RSS
Container Icon

Perjalanan Etape 2

* Perjodohan

Ketika embrio berkembang dan terlahir menjadi seorang bayi yang mungil, sebuah taqdir terlukis bahwa dia, bayi mungil itu yang juga aku adalah salah satu dari anak alam. Meski tidak langsung lahir dari perutnya, tapi aku tetap dianggap anak baginya. Aku digembleng oleh siang dan malam yang telanjang. Saat kedewasaan mendekat, aku harus siap menerima perjodohan yang telah disematkan.

Hari ini hatiku resah. Otot-otot tubuh ikut menegang. Seiring otak yang mengutuk tajam kelemahan argumenku tuk mengatakan, Tidak! Mereka tersenyum menyambut kebisuan yang kutampilkan. Tunggu! Ini pasti salah paham! Aku diam bukan berarti aku bersedia, justru kebimbangan yang mengisi penuh benak dengan ribuan pertimbangan.

Terlambat. Ketukan palu telah memutuskan aku harus setuju menerima tantangan perjodohan ini. Meski ketika teringat bagaimana dia menghajarku, mencaciku dan menertawakan diriku ingin rasanya menyudahi permainan bertaruhkan nyawa ini. Terlambat, sekali lagi terlambat. Aku semakin terjerambab jauh dalam arena perputaran nasib yang mengarahkan laju langkahku pada tangga tak beranak. Aku telanjur berucap akan bersedia mengenalnya. Mereka mengartikannya secara berlebihan. Aku harus menikah dengannya?

Baiklah. Demi harga diri agar tidak dijuluki si pecundang, aku rela menyerahkan diriku sebagai bentuk pengabdian. Toh, aku tidak sendiri. Aku yakin akan ada yang mendongkrak semangatku nanti.

Dengan enggan aku mengikuti arak-arakan dalam baris satu-satu yang rapi. Sebuah gerbang megah menjadi batas antara kerajaan alami dengan peradaban kontaminasi. Hawa dingin menerpa lembut dengan tusukan maut menghujam tulang. Nafas mulai kering, berhembus satu persatu. Sementara beban dipundak menekan seakan ingin menancapkan langkahku pada tatanan tanah basah.

Aku sadar, aku hanyalah seorang muda yang lemah. Aku hanya anak manja dari peradaban modern yang tak mengerti dunia alam atau kerajaan liar itu. Jiwaku mencintai dunia kerlip dengan desingan suara gaduh, aku sama sekali tak suka seni petualangan yang dicintai para maniak alam. Tapi…., kenapa dia memilih aku tuk jadi teman hidupnya. Bukankah banyak pejantan tangguh yang lebih kenal dirinya dan mencintainya? Bahkan mereka rela jika harus menjadi budak-budak yang bersedia tunduk pada titah sang alam. Tidak dengan aku.

Aku kira dengan mencoba sisi lain sebuah dunia akan membuatku bahagia. Kenyataannya aku hanya semakin terjebak. Perangkap yang dipasang olehnya sangat erat memasung raga dan sukmaku. Mustahil lepas! Jika kupaksa aku hanya akan menyakiti nyawa lain yang masih ingin menghirup madu kebebasan. Seteguk madu manis yang bagi mereka sangat menggairahkan. Tidak dengan yang kurasakan.

Siang ini hawa dingin yang menyelimuti dinginnya tubuh, sedikit banyak berhasil ditepis oleh pancaran panas surya yang dengan lincah menerobos celah diantara rimbunnya pepohonan. Selama aku melangkah dia tetap setia menyorotkan berkas hangatnya, hingga keringat mengucur deras membasahi balutan tubuhku. Masih jauhkah singgasananya? Hanya itu yang selalu kuucapkan dalam hati tuk mengusir lelah dan bosan.

Aku teguk setetes air tuk menghilangkan dahaga. Undakan yang akan membawaku ke singgasana pelaminan diwarnai dengan berbagai rintangan yang menyusahkan dan melelahkan. Aku mendongak ke sisi kananku jauh di atas. Samar terlihat singgasana yang berhias rangkaian awan putih. Begitu agung. Tidak jauh lagi. Hibur nuraniku. (bersambung….)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: