RSS
Container Icon

Cermis Gunung Salak (Bumper Cangkuang)



Sekilas Cerita Mistis Pendakian Gunung Salak


                                              sumber gambar
                                   kopalaindonesia.blogspot.co.id


Pasca ketegangan dengan Pak Polisi ganteng yang naksir sama kami bertiga_ aku, Pheenux, dan Citonk_Teh Mei tidak ikut hitungan karena dia tidak ikut melobi genit mana mungkin kepincut sama dia (kege-er-an level sepuluh), Kentang menghadirkan cerita seram versi lain. Aku dan Pheenux yang duduk mepet WC berkali-kali melirik ke arah pintu yang setengah menganga. Parno, siapa tahu hantunya nongol dari sana. Syerem kan?

“Coba waktu itu aku tidak segera menyuruh kalian pada masuk tenda. Mmh... entah apa yang akan terjadi pada kita.”

“Memangnya apa yang akan terjadi?” Teh Mei yang duduk bersebelahan dengan Citonk di ujung pintu lain memeluk lengannya.

“Ya, tidak apa-apa sih.”

“Serius, Tang!” Ujang mendribel kepala Kentang.

“Lagian cuma aku yang lihat.”

“Aku juga lihat,” kata Dede bergidik. “Wow, deh!”

“Apaan sih?” Pheenux mulai tidak sabaran.

“Kalian pernah lihat film Mahabaratha?”

“Pernah,” sahutku mengingat-ingat film perang kolosal India.

“Nah, satu pasukan mirip di film Mahabaratha itu berderap menuju ke perkemahan kita. Kamu jangan membayangkan pemainnya yang ganteng-ganteng Sush!”

“Kok tahu?” sahutku nyengir.

“Tuh, lap ilernya.” tunjuk Dede.

“Pasukan itu orang-orangnya tinggi besar, hitam, gigi taringnya mencuat dan pakaiannya kayak wayang orang_kethoprak gitu. Sangar! Ngeri deh!”

“Terus, terus....” Pheenux semakin penasaran. “Mereka mau menyerang siapa?”

“Mana aku tahu, aku bukan dalang mereka.” sedang tegang-tegangnya Kentang malah sok ngelawak.

“Kentang!!” teriak koor aku, Pheenux dan Citonk.

“Iya, aku tidak tahu. Kita kan sudah masuk tenda. Yang jelas, derap langkah kaki mereka terdengar jelas melewati tenda. Tak lama kemudian, gemuruh peperangan telah terjadi di area perkemahan. Denting pedang, teriak kesakitan. Hiiya....” Kentang berjoget merinding. “Ya, tepat saat kalian pada menyanyi-nyanyi riang. Untung mereka tidak terganggu oleh nyanyian sumbang kalian.”

“Perasaan kamu juga ikutan nyanyi deh.” kata Citonk.

“Hehe... iya, buat menyamarkan suara heboh pertempuran.”

Aku jadi teringat sesuatu, memang kala itu Kentang ikut berdendang tapi tangannya menutupi kedua telinga. Sementara Dede tidur meringkuk ditengah-tengah antara Noly dan Ujang.

“Aku rasa kalian sedang bermimpi.” kata Noly yang berpikirnya selalu praktis dan realistis.

“Eh, dibilangin nggak percaya. Suer! Dijewer deh kalau perlu.” Kentang memasang muka serius. Tangannya sudah menyodorkan kuping siap tarik jika Noly berkenan.

“Dan kamu juga mau bilang kalau api ditenda kita karena efek peperangan itu?”

“Bisa jadi.” tanggap Dede manggut-manggut bersedekap.

“Kalau itu sih, karena kecerobohan kita.” Kentang tak lagi melucu.

“Hei, hei....” Ujang minta perhatian. Posisi duduknya yang semula bersila menjadi menyiku dilutut. “Waktu Maghrib aku lihat ada kakek-kakek berbaju putih pakai surban, jangan-jangan... ah....” Ujang mengusap wajahnya.

“Kamu lihat di mana?” tanyaku spontan.

“Saat kalian ambil air wudhu di sumber air.”

“Aku nggak lihat siapa-siapa.” sahutku. “Terus dia lagi apa?”

“Ambil air wudhu juga di sebelahmu.”

“Waaa... serius Jang!” aku meloncat menghambur ke tengah.

“Iya, beneran.” wajah Ujang sama sekali tidak sedang menampakkan candaan. “Makanya aku heran kamu kok cuek saja pas ada orang di dekatmu. Biasanya kamu kan suka menyapa orang.”

“Terus?”

“Waktu kita balik, dia kan masih di sana. Nah, pas aku tengok dia sudah nggak ada. Sempat penasaran sih, dia pergi ke mana. Makanya aku ajak Ali balik ke sumber air buat memastikan.”

“Oh, pas kamu terus bertanya ke orang-orang yang baru datang ke sumber?”

“Iya, itu kamu ingat.”

“Kamu nggak cerita apa-apa waktu itu.”

“Hehe... yang penting sekarang aku sudah cerita.”

“Jadi horor nih, pergi sama kalian.” kataku yang masih jongkok di tengah kerumunan bersempit-sempitan.

“Muka mereka kan, mirip hantu. Disangka teman kali.” celetuk Pheenux dengan santai.

“Teganya,” komentar Kentang mulai berdangdut koplo.

Tiba-tiba kereta berhenti. Wajah kami semua sontak pias. Mata saling bertatapan, harap-harap cemas. Ujang yang duduk di pintu antar gerbong depan matanya terus melihat ke lorong. Demikian juga dengan Ali yang berada di pintu gerbong belakang berkali-kali tengok ke ujung gerbong.

Kereta jalan lagi. Tanpa aba-aba kami menghembuskan nafas lega secara bersamaan. Aman! Polsus ganteng ternyata tak menghampiri untuk mendepak kami. Pesona The Threembak Kentir’s benar-benar ruar biasa.

Fiuh!
Kami bersembilan kembali berkisah bak pengelana bergitar.  Jreng jreng....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS