lanjutan...
“Apa ini gunung mati?” gumamku
seraya mengatur nafas lalu berkumpul dengan lainnya.
Pen, Aku Padamu...!
Sepertinya aku kena sindrom puncak
deh, lagi-lagi aku merasakan nafas yang putus-putus. Jalanku semakin pelan, karena kaki serasa habis menjahit kain ratusan
meter. Beda sekali
dengan sindrom
puncak Citonk.
Begitu dekat puncak Citonk justru semakin perkasa dan
berjaya.
Dan lagi-lagi anak-anak Yogya merecoki langkah terseok kami. Mungkin
maksudnya memberi semangat, tapi caranya membuatku nyaris naik pitam. “Sabar, sabar!” ucapku dalam hati. Aku
harus menyimpan emosiku untuk menambah kekuatan.
Anak-anak
Yogya yang mendahului laju kami berteriak-teriak dari atas
memberi tahu kalau tempat mereka berpijak adalah
puncak. Tentu saja komentar-komentar
sadis masih mereka hujamkan.
“Ayo, ini puncaknya!” teriak Ujang berdiri meringis menonton kami. “Peni, aku menunggumu!”
Kali ini lagi-lagi Citonk yang pertama berjaya di
puncak Lawu. Juara dua Pheenux. Terakhir aku dalam
pengawalan Ali. Baik banget kamu, Li!
Jiwa penasaranku membuatku berkeliling melihat-lihat keadaan. Puncak Lawu berupa dataran cukup
luas yang ditengahnya terdapat semacam tugu dari batu. Sekitar tugu itu banyak
batu besar/kecil berkumpul mengelilingi tugu seakan ingin menemani keangkuhan tugu batu itu.
Rupanya masih ada dataran memanjang dan sedikit menurun yang arahnya berlawanan dengan
jalur turun. Lebar dataran tersebut kurang lebih tiga meter dan semakin ke
ujung semakin menyempit. Kan an-kirinya
sudah merupakan jurang yang curam.
Aku, Pheenux dan Citonk jelas tak mau melewatkan acara paling narsis
sedunia. Foto dunk! Setelah puas berfoto-foto ria, karena cuaca yang terik kami lalu pada nyungsep di antara semak-semak besar. Acara makan siang sederhana
bersama digelar, dengan menu roti tawar dengan isian selai. Suasana akrab mulai
terjalin. Akhirnya
kami bisa berbincang
biasa dan bahkan tertawa bersama.
Tak lupa saling tukar-menukar alamat.
Pukul 14.00 wib kami merayap turun. Seperti biasa acara turun lebih
cepat ketimbang naik. Tinggal menggelinding saja, jadi cepat deh. Tiba di sumber air drajad kami sempatkan mengambil
air. Selanjutnya adegan kejar-kejaran terjadi lagi. Seru seperti balapan moto GP gitu.
Kunyit dan Ujang dengan tidak sopannya
mendahului Valentino Rossi, Pedrosa dan Stoner (ibaratnya aku, Pheenux, Citonk,
tiga pembalap itu. Hihi...) nge-gas mendahului kami tiga pembalap terkenal. Wah,
pembalap cacingan macam mereka tidak boleh menyaingi mereka, dong yah? Para
fans bisa pada kecewa. Apalagi melihat tampang mereka yang jauh dari tampan.
Kami pun segera tancap gas. Dan alangkah terkejutnya kami begitu sampai pos III yang ada shelter-nya.
What??? (pakai mulut nganga
lebar). Mau masak? Benar-benar kurang
kerjaan! Ini sudah sore Bung,
target pos I bisa tidak keburu. Hih, super
gregetan! Kalian tahu kan, bapakku tentara. Jadi sifat disiplin melekat dalam
nadiku. Pokoknya anti yang namanya jam karet seperti yang biasa dipakai oleh
orang Indonesia pada umumnya.
Tanpa rasa berdosa mereka menikmati mie hasil masakan Kunyit tak terkecuali Ali. Aku, Citonk dan Pheenux saling pandang sambil
menghela nafas sambil menahan iler juga.
“Peni, mau mie?” tanya Ujang. Pheenux menggeleng. “Citonk sama Sushi?”
“Nggak, makasih.” sahut Citonk ikutan sok nolak.
“Tapi tehnya boleh tuh. Hehe....” kata Pheenux mendekat meminta teh panas.
Rasa jaimku meluntur. Lumayan buat menghangatkan badan yang terasa menggigil.
“Nyit, gimana nih?” teriak Ujang tiba-tiba.
“Apaan?”
“Ser nyut-nyut rasane....”
“Apanya? Perutmu? Makan tuh batu!” balas Kunyit cekikikan.
Ujang membalas celoteh Kunyit tak
kalah seru. Membuarlah tawa keduanya. Kami hanya pasang tampang asem manis.
Setengah jam kemudian perjalanan kami lanjutkan. Kami terus melaju dengan
kecepatan tinggi, masih dengan setengah berlari. Serasa naik kereta ekspres, begitu anak-anak Yogya berkomentar. (juk ijak ijuk ijak ijuk... saking kencangnya laju kereta kami, maka terjadilah kecelakaan yang tidak diinginkan. Kira-kira siapa saja yang cidera ya? tunggu lanjutannya...)