*Lorong-lorong
sahabat
Hari ini menurutku, aku terlihat gagah. Sebuah busana kebesaran membalut
hampir seluruh tubuh. Baju ala penerbang mungkin juga pakaian kerja bengkel, cover all jadi ciri khas tersendiri bagi
penjelajahnya. Helm dan lampu kepala menjadi asesoris yang tidak boleh terlewatkan
ditambah sebuah lilin yang tersemat manis di saku lengan.
Berdebar rasanya jantungku menjemput pertemuan dengan primadona nan
anggun namun sedingin salju. Sisi gelapnya menawarkan kesunyian abadi, hanya
kawan lamanya yang bersedia menunggui dengan sinar mata penuh kehangatan.
Jutaan ornamen adalah perhiasan mahal yang kau cipta dengan kasih ribuan tahun
lamanya. Tentu, kau menyimpannya dan tak kan
rela jika seseorang menjamahmu tanpa santun.
Zona remang romantis ku lewatkan dengan manis. Kelepak gelisah kelelawar
mengitar terusik.
“Tenanglah kawan, hadirku hanya tuk memahami ketenangan sobat lamamu. Benarkah
sunyi tempat sempurna tuk menimbun gundah? Aku ingin membuang resah dan berbagi
kehampaan.”
Lampu senter menyirami aneka batuan unik. Ornamen flowstone menjuntai gemulai. Stalaktit menggantung bak lampu
penghias ruang mewah. Pilar pencakar terbalut leleran air seakan mendesak ingin
dipeluk. Stalakmit yang menggeliat tumbuh turut mewarnai cipta seni yang tersuguh
apik.
Ups! Buaian pernak-pernik istana bawah tanah ini telah menjerembabkan
kakiku dalam liatnya lumpur berbatas dengan keriap air. Dingin menelusup lewat pori kain pembalut badan
menggigit kulit. Sensasi menakjubkan saat merenangi air tatkala dinding atap
merendah memaksa muka berciuman hingga basah. Merayapi liang sempit ditebus
dengan chamber selaksa ruang petapa agung.
Lorong-lorong panjang terkadang menyesatkan membuahi kecewa. Berakhir
dengan jalan akhir yang mustahil ku terobos, sedang tubuhku kasat mata.
Tirai-tirai gordin telah menutup jalan ke depan. Ku kembali menjilati tebaran
moonmilk dengan mata kekaguman. Sementara air masih enggan melepaskan aku dari
rengkuhannya.
Sebuah guardam telah menanti
tuk ku gerayangi. Satu-satunya celah yang mungkin akan memberiku kejutan lain.
Sedikit sukar tanpa pijakan nyata, air pun turut menampar muka dengan percikan
nakal. Namun bara penasaran berhasil membawa tubuh menuju puncaknya.
Adakah kebosanan telah merambati kalbu, ketika ujung lorong tiada menyambut
gemuruh rindu bersua dengan maha cahaya. Tidak. Pencarian harus menemui titik
ajal. Aku yakin alur-alur yang ada akan membawa pada kepuasan tiada tara . Walau aku harus rela manakala kepala beradu keras
dengan batu tua. Hadiah cap kebiruan dikulit mungkin akan menempel beberapa
hari mendatang sebagai kenangan. Aku bangga telah menembus pekat sang jawara
malam.
Lorong sempit masih ku ikuti ujungnya. Untuk menelusurinya kaki melaju
menyamping. Pantat dan perut tak lepas bergesekkan dengan dinding pengap. Celah
kecil yang menganga di depan hidungku tak kusia-siakan. Merayap merupakan
santapan terlezat tiap waktu. Ku nikmati hingga hadiah lorong lebar memberi
applause atas jerihku.
Telingaku menangkap sesuatu yang bergemuruh. Ku harap bukan derap
genderang musibah air bah yang menggoncang. Air menyisakan setinggi mata kaki.
Temaram cahaya membantu menuntun mataku memantulkan berkas cahaya. Gemuruh
semakin memekakan telinga.
Lalu…….Air mukaku mengutas senyum. Pintu keluar menyorotkan cahaya siang
yang menyegarkan. Rona pelangi laksana karpet merah penyambut tamu kebesaran
digelar. Riuh gemuruh itu……ah, ternyata curahan air yang menghujam tanah. Sebuah
air terjun nyaris menutup pintu keluar ujung lain. Menakjubkan!
Terbayang aku akan dongeng klasik tentang pangeran dan putri. Goa yang tertutup air terjun, tempat pelarian hebat untuk
memadu kasih. Akankah putriku telah menunggu hadirku di mulut goa ini?
Sinar yang menerjang retinaku cukup menyilaukan. Aku coba susupkan
tubuhku di sela percikan yang merajalela. Bebas, ku hirup wangi dunia
permukaan. Terlampau biasa. Tak ada gejolak keterasingan yang dalam. Putri
sunyi sungguh pendiam. Meski emas bergelimang menguasai jagad penuh kedamaian.
Terimakasih putri, kiranya dirimu sudi berbagi kesenyapan dan meluruhkan dendam.
Kepalaku menengadah, ku cari si empunya cahaya. Ku berseru penuh bangga;
“Wahai surya, Sang Pemancar Cahaya! Aku yakin kau akan senang jika turut
serta menjelajahi perut sang bumi. Sayang. Kau terlalu sibuk dengan kehidupan
permukaan. Kau pasti tidak sadar, sahabat-sahabat baik di sana tetap diam dan tenang meski kau tak adil
membagi cahayamu. Kerajaan gelapnya justru terbangun megah dan cantik tanpa
sentuhan hangatmu. Mereka yang di sana
membisu. Melindungi dari kekejaman terik yang kau tawarkan jika letihmu telah
memuncak di ubun-ubun. Hai, kau yang di atas sana dan bertahta aura membara, sanggupkah
kau berkenalan dan bersahabat dengannya?”
1 komentar:
pengalaman yang menyenangkan sepertinya menjelajahi perut bumi. :)
Ada event buat para blogger nih, hadiahnya Samsung Galaxy ACE dan uang tunai.
Post a Comment