RSS
Container Icon

Sang Pecinta 2


*Sebuah Kisah Tentang Aku dan Pantaiku


Pagi itu aku terbangun oleh percikan sinar mentari pagi. Hawa dingin dan hembusan mesra bayu memaksaku kembali ke balik sleeping bag yang hangat.
Suara canda air yang bermain dengan angin menggugah sadarku serta mengabarkanku untuk segera beranjak dan menyapa sang penguasa siang.
Senyum hangatnya seakan mengobarkan semangat hidup abadi.

Sejurus kemudian aku telah menatap lepas tanpa batas. Wangi laut tanpa komando menyergap indera pembauku. Sangat khas dengan aroma peluh si pelaut.

Tiba-tiba kudengar suara bisikan yang menegakkan bulu kuduk. Suara bisikan yang memilukan, rintihan yang mengisyaratkan mengharap uluran tangan. Bisikan itu bergema ditelingaku “tolong… tolong aku!”

Terpaku aku. Sementara otak warasku berpikir ini hanyalah halusinasi yang tak perlu aku hiraukan.
Namun suara itu nyaris memekakan gendang telingaku. Ku coba mengikuti arus suara mengarah. Hingga ku dapati bisikan itu semakin jelas tatkala telingaku hampir berciuman dengan pasir halus menghampar di depan indera lihatku.

“Tolong aku wahai manusia!” bisikan itu seakan berseru kepadaku.
Aku anggukkan kepala tanda jika aku benar mendengar jelas seruan mengiba itu.
“Lihatlah aku wahai manusia! Aku si pasir malang, bagian dari keindahan pantai yang terkapar tak berdaya.”
“Lihat! Gerangan apakah yang mengitari aku!”
Aku mengernyitkan dahi, menegakkan kepala lalu duduk bersila, kemudian berkomat-kamit laksana orang gila menghitung apa yang ditangkap lensa mata dalam diri sang pasir. “manusia, binatang, serpihan rumah kerang, perahu, jaring, dan tanaman”. Tebakku.
“Tertutupkah matamu wahai manusia? Sesuatu hampir menelanku?Tidakkah engkau menyadarinya?”
Aku diam tak mengerti apa yang dimaksud sang pasir dengan bisikan gaibnya. Aku bahkan ingin sekali mengacuhkannya.
“Tidakkah kau lihat begitu banyak sampah yang menutupi kecantikanku?”
Ups! Aku lupa menyebutnya. Benar, sampah nyaris membelenggunya dalam kebusukan.
“Bersediakah engkau mempersunting aku?”

Hening sejenak.

“Kudengar engkau seorang pecinta. Engkau bahkan mendeklarasikan dirimu sebagai seorang pecinta yang mencintai alam. Betulkah?”
Kata-kata itu seakan menghantam telak ke ulu hati sehingga tanpa aku sadar setitik air yang tak ingin ku cucurkan menetes lewat celah sanubari yang telah lama tertutup kepongahan.
“Bersediakah engkau menyucikan ragaku dengan cintamu? Aku sakit, aku miskin cinta, sementara di sini aku menanggung beban berjuta kotoran sisa manusia. Salahkah jika aku menuntut cinta atas ketidakadilannya? Walau mereka tlah meracuni diriku?”

Termenung aku.
 Naif sekali.
Pertama kali aku mengenalnya aku bahagia mengagumi kecantikannya, lalu bermain, tertawa, berteriak bebas. Kini ketika sampah telah mengisi hari-harinya aku hanya bisa mengeluh. Keluhan tentang keburukan, ketidakindahan dirinya yang pernah mendamaikan jiwaku.
Jiwaku yang dulu merindu ketentraman, haus ketenangan.

Hari ini mataku terbuka.
Ternyata kedewasanku selama ini tak cukup memahami keinginan dari cintaku. Begitu bodohnya aku hingga hanya bisa bermain dalam duka alam yang senantiasa teraniaya olehku. Oleh ego dan pongahku tuk menaklukkan dirinya yang berselimut pesona dan mimpi manusia.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

sekedar... 
Kicauan Hati

Menjadi sempurna jelas sebuah kemustahilan.
Tapi aku yang tak sempurna ini selalu memimpikan kesempurnaan itu.
Banyak hal yang ingin ku raih. Namun akhirnya yang ku dapat hanya kekosongan.
Jadi apa aku harus membuang semua impian itu?
Menjadi seperti takdir yang telah dititahkan.
dan menjadi semakin kosong...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS