Lanjutan...
Trio Meong Vs CJR KW 4
Pemandangan lucu tersaji saat Trio Klaten berbalik turun,
mereka jatuh secara beruntun. Kami
yang melihat adegan tersebut spontan ngakak. Habis
jatuhnya lucu banget, Radit yang jalan paling belakang (ketahuan dari postur tubuhnya yang
paling tinggi) rem kakinya tidak makan terus melaju dengan kecepatan tinggi
menabrak sosok yang kelihatannya Dino. Nah, Igit yang jalan paling depan jadi
panik. Maksudnya mungkin mau menghindari serudukan dari Dino dan Radit, tapi karena begitu
paniknya kali, eh, dia malah jatuh duluan baru tertimpa dua rekannya. Benar-benar
seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Igit menikmati sensasinya
tuh, sudah jatuh tertindih dua orang pula.
“Sudah, ah.
Kasihan!” ucapku berusaha
menghentikan derai tawa.
“Benar. Jahat banget, tertawa di atas penderitaan orang
lain.” Citonk
menyetujui.
Suasana bisa terkendali, saat trio Klaten dengan
tertatih mencapai ujung tanjakan. Igit terlihat begitu kepayahan, kakinya
cidera. Dia tampak memegang sebatang kayu sebagai tongkat.
“Bawa balsam otot nggak?” tanya Dino. “Igit keseleo saat
jatuh tadi. Kalian lihat kan?”
“Wah, nggak bawa. Paling balsam gosok, mau?” tawar Pheenux yang
masih berdiri selepas mengepak alat makan.
“Nggak apa-apa. Yang penting bisa memberi pertolongan
pertama.” jawab Dino.
“Eh, tadi makasih lho.” ucap Pheenux tiba-tiba bersamaan dengan terulurnya balsam gosok dari tanganku ke
Dino.
“Makasih apa?” ketiganya sontak
menatap melompong pada Pheenux.
“Kalian sudah memberi kami hiburan,” Pheenux kembali tertawa. Citonk dengan
air muka geli mendelik saat Pheenux mengarahkan mata padanya.
“Iya, iya lucu!” tanggap Dino serius.
“Sori…”
“Menurut kalian lucu!” cetus Radit. Mendadak suasana
senyap. Citonk dan Pheenux tidak lagi cengengesan.
“Empat!” celetukku membuat anak-anak lain jadi bingung. “Iya, Radit baru empat kali memperdengarkan suaranya yang seksi.”
Citonk yang duduk bersebelahan denganku menyikut lengan.
“Kamu ngitungin Radit ngomong?” Dino melongo.
“Dia ini memang sering kurang kerjaan.” ungkap Pheenux tertawa. “Eh, tapi
bener Sush,
seksi. Kok jarang ngomong sih?”
“Yaah, karena seksi makanya dia jadi pelit ngomong.
Takut ntar kalian pada klepek-klepek, hayo, gimana coba?” jawab Dino.
“Tipe cowok dingin, Pheen!” timpal Citonk.
“Cowok es?” ulang Igit merasa geli dengan istilah itu sambil
meringis menahan sakit ketika Radit mengoles engkelnya yang keseleo.
“Kami juga cewek dingin lho!” selorohku. “Hei, Pheen yang kul, kenapa?” kami bertiga langsung
pasang gaya sok kul. Tapi malah jadi aneh. Wagu!
Dino tertawa, Igit senyum-senyum. Sedang Radit cuma nyengir
sebentar lalu fokus lagi menatap pemandangan yang terhampar di bawah
“Sudah ah, yang biasa aja.” Dino mengakhiri suasana yang
mendadak jadi beku, gara-gara tiga cewek yang tadinya berisik jadi sok kul.
“Oh ya, Igit gimana kakinya? Masih bisa jalan?” tanyaku penasaran. Pasalnya berdasarkan peta masih ada beberapa punggungan
lagi yang harus didaki.
“Lumayan. Lumayan sakit maksudnya.”
“Ceilee… perhatian nih!” goda Dino.
“Jalan lagi yuk!” ajakku memutus celoteh Dino.
“Kita jalan pelan-pelan aja.” saran Radit.
“Kalau mengikuti kami ditanggung seperti putri Solo.”
cetus Pheenux.
“Hah, jalan ngibrit gitu seperti putri solo.” Igit
membelalak.
“Iya, jalan kayak badak gitu, apa nggak pada capek?”
protes Dino.
“Nggak sih, cuma cuuuapek buaaangeeeet!” tanggap Pheenux.
Setelah berkemas, kami melanjutkan langkah mendaki. Kali ini tim
putri harus bersabar berjalan di belakang Igit. Apalagi jalan ke puncak isinya
tanjakan melulu. Sama sekali tidak ada bonus. Igit dengan terseok tampak berjuang melawan
rasa sakit yang bersemayam di kaki. Sesekali berhenti seakan mengukur berapa
jauh lagi puncak dari tempat dia berdiri. Lumayan, masih jauuuuuh, Bang!
Dentang kelontong sapi (lonceng sapi) yang tergantung di tas Radit masih setia mengiringi
setiap jengkal pijakan derap kaki yang semakin patah-patah. Akhirnya pukul lima
kami berhasil
menancapkan bendera kemenangan dengan menapakkan jejak kaki di tanah yang
seakan telah rindu terjamah.
Puncak Bleh! Untuk selanjutnya....