Lanjutan...
Elang, Terdampar!
Seketika keriangan padam manakala
petugas pemeriksa karcis meminta tiket
kami. Waduh,
ada polsusnya juga, Bleh!
“Yaah, Pak cuma itu yang kami punya.” kata Pheenux memelas.
“Iya Pak, kami benar-benar kehabisan uang.” timpal Citonk.
“Kalau nggak punya uang jangan naik kereta dong!” omel
petugas karcis.
Sementara Mas Polsus cuma senyum-senyum. Dia masih muda sih, mungkin
tertarik sama kami empat gadis manis,
yang polos dan menggemaskan. Nggak mungkin! Pasti itu
yang terlontar dari mulut para pejantan yang sedari tadi diam tak berargumen
dengan Bapak Penarik Karcis yang sok sangar. Teh Mei saja kali yang dia lirik.
“Pak, please!
Kasihanilah kami anak-anak telantar ini, negara nggak mau mengurus. Kami juga
sedang dilanda bencana kelaparan. Malang ya, Pak?” ocehku yang masih hafal UUD 45 Bab XIV pasal 34
tentang Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Terpaksa
hafal demi ujian Pendidikan Pancasila.
“Sus, ini bukan kereta ke Malang!” bisik Dede kumat penyakit tidak nyambungnya.
Acara lobi-lobi terus berlangsung seru, herannya para cowok sama
sekali tidak bereaksi, mereka memilih
aksi tutup mulut. Hanya aku, Pheenux dan Citonk yang berjuang agar tetap bisa numpang kereta sampai tujuan.
Akhirnya petugas dan mas polisi hanya
mengancam dengan menyuruh kami turun di stasiun berikutnya. Kami koor menyanyikan lagu maju tak gentar
mengiyakan dengan mantap, tapi tidak janji loh!
Pukul tiga
pagi kami sampai
stasiun Kroya dengan selamat, maksudnya tidak ada petugas karcis dan polisi
yang menghampiri lagi untuk mengusir. Saatnya berpisah. Aku, Pheenux, Citonk dan Ali turun di stasiun Kroya. Sementara yang lain lanjut hingga Yogya. Kami rombongan Purwokerto
sempat menanyakan perihal keuangan anak-anak Yogya, bahkan memberi sumbangan
ala kadarnya, maklum ada kelebihan uang sedikit kalau cuma buat naik bus dan angkot tanpa sarapan.
Pagi buta kami
terpaksa tidur di stasiun Kroya. Menggelar ponco dan tidur di peron stasiun
berderet-deret. Nggembel lagi. Habis bus yang ke
Purwokerto baru ada sekitar pukul lima.
Dan ternyata kami tidak sendiri, ada banyak teman terkapar di lantai sana-sini.
“Bangun! Bangun!” terdengar suara orang membangunkan dengan
lantang. “Hei, sudah pagi! Ayo, bangun!”
Kami berempat jelas kaget dan langsung mengangkat ponco alas tidur tanpa melipat. Bahkan buat ngucek-ngucek
mata pun tidak sempat. Setengah nyawa kami langsung membopong carier keluar dari peron. Takut dibangunin dengan cara tendang. Nggak asyik banget, choi!
Ini bukan sedang diksar, tapi ada lho yang kena gajul petugas.
“Kita mau kemana nih?” tanyaku yang masih super ngatuk. Belum on.
“Balik ke Purwokerto, woooiii, bangun!” Pheenux mengguncang-guncang
tubuhku yang
jongkok memeluk carrier.
Matahari pagi menyambut keempat petualang gembel dengan sinar ceria.
Perjalanan selanjutnya jelas pulang ke Purwokerto, tentu, dengan membawa segenggam pengalaman
yang sempurna, ada pertengkaran, cerita, derita dan gelak canda. Dan sekali lagi
semua berakhir dengan senyuman__tawa melegakan.
Yeaah, gitu deh! Pendakian edisi terdampar. Pendakian
dengan manajemen pendakian amburadul, hasilnya…. terdampar-dampar.
Berawal dengan
terdampar di stasiun Kroya, berikutnya terlunta-lunta di jalanan ketika mencari sekre Astacala. Ketiga, nggembel di pinggiran jalan Sukabumi, sudah sampai di
pos pendakian malah mendamparkan diri ke Kawah Ratu. Belum selesai, baliknya kami kembali terlantar di pinggiran
trotoar depan terminal Sukabumi. Keenam, gelar lesehan di Stasiun Kiara Condong. Terakhir mencoba jadi tunawisma
tidur di stasiun Kroya. Hebat kan?!!
Tapi… elang must
go on!
♪♫Aku
ingin terbang tinggi seperti elang…♫ ini tanganku untuk kau cium, ini
tubuhku untuk kau peluk tapi tak bisa kau miliki♫♪.
Buat Om Dewa, pinjem lagunya ya!
(Perjalanan The Threembak Kentir's berikutnya ke Gunung Merbabu. Tunggu ya....)