Lanjutan: Pen, Aku Padamu!
* H-1 (Pra Operasional)
Aku cukup takjub dengan kamar Citonk
yang tidak lagi menjadi kamar yang asyik menurut versiku. Daya imaji dan
kreatifitas Citonk selalu menciptakan kamar yang bernuansa. Selalu berganti
tema. Hari ini bertema alam, dengan banyak foto gunung, sobekan kulit kayu yang
bertuliskan SAFE OUR FOREST, ada edelweis
yang tidak mencerminkan safe our forest, tidak
tahu Citonk
dapat darimana sebab UPL melarang keras anggotanya memetik edelweis. Bunga
pinus kering yang berbaris rapi di meja, tak
ketinggalan tanaman hidup dalam vas air, dan pohon
bonsai.
Tiga hari berikutnya kamar Citonk bisa penuh dengan
gambar-gambar karakter kartun disney. Jendelanya berumbai-rumbai bintang dan
bulan. Atau pernah pas aku ke sana ada banyak bunga melati di atas kasurnya, dengan warna pink bertebaran di
mana-mana, katanya
sih nuansa kamar pengantin. Dan bila
natal tiba kamar Citonk langsung berubah seperti gereja.
Beda banget pokoknya sama kamar kosku
yang berukuran 3 x 4 meter beralaskan karpet plastik karena belum dikeramik.
Sejak awal datang sampai sekarang kamarku tidak berubah. Tetap gersang, tidak ada
ornamen apapun yang menghias tembok dan mengisi meja
kecil salah satu dari tiga perabot kamar selain lemari dan tempat tidur. Barang-barang elektronik pun, enggan singgah di
kamarku. Eh, ada
satu ding! Radio jadul imut yang suaranya sukses membuat beberapa
retakan ditembok.
Malam ini tema kamar Citonk; badai baru saja berlalu. Bayang pun aneka benda berserakan semena-mena tidak pada tempatnya.
Seperti CD (celana dalam) Citonk yang bercengkerama dengan beras. Sementara
snack, mie instan bersanding dengan golok dan yang paling mengenaskan aneka
plastik, buku dan kertas-kertas bergelimpangan terinjak-injak kaki Citonk dan Pheenux. Ramai
pokoknya, ada yang mendesah-desah, ada yang menjerit-jerit, ada pula yang
merintih kesakitan.
“Wah, kamarmu
benar-benar berkarakter, Tonk!” pujiku berdiri di ambang pintu sambil menenteng
carrier.
“Datang juga!” Citonk tersenyum menyambut kedatanganku yang tak dijemput, pulang juga bakal sendiri.
“Harus!” komentar Pheenux.
“Tugasmu?” tanya Citonk. “Risti mau gantiin?”
Aku mengangguk melempar turun golok
yang nangkring di kasur Citonk, lalu duduk di tepi ranjang berhimpitan dengan aneka bekal makanan selain golok tadi. Aku memegang janggutku sambil bersabda layaknya Chairil Anwar:
“Aku ini bak koruptor yang terbang ke
negeri orang.”
“Haha… kami nggak maksa loh!” kata Citonk. Pheenux malah tertawa lebih keras sambil
nungging-nungging.
“Tapi godaan itu begitu kuat.” masih sok berpuisi.
“Dasar setan gunung! Aku tergoda!” pekikku berubah memakai intonasi ‘aku gak punya
pulsa....’ (Siapa menjiplak siapa coba? Dialog itu terjadi sebelum handphone mewabah
menjadi KLB: Kejadian Luar Biasa).
“Cuma tiga hari ini. Mbak Riana udah ngasih ijin, kan?” tanya Citonk.
“Enggak tahu,
tadi pas aku telpon ke kosnya dia lagi keluar. Jadi aku nitip pesen aja ma
temannya, hehe....”
“Bener-bener kabur kau!” hujat Pheenux
membuatku semakin terpuruk di sudut ruang.
“Bukan waktunya untuk galau! Jadi ikut nggak?” hardik Citonk.
“Kamu udah kami jatah barang kelompok, tahu!”
“Pe-de banget aku ikut. Mana?” sahutku terbangun dari
rasa bersalah. Semangat penaklukan kembali berkuasa.
“Tuh, dekat lemari.”
“Beres. Plastik packing
mana?” tanyaku cepat melupakan soal
publikasi dan mbak Riana.
“Sebelah kaki Citonk.” sahut Pheenux.
“Nux, kalau udah selesai RO-nya tolong di-print!” komando Citonk yang memang didaulat menjadi ketua tim.
“Petanya udah belum?” aku mengingatkan.
“Lupa!” pekik Citonk menepuk keningnya lalu mengaduk-aduk tumpukan buku yang ada. “Gimana nih, belum foto copy?”
Kami bertiga melihat ke arah jam dinding yang
menampilkan pukul 22.30 WIB. Aku dan
Pheenux kemudian saling pandang menyeringai menyaksikan
sungut keluar
dari kepala kami. Selanjutnya kami kompak berkoar “Langsung gunting!”
Citonk tersenyum ala pembunuh berdarah
dingin, tanpa ekspresi dia memotong peta dari laporan pendakian Gunung Lawu
yang kami culik dari Pusdok UPL. Semoga tidak ketahuan pengurus. Bakal push up seumur hidup kalau
ketahuan nakal. Hihi... (padahal dengan kisah ini jadi
ketahuan, maap-maap 1000x). Tapi
tenang, nanti setelah mendaki kami akan pasang lagi kok. Itu kalau tidak lupa. Itu juga kalau petanya tidak lecek. Itu kalau petanya
tidak hancur kena air hujan. Itu kalau petanya tidak hilang.
Kami sangat
khusyuk menata barang bawaan kami yang jadi sebesar lemari. Sungguh melenakan hingga tanpa sadar malam telah merayap melewati tengah
malam. Untung tidak ada ibu kos, kalau ada, huh… bisa mencak-mencak tidak
karuan disangka sedang mengadakan
pesta narkoba. Tetangga kos Citonk kayaknya sih bisa
toleran.
Pukul dua
dinihari kami baru merebahkan tubuh
kami. Rasa senang campur deg-degan memaksa kami ingin tetap terjaga.
Tapi kalau ingat besok harus bangun pagi, mau tidak mau mata kami paksa memejam meski hanya
sekejap. Padahal sudah pagi! (nyambung
lagi yak…!)