RSS
Container Icon

The Three Mbakentir's Ke Gunung Merbabu 2

Lanjutan....

Trio Meong vs CJR Kw 3



“Pheen! Kabutnya turun lagi.” laporku masih dengan tertawa.
“Masa sih?”
Citonk yang tidak percaya meyakinkan diri dengan melongok keluar. “Benar. Gelap lagi.”
“Wah, kita dipermainkan!”
Kami pun turun ke jalan dan duduk di bangku yang ada di depan pintu masuk halaman. Aksi bengong terjadi lagi. Menunggu dan menunggu. Bosaaaaan oooi! Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.
“Nggak ada harapan.” desis Citonk.
“Dari pada bengong, kita foto-foto aja yuk!” usul Pheenux.
“Benar, benar,” aku menjadi bersemangat. “Aku ambil dulu kameranya?”
Untuk menghibur diri, kami bertiga kemudian berfoto-foto ria seperti layaknya foto model, bergaya dengan berbagai pose norak. Sok pada jadi covergirl! Covergirl tabloid satwa. Untung kami ingat kalau perjalanan besok masih butuh dokumentasi. Nyaris saja satu rol habis.
Pengisian waktu selanjutnya kami lalui dengan jalan-jalan menuju titik start pendakian. Di situ tampak ada batas jelas, antara jalan beraspal dengan jalan setapak tanah berhiaskan daun-daun kering yang bertaburan di atasnya.
Saat sedang mengawasi titik pemberangkatan bakal jalur tiba-tiba muncul pendaki lain yang turun. Terjadilah kembali saling sapa, sekali lagi ini menyangkut kode etik sesama pendaki yang harus saling menyapa. Maksudnya sih, siapa tahu dapat hibahan logistik gratis, hehe…. Makanya tanpa ragu-ragu kami langsung setel tampang manis dan menyapa pendaki yang baru turun. Lagi-lagi pendaki yang turun menyarankan agar jangan nekat naik sekarang, apalagi kalau belum hafal medan. Kami tentu saja mengiyakan dengan ekspresi sok bego.
“Pendakian masal, Mas!” celetukku ketika melihat rombongan yang baru turun tadi jumlahnya banyak sekali. “Ada duapuluhsatu orang, Bleh.”
“Hush, apa sih. Kurang kerjaan.” tegur Pheenux.
“Aku cuma membayangkan Kunyit, Ujang yang naik lewat Wekas. Pasti seperti tadi itu panjangnya.” balasku.
Setelah bosan lagi dengan aktivitas jalan-jalan, kami kembali ke base camp. Kabut masih menyelimuti ruang gerak. Sampai di base camp ternyata sudah ada pengunjung lain. Jumlah mereka empat orang, berpasang-pasangan dan cuma membawa tas rangsel kecil. Datangnya pakai motor. Mungkin mereka cuma mau kemping.
Aktivitas kembali ke masak-memasak. Daripada bengong, lebih baik mengurusi bakal makan malam. Di sudut lain kedua pasangan tadi tampak sedang berbincang-bincang dengan mesra.
“Khusus dewasa!” hardik Pheenux padaku dan Citonk yang dilanda penasaran.
“Ngomong-ngomong dulu kamu putus sama pacarmu kenapa, Tonk? Apa karena kamu suka naik gunung dia jadi ngeri sama kamu. Takut tersaing kekar.” tanyaku membuka percakapan ke arah yang lebih privat tentang hubungan asmara.
“Yaa, gitu deh!” sahutnya tertawa. “Beda prinsip. Artis aja yang sudah pada menikah bisa cerai, apalagi masih pacaran.”
“Siapa ya namanya?” tanggap Pheenux.
“Antonius brengsek!
“Weesshh, segitu bencina?” goda Pheenux.
“Habis dia yang mutusin aku dulu sih. Nggak pangki banget, kan? Pemutusan secara sepihak. Hiks hiks… padahal aku... hhh… cinta mati sama dia.” curhat Citonk.
Bilang saja kamu nyesel karena bukan kamu yang mutusin?” imbuh Pheenux.
“Ya iyalah, secara Citonk, gitu….”
“Sabar Tonk,” ucapku sok bijak, “Pasti akan datang cowok lain yang lebih dari dia.”
“Mungkin. Semoga.” balas Citonk terlihat lemas. “Eh, Sush, cowok manis yang jalan bareng sama kamu dulu itu siapa?” interogasi Citonk tiba-tiba.
“Yang mana? Kenapa? Naksir?”
“Kamu itu, bukannya dia pacarmu? Itu tuh, waktu aku jalan bareng Kisti terus kita ketemu di depan warung pojok.”
“Oh… Heka,” balasku tertawa. “Pacar? Ngaco ah! Dia itu teman kuliah dan kebetulan kosnya depan kosku.”
“Tapi sebenarnya nggak cuma sekali lho, aku lihat kalian jalan bareng.” kata Citonk.
“Teman apa teman?” Pheenux malah menggoda.
“Halaah! Kalau Heka mana bisa dibilang pacar. Dia tuh statusnya TTM seluruh penghuni kosku.”
“Dia cowok gampangan?” selidik Pheenux.
“Iya kali, hehe… nggak, anaknya mang mudah akrab ma siapa aja. Dan dia tuh anaknya super baik, mudah dimanfaatin. Teman-teman kosku juga keterlaluan, seenaknya saja nyuruh-nyuruh. Terus terang aku nggak suka sama sifatnya yang itu, terlalu mudah dimanfaatin”
“Termasuk kamu, kan?”
“Heh, he… kadang sih,” cengirku. “Dia rajin banget kuliah dan yang paling penting catetannya lengkap. Nah, asyik kan, tinggal pinjem sama dia, urusan kuliah beres!”
Bukannya kamu juga rajin, Sush?”
“Rajin, apaan?”
Rajin ke gunung!” koor Pheenux dan Citonk.
“Yaa benar-benar… Ngomong-ngomong berarti kita semua ini jomblo!?”
“Jojoba banget dech!” tambah Pheenux.
“Jomblo-jomblo bahagia,”
Kami pun tertawa tak sadar ada delapan pasang mata sedang mengawasi dengan tatapan tidak senang. Keberisikan kali.
Sepertinya dari kita ada yang mau mengakhiri masa jomblo nih,” celetuk Citonk.
“Oh ya, Pheenux! Gimana perkembanganmu dengan Ujang?” pekikku menyadari sesuatu.
“Nggak!” kata Pheenux keras.
“Dia cinta berat lho, Pheen, sama kamu.” Citonk mengompori.
“Buat kamu aja, sana!” sungut Pheenux menunjukku pakai centong nasi.
“Kenapa aku?” ucapku menunjuk hidung sendiri pakai ikan asin. Kebetulan lagi bagi jatah makan.
“Yuk, makan aja!” Pheenux mengalihkan pembicaraan.
Sushi pimpin doa.” kata Citonk.
Setelah berdoa kami menyantap makan malam yang agak kepagian eh, kesorean. Bersamaan dengan selesainya acara makan, dua pasangan tadi pun pergi setelah berpamitan pada Pak Bau.
Sekali lagi aku menawarkan diri untuk cuci piring. Sekalian wudlu. Kali ini Pheenux membantu karena hendak mengambil air wudlu juga. Citonk yang non muslim membereskan peralatan.
“Hei Sush, ada yang datang!” bisik Pheenux antusias setelah memasukkan peralatan makan dan hendak wudlu lagi karena batal.
“Berapa orang?”
“Tiga,”
“Oh!” tanggapku santai. “Aku duluan, Pheen!”
Ternyata ucapan Pheenux benar. Di dalam sudah ada tiga cowok yang kelihatannya mau naik juga. Mereka sedang mengobrol dengan Citonk.
“Itu yang satunya,” ucap Citonk.
Aku langsung pasang senyum semanis madu refleks menyalami ketiganya melupakan sesuatu.  
“Astagfirullah!” seruku membuat tiga cowok yang sedang mengorek isi tas masing-masing memandang penuh keheranan.
“Apa, Sush?” tanya Citonk tak kalah bingung.
“Aku lupa. Aku kan habis wudlu, mau mengambil mukena. Eh, malah salaman sama mereka.” ucapku menunjuk tiga cowok asal Klaten itu.
“Oa laah….” tanggap salah satu diantara mereka yang bertubuh paling kecil. “Ya, wudlu lagi aja, Mbak!”
“Ehehh… iya,” gumamku malu ngeloyor keluar mengambil air wudlu. Wah, airnya dingin lagi. Kenapa sih tadi begitu semangat menyambut uluran tangan mereka. Kesannya kan haus cowok banget.
“Memang iya!” komentar Pheenux ketika aku curhat padanya.
Masa sih?ucapku sangsi
Kembali dari mushola ketiga cowok pendatang tadi sudah tidak ada, meskipun barang-barang mereka masih terlihat pada posisi semula. Menurut Citonk ketiganya keluar untuk jalan-jalan. Aktivitas selanjutnya ngerumpi, sesekali membicarakan rencana operasional esok hari. Tak lupa melakukan pencatatan waktu dan biaya yang sudah digunakan. Buat laporan.
Pukul sembilan aku sudah membungkus diri dalam kantung tidur. Sayup-sayup terdengar obrolan kecil antara Pheenux, Citonk dan ketiga cowok yang sepertinya baru balik ke base camp.
Aku terbangun ketika mendengar kegaduhan yang ditimbulkan oleh tiga cowok Klaten, sepertinya sedang bersiap mau berangkat. Mengerjap-kerjap aku berusaha melihat jarum jam tangan.
“Bangun, Bleh!” seruku terkesiap begitu tahu waktu telah menunjuk pukul lima.
“Selamat pagi!” sapa cowok yang paling kecil. Kalau tidak salah namanya Dino. Habis lupa.
“Pagi juga!” balas Pheenux sambil menggeliat. “Lho katanya berangkat malam?”
“Kami baru terbangun jam empat. Niatnya sih jam satu dinihari, eh, ketiduran.” terang Dino.
Aku tak begitu peduli dengan ketiganya. Pagi ini jatahku masak. Makanya aku langsung berjibaku menyiapkan kompor, nesting dan kawan-kawan.
“Kamu sholat dulu sana, Sush!” Citonk menyuruhku meninggalkan aktivitas perdana mengurusi bakal sarapan.

Pukul setengah enam rombongan cowok berangkat. Setelah mengucapkan salam perpisahan dan janjian ketemu di atas, kaum cowok pergi meninggalkan para wanita kesepian yang masih sibuk dengan aktivitas rutin tiap pagi, sebagaimana ibu rumah tangga. Masak! (masih nyambung, Bleh!!)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS