lanjutan...
Pen, Aku Padamu!
* HO1 (Hari Operasional 1)
Tepat pukul empat, Mbak Nia__weker hidup, tetangga kamar Citonk yang
telah dipesan supaya bunyi untuk kami, menggedor-gedor
pintu kamar. Aku langsung berdiri dan
berteriak, “Siap!”
Hehe... kebiasaan di rumah. Masih
ingat kan bapakku tentara. Jadi setiap pagi bapak sudah meniup peluit di depan
pintu kamar kami anak-anaknya supaya bangun pagi. Setelah itu kami dibariskan
layaknya apel pagi sebelum melaksanakan tugas masing-masing. Jadi kebawa deh,
begitu dengar suara Mbak Nia serasa mendengar lengkingan peluit bangun pagi.
“Heh, cepetan bangun!” seruku melihat
Citonk dan Pheenux yang masih akrab dengan selimut mereka. “Ayo keburu keretanya berangkat.” tanpa ampun selimut aku tarik dari
tubuh Citonk dan Pheenux.
Pukul lima lewat sepuluh menit, kami sudah berada di
sekre. Biasa mencari bantuan buat
mengantar ke stasiun. Setelah berjuang membangunkan para hantu sekre akhirnya ada juga
yang terpedaya dengan jeritan alarm kebakaran ala Trio Meong (Suxie, Citonk dan
Pheenux).
Mas Dedi dan Keling sambil kucek-kucek
mata langsung menstater motor dan mengantar kami bertiga secara bergantian.
Jadi curiga jangan-jangan mereka mengantar kami sambil tidur.
Ini pertama kalinya aku membonceng
motor dengan menggendong tas carier segede gajah. Bisa dibayang pun gimana tuh
rasanya. Mau pegangan Keling bukan mahrom. Jadilah aku menyisakan ruang
ditengah jok motor untuk pegangan. Berkali-kali aku nyaris terbanting ke
belakang. Tangan kram dan jantung deg-deg plas tidak karuan. Keling sepertinya
sedang mimpi jadi Valentino Rossi. Tidak sadar ada penumpang yang jumpalitan
berperang melawan angin.
“Hei, cepeeeeet! Keretanya mau berangkat!” teriak Pheenux yang tiba duluan
sehabis beli tiket.
“Makasih, Mas!” seruku dan Citonk sambil lari ngacir. Kami berlarian berlomba
mengejar kereta yang tetap cuek melaju. Tidak berperikeretaan tuh kereta, tidak kasihan melihat ada
tiga cewek yang aslinya manis-manis harus lari-lari dengan carier besar nguber
dirinya. Ccckk….kurang kerjaan banget!
Setelah menjelajah dari gerbong ke gerbong dan sempat kena omelan sama
orang-orang yang tidak sengaja kena tas gajah kami, akhirnya
dapat tempat duduk di gerbong tiga. Kami
menghembuskan nafas hampir bersamaan, fiuh, nyaris saja ketinggalan kereta.
“Pemanasan yang indah,” komentar
Pheenux mengatur jalannya nafas. Aku dan Citonk manggut-manggut tanpa bersuara
sibuk menertibkan udara yang masuk ke hidung.
Sekitar pukul sembilan tigapuluh
kereta yang kami tumpangi berhenti di stasiun Klaten, kami langsung mencari-cari Ali. Bukan Ali topan anak jalanan loh! Ali adalah
guide kami ke Lawu, syukur-syukur
bisa merangkap jadi porter. Maklum kami ini masih amatir dalam hal pendakian. Baru
satu gunung yang kami daki yaitu Gunung Slamet itu juga karena hukumnya wajib
bagi AM. Ini pendakian kami kedua, pendakian pertama tanpa disertai anak UPL!
“Dia nunggu di mana?” tanyaku.
“Aku suruh tunggu di depan pintu masuk.” sahut Citonk menjulurkan kepala
keluar jendela. Pheenux melakukan hal
serupa. Aku yang tidak kebagian lubang jendela cuma menempelkan mukaku ke kaca
kereta.
Untung tempat
duduk kami
berada di sisi sebelah kanan. Jadi
tidak repot menggusur orang-orang yang sudah bercokol dibangku sebelah kanan. Tinggal longok ke jendela pintu masuk stasiun langsung kelihatan.
“Ali tuh!” seru Citonk.
“Mana?” tanyaku yang belum pernah bertemu Ali, celingukan mencari-cari orang yang dimaksud Citonk.
“Dia nggak lihat kita,” kata Pheenux. “Dia lagi nyari kita!”
“Syal, syal!” seruku tiba-tiba.
Citonk segera merogoh sakunya. Detik berikutnya syal berwarna
oranye telah berkibar-kibar di udara. Teriakan heboh memanggil
Ali, Ali, Ali ikut bergema. Jadilah kami seperti team pandu sorak norak yang
menari-nari dibangku kereta.
Aksi kami
membuahkah hasil. Kata Citonk, Ali telah
bergerak mendekat ke gerbong dan kemudian sudah nongol di lorong tempat kami menyambutnya
bak pahlawan. Rambutnya yang sedikit gondrong lurus lunglai berkibar tertiup angin yang
tidak tahu datang dari mana.
“Wah, cewek semua?” Ali syok setelah tahu dia cowok
sendirian. “Itu barang kalian?” apalagi setelah tahu carier kami bertiga.
Gawat, jangan-jangan aku nanti yang
suruh bawain semua. Air muka Ali tampak berkata begitu, sambil cleguk, menelan
air ludah.
“Kenapa?” tanya Pheenux.
“Ntar yang paling berat biar aku yang bawa.” kata Ali menawarkan diri.
“Pasti,” sahut Pheenux tanpa basa-basi
mengacungkan ibu jarinya. “Memang itu maksudnya.”
Muka Ali tambah pucat pasi.
“Eh, kenalan dulu dong!” cetusku sambil mengulurkan tangan. “Suxie,”
“Udah tahu namaku, kan?” ucap Ali tersenyum. “Mereka berdua pasti udah cerita
tentang aku.”
“Iya, sih. Tapi nggak semua.”
“Baguslah. Dengan begitu kemisteriusanku tetap terjaga.”
kata Ali
datar dan tenang.
“Kemisteriusan?” ulang Citonk.
“Misterius?
Gayamu....”
sambar Pheenux tertawa bareng Citonk.
“Apaan sih?” aku tengak-tengok
bingung.
“Loh, aku kan cowok cool.” tanggap Ali
terkekeh.
“Halah!!”
“Kulkas?”
“Yo,
karepmu. He-em, Suxie fakultas apa?” Ali mengalihkan tema.
“FISIP,”
Lalu kami tahu-tahu sudah berada dalam
sesi tanya jawab klasik sampai tanya jawab moderat. Halah maksudnya apa?! Tanpa prasangka bahwa nantinya kami akan bertemu dengan sesuatu yang akan mengubah
hidup kami. (masih nyambung!!)
0 komentar:
Post a Comment