baru menunjukkan
monyongnya. Kami bersembilan dengan penuh dendam langsung menyerbu ke salah
satu gerbong. Benar-benar kayak segerombolan preman, bonek yang kalap.
Wah, ternyata kami salah sasaran, gerbong yang kami
masuki tidak menyisakan satu tempat duduk pun. Ali dan Noly
menawarkan diri mencari gerbong yang masih ada lowongan. Aku, Pheenux dan
Citonk jelas tak bisa tinggal diam seperti Ujang. Kami ikut berburu menuju arah
yang berlawanan.
Akhirnya Ali
menjemput kami yang berhasil menemukan tempat duduk di gerbong buntut.
Kami duduk terpisah-pisah. Tidak masalah, yang
penting bisa duduk. Korea ….eh
Kroya – Bandung
gitu loh! Kalau terus berdiri kaki bisa kayak mesin jahit sebelum mendaki.
Bergetar__gemetar kecapaian.
Pada akhirnya rencana nembak yang sudah dirancang begitu
sempurna gagal. Kami termakan isu tentang adanya polsus yang ikut memeriksa
karcis. Aku yang baru berpengalaman dalam hal tembak-menembak jelas ngeri
mendengar itu. Setelah diskusi panjang kali lebar, pada saat kereta berhenti di
stasiun Jeruk Legi kami membeli tiket. Fiuh, lega rasanya….
Isu polsus ternyata benar-benar gosip belaka. Ujang cs
nampak kecewa berat. Malah sempat mau mengeroyok bapak yang ngasih isu palsu itu. Nah lho,
kenapa jadi brutal, tapi nggak kok. Mereka cuma ngegerundel, shs$hsss wewwesss casffd@!!?
fgdskjh#$azz!!!…, bukannya takut. Tapi… gimana ya, sejak awal memang sudah salah kan? Melawan? Babak belur. Yang
ada kecewa berat pokoknya. Waduh, tidak beres otak mereka, melakukan kebaikan malah kecewa.
Perjalanan yang panjang kami isi dengan berbagai hal agar tidak membosankan. Salah
satu caranya; yaah biasa, nyanyi-nyanyi dari lagu dangdut sampai hip hop. Tidak peduli penumpang lain pada keberisikan. Untung tidak ada yang
menimpuk pakai sandal. Kami sih berharap ada yang menimpuk pakai hp, atau
lontong tahu, pasti asyik!
Piuh, akhirnya setelah kira-kira separuh perjalanan kami
semua nyaris bisa duduk bareng. Tempat duduk sebelah berhasil kami monopoli. Menyanyi
lagi dan bergurau riang. Kadang diseling tidur lima menit untuk menghemat tenaga.
♪♫Aku
ingin terbang tinggi seperti elang… ini tanganku untuk kau cium, ini tubuhku untuk kau peluk tapi tak
bisa kau miliki… ♫♪ Lagu Dewa ini yang paling
sering diputar berulang-ulang. Kalau kaset bisa cepat rusak tuh, di reff
melulu.
Pukul lima sore, kereta
masuk ke stasiun Kiara Condong, Bandung .
Mereka lalu menelpon ke Mapala__Astapala Bandung. Biasa mau menumpang tidur, sekalian
cari info tentang Gunung Salak.
“Ternyata banyak neng
geulis nyak?” Dede yang menunggu di luar wartel menatap liar setiap cewek yang lalu-lalang di jalan.
Logatnya pun dibuat sesunda mungkin.
“Benar, kenapa ya?” Kentang ikut berpartisipasi mengamati pemandangan segar
cewek-cewek Bandung
yang manis dan modis, beda jauh dengan penampilan cewek-cewek yang ikut dalam
rombongan mereka. Ujang dan Noly tampak cuek dengan hal-hal begituan, mereka hanya sibuk menikmati
rokok sambil jongkok di teras wartel. Bagaimana pun Ujang kan sudah ada Pheenux dihati. Ceileee… tipe cowok
setia nih ceritanya.
Mendadak terdengar desingan keras mengagetkanku sehingga memaksa leherku mendongak ke atas. Busyet, baru kali ini aku melihat
pesawat terbang serendah ini. Aku bener-bener ternganga.
“Tiarap, tiarap!” seru Dede sambil mengangkat gitar
untuk melindungi kepalanya.
“Wah, keren
ya?” seruku
masih takjub sambil menunjuk ke atas, membuat
orang-orang yang lewat memandang kami. Mungkin dibenak mereka, wah, ini pasti orang udik nih! Memang!
Teh Mei yang
juga orang Sunda
dan pernah jalan-jalan ke Bandung
beringsut menggeser posisi berdirinya. Malu atuh!
Masak Teh Mei yang manis ini disetarakan dengan anak-anak udik macam mereka.
Nggak level!
“Wah, sampai kaget aku,” ungkap Dede pula. “Kirain ada pesawat tempur lewat sambil jatuhin bom.”
“Hei, kalian.
Jangan ndeso gitu napa. Malu-maluin
tahu!” cetus Noly yang sewaktu
mengucapkan kata ndeso terdengar aneh
ditelinga kami, orang Jawa. Noly memang asli Jakarta. Dia sudah bisa mengerti bahasa Jawa, meski belum bisa mengucapkan dengan
baik dan benar.
“Kau juga ndeso kawan, wajahmu itu lho. Ndeso
tenan!” balas Dede mancap langsung ke hati.
“Iya deh, yang waras ngalah.” ucap
Noly.
Adu mulut itu terhenti ketika Citonk muncul dari dalam wartel
bareng Pheenux dan Ujang yang pada waktu pesawat lewat ikut menyusul ke dalam
wartel. Dari
hasil birokrasi katanya sudah oke, kita diijinkan menginap di Astapala.
Hari sudah
mulai gelap. Kami segera mencari angkutan ke sekre Astapala. Sungguh saat yang tidak tepat mencari angkot. Jam-jam segitu jam pulang kantor dan pabrik untuk
wilayah Bandung. Kami harus berjuang kejar sana kejar sini agar dapat peluang. Dengan
berat hati rombongan terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama Pheenux, Citonk, aku, Teh Mei dan Kentang. Kelompok kedua sisa
dari lima
orang tadi.
Dan tahu tidak, kami pikir meski dapat
tempat di tengah angkot kami bisa duduk. Jangan harap kawan, ini bukan
Purwokerto yang selalu menyediakan jengkok (tempat duduk mungil) untuk ditaruh di
tengah di sela tempat duduk angkot resmi meski dilarang. Kali ini aku
benar-benar membela para sopir angkot Purwokerto. Aku dukung mereka ngumpetin
jengkok untuk dipakai saat darurat seperti sekarang ini. Gara-gara tiada
jengkok, aku n the genk harus rela
jongkok di tengah angkot dan dijepit lutut-lutut penumpang lain.
Setelah kaki semutan akhirnya kami
bisa duduk pada tempat yang semestinya. Selama perjalanan kami selalu waspada
dan berkali-kali bertanya pada pak sopir sampai pak sopir mau muntah mendengar
kami tiap lima detik tanya masih jauhkah, STT Telkom Bandung itu? Pada
pertanyaan ke seratus, kami kemudian dilempar ke pinggir jalan sama pak sopir
angkot.
Benar-benar marah pak sopir itu,
nyatanya ketika kami tanya ke penduduk sekitar mereka bilang masih jauh. Kira-kira
1 km lagi, busyet!
Kami akhirnya jalan, sambil sesekali
mengawasi angkot yang lewat. Bukan mau naik angkot lagi (tidak ada budget) tapi,
menunggu klongkot (kelompok angkot) kedua. Setiap ada
angkot yang lewat kami pelototin sampai angkot yang lewat itu langsung kabur tidak
berhenti-berhenti (memang tidak ada kawanan lusuh bin
kumuh sih).
Jadi sempat terpikir jangan-jangan empat
anak itu nyasar. Salah naik angkot, turun sebelum
waktunya, atau… malah sengaja kabur? Wah, bagian terakhir tuh yang gawat, mungkin tidak sih? Ah, yang penting
saling percaya saja. Lagian kami
punya sandera Kentang. Kalau mereka sampai kabur lihat saja, Kentang ini bakal
kami cincang kami buat keripik kentang.
Limabelas menit kemudian setelah leher kaku karena bolak-balik tengok ke belakang, datanglah sebuah angkot impian. Ya,
sebuah angkot dengan carrier nangkring di atasnya. Pastilah kawan-kawan ajaib kami menyelip di antara
penumpang lain. Serentak kami berteriak berusaha menghentikan angkot itu.
Berhasil, berhasil, berhasil, horeeee! Teriakan kami sukses membuat angkot berhenti
beberapa meter depan kami.
Satu persatu muka-muka lusuh turun dari angkutan itu. Spontan
kami saling bersalaman, berpelukan dan bertangis-tangisan. Aneh
banget pokoknya, mendadak kena sindrom kangen. Padahal baru setengah jam terpisah,
tapi bagi kami serasa satu abad.
Di negeri antah berantah je, maksudnya di kota yang sama sekali
asing.
Kami bersyukur
bisa ketemu lagi, kalau sampai terpisah tidak ketemu-ketemu, gawat kan ? Bisa-bisa dibuka operasi SAR.
Memalukan! Tiga anggota UPL MPA
UNSOED dan teman-temannya tersesat di kota
Bandung . Cckck… di peradaban, Nek!
Masak nyasar! Merusak image UPL yang pernah ke Cartenz Pyramid ajah (malah kemarin
sudah ke Elbrus, Kilimanjaro dan besok rencana mau ke Vinson Massif dan
Aconcagua). Sayang bukan aku yang melaksanakan tugas suci itu, hiks, hiks....
Ternyata sangat susah mencari lokasi kampus STT Telkom. Lebih mudah menemukan suatu
titik dalam hutan dengan peta. Tinggal pakai guide punggungan dan kompas bisa langsung ketemu. Lha di sini kami
sudah menggunakan guide andalan kami guide
cocot (panduan mulut) bertanya-tanya, hasilnya malah
muter-muter tidak karuan. Untung kami
ketemu mahasiswa nan budiman yang bersedia mengantar kami sampai ke tujuan. (selanjutnya kami bertiga eh, berempat terkesima
dengan pesona cowok-cowok STT Telkom)