RSS
Container Icon

Perjalanan Etape 7



*Lorong-lorong sahabat


Hari ini menurutku, aku terlihat gagah. Sebuah busana kebesaran membalut hampir seluruh tubuh. Baju ala penerbang mungkin juga pakaian kerja bengkel, cover all jadi ciri khas tersendiri bagi penjelajahnya. Helm dan lampu kepala menjadi asesoris yang tidak boleh terlewatkan ditambah sebuah lilin yang tersemat manis di saku lengan.
Berdebar rasanya jantungku menjemput pertemuan dengan primadona nan anggun namun sedingin salju. Sisi gelapnya menawarkan kesunyian abadi, hanya kawan lamanya yang bersedia menunggui dengan sinar mata penuh kehangatan. Jutaan ornamen adalah perhiasan mahal yang kau cipta dengan kasih ribuan tahun lamanya. Tentu, kau menyimpannya dan tak kan rela jika seseorang menjamahmu tanpa santun.
Zona remang romantis ku lewatkan dengan manis. Kelepak gelisah kelelawar mengitar terusik.
“Tenanglah kawan, hadirku hanya tuk memahami ketenangan sobat lamamu. Benarkah sunyi tempat sempurna tuk menimbun gundah? Aku ingin membuang resah dan berbagi kehampaan.”
Lampu senter menyirami aneka batuan unik. Ornamen flowstone menjuntai gemulai. Stalaktit menggantung bak lampu penghias ruang mewah. Pilar pencakar terbalut leleran air seakan mendesak ingin dipeluk. Stalakmit yang menggeliat tumbuh turut mewarnai cipta seni yang tersuguh apik.
Ups! Buaian pernak-pernik istana bawah tanah ini telah menjerembabkan kakiku dalam liatnya lumpur berbatas dengan keriap air. Dingin menelusup lewat pori kain pembalut badan menggigit kulit. Sensasi menakjubkan saat merenangi air tatkala dinding atap merendah memaksa muka berciuman hingga basah. Merayapi liang sempit ditebus dengan chamber selaksa ruang petapa agung.
Lorong-lorong panjang terkadang menyesatkan membuahi kecewa. Berakhir dengan jalan akhir yang mustahil ku terobos, sedang tubuhku kasat mata. Tirai-tirai gordin telah menutup jalan ke depan. Ku kembali menjilati tebaran moonmilk dengan mata kekaguman. Sementara air masih enggan melepaskan aku dari rengkuhannya.
Sebuah guardam telah menanti tuk ku gerayangi. Satu-satunya celah yang mungkin akan memberiku kejutan lain. Sedikit sukar tanpa pijakan nyata, air pun turut menampar muka dengan percikan nakal. Namun bara penasaran berhasil membawa tubuh menuju puncaknya.
Adakah kebosanan telah merambati kalbu, ketika ujung lorong tiada menyambut gemuruh rindu bersua dengan maha cahaya. Tidak. Pencarian harus menemui titik ajal. Aku yakin alur-alur yang ada akan membawa pada kepuasan tiada tara. Walau aku harus rela manakala kepala beradu keras dengan batu tua. Hadiah cap kebiruan dikulit mungkin akan menempel beberapa hari mendatang sebagai kenangan. Aku bangga telah menembus pekat sang jawara malam.
Lorong sempit masih ku ikuti ujungnya. Untuk menelusurinya kaki melaju menyamping. Pantat dan perut tak lepas bergesekkan dengan dinding pengap. Celah kecil yang menganga di depan hidungku tak kusia-siakan. Merayap merupakan santapan terlezat tiap waktu. Ku nikmati hingga hadiah lorong lebar memberi applause atas jerihku.
Telingaku menangkap sesuatu yang bergemuruh. Ku harap bukan derap genderang musibah air bah yang menggoncang. Air menyisakan setinggi mata kaki. Temaram cahaya membantu menuntun mataku memantulkan berkas cahaya. Gemuruh semakin memekakan telinga.
Lalu…….Air mukaku mengutas senyum. Pintu keluar menyorotkan cahaya siang yang menyegarkan. Rona pelangi laksana karpet merah penyambut tamu kebesaran digelar. Riuh gemuruh itu……ah, ternyata curahan air yang menghujam tanah. Sebuah air terjun nyaris menutup pintu keluar ujung lain. Menakjubkan!
Terbayang aku akan dongeng klasik tentang pangeran dan putri. Goa yang tertutup air terjun, tempat pelarian hebat untuk memadu kasih. Akankah putriku telah menunggu hadirku di mulut goa ini?
Sinar yang menerjang retinaku cukup menyilaukan. Aku coba susupkan tubuhku di sela percikan yang merajalela. Bebas, ku hirup wangi dunia permukaan. Terlampau biasa. Tak ada gejolak keterasingan yang dalam. Putri sunyi sungguh pendiam. Meski emas bergelimang menguasai jagad penuh kedamaian. Terimakasih putri, kiranya dirimu sudi berbagi kesenyapan dan meluruhkan dendam.
Kepalaku menengadah, ku cari si empunya cahaya. Ku berseru penuh bangga;
“Wahai surya, Sang Pemancar Cahaya! Aku yakin kau akan senang jika turut serta menjelajahi perut sang bumi. Sayang. Kau terlalu sibuk dengan kehidupan permukaan. Kau pasti tidak sadar, sahabat-sahabat baik di sana tetap diam dan tenang meski kau tak adil membagi cahayamu. Kerajaan gelapnya justru terbangun megah dan cantik tanpa sentuhan hangatmu. Mereka yang di sana membisu. Melindungi dari kekejaman terik yang kau tawarkan jika letihmu telah memuncak di ubun-ubun. Hai, kau yang di atas sana dan bertahta aura membara, sanggupkah kau berkenalan dan bersahabat dengannya?”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown said...

pengalaman yang menyenangkan sepertinya menjelajahi perut bumi. :)

Ada event buat para blogger nih, hadiahnya Samsung Galaxy ACE dan uang tunai.