RSS
Container Icon

The Three Mbakentir's Ke Gunung Salak (katanya 9)

Lanjutan...
 
Elang, Terdampar!
 



 

Setelah berkali-kali mendapat penolakan akhirnya seorang sopir truk budiman bersedia memberi tumpangan. Ujang dan Kentang yang berjalan paling belakang mencomoti kami satu-persatu yang terbagi menjadi beberapa kelompok.
Sayang, berkah tumpangan tidak dapat kami nikmati lama, baru saja kami mau meluruskan kaki, ternyata sudah sampai pasar Cicurug. Mau bagaimana lagi? Tidak mungkin dong, membajak truk sampai terminal Sukabumi, atau ke Bandung sekalian? Lebih sip lagi kalau servisnya langsung sampai ke Purwokerto-Yogya. Memang truk nenek moyang Loe? Mustahil, sebab begitu tiba di pasar Cicurug kami langsung dilempar keluar truk.
Setelah mengucap terimakasih ribuan kali dan sampai pak sopir capek meladeni dengan segera tancap gas, kami mencari bus ke Sukabumi. Untuk mengusir gundah ketiadaan uang, kami bernyanyi-nyanyi riang di jok belakang. Untung tidak ada yang menimpuk pakai sandal, karena suara amburadul yang tercipta benar-benar memekakan telinga.
Mendekati terminal Sukabumi kami diturunkan di jalan. Jangan merasa kasihan dulu, bukan hanya kami kok yang diusir keluar. Kata pak kondektur bus sih, mereka tidak ingin masuk terminal. Tidak tahu alasannya apa. Yang jelas sesuai rencana kami terus mencari kubah ATM. Demi penghematan, aku, Mei ditemani Ali mendapat mandat sebuah misi suci menjadi The Seeker, pemburu ATM. Sisanya mencari info perjalanan selanjutnya.
Tidak jauh dari dugaan, saat aku kembali dari ATM dibelahan kota lain karena harus pakai angkot untuk menjangkaunya. Ujang dan yang lain tampak duduk-duduk di trotoar sambil menyanyikan lagu kebangsaan kami kali ini.
♪♫Aku ingin terbang tinggi seperti elang… ini tanganku untuk kau cium, ini tubuhku untuk kau peluk tapi tak bisa kau miliki….♫♪
Pukul enam sore kami sudah berganti tempat mangkal di stasiun Kiara Condong. Pokoknya judul perjalanan kali ini ‘menanti’.  Menurut informasi pukul setengah sepuluh kereta baru akan berangkat. Dan lagi-lagi kami terdampar sambil nyanyi-nyanyi di peron stasiun dekat WC. Lagunya Elang lagi.
Pokoknya antara mulut dan perut sama sekali tidak kompak. Mulut menyanyikan lagu pop, tapi perut memutar musik keroncongan. Yang terdengar adalah lolongan antara bosan dan kelaparan. Mau beli makan, duit tidak ada. Jangankan makan, minum saja terpaksa ambil air di bak WC, nekat ya? Dalam kondisi perut lapar apa sih yang tidak masuk akal.
Aku mulai mengorek-korek semua kantong baju. Tak lupa meminta Citonk dan Pheenux melakukan operasi kantong juga. Tanpa diminta Mei ikut-ikutan merogoh-rogoh sakunya.
“Ini aku ada,” kata Teh Mei. “Mau buat apa Sus?”
“Beli gorengan dan lontong. Lumayan kan, buat ganjal perut.”
Dede yang duduk tak jauh dari gerombolan cewek mengacungkan ibu jari. Gerak selanjutnya kami para cewek beranjak keluar stasiun mencari gerobak gorengan.
Nah, saat beli gorengan inilah kami tak lupa meminta air minum yang layak konsumsi. Cuma dapat satu botol sih, tapi terlalu lumayan bagi kami daripada air WC. Tentu dengan syarat minumnya hanya boleh satu tutup botol per-anak. Kalau masih haus, ada tuh air WC. Kejaaam! Jerit para pejantan.
Penderitaan kami belum berakhir. Dalam kereta pun kami harus rela duduk disambungan antar gerbong depan pintu WC lagi. Maklumlah, kereta waktu itu padat amat. Amat saja tenang kenapa kita tidak tenang, selama ada gitar, mari kita bernyanyi riang. Semboyan Dede. Anggap saja amal menghibur orang-orang yang duduk manis digerbong. Asyik! Pokoke jempole joged!  (sayang, sekali lagi kami harus menemui kemalangan. Pak Kondektur memergoki kami sebagai penumpang gelap, ada pak polisinya pula. Piye iki? Mau lari ke pantai atau ke hutan?)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS