RSS
Container Icon

Naik Motor = Safety First

Cerita Dari Halaman Belakang Rumah

sumber gambar : poskotanews.com

Usianya boleh muda tapi pengalaman dioperasi hingga tiga kali layak mendapat apresiasi. Dua tulang kakinya patah. Setidaknya sudah satu tahun ini dia menjadi seperti iron man yang sebagian tubuhnya terbuat dari besi, dua kakinya terpasang pen untuk menyangga kaki hingga sembuh total.
Seharusnya dia hanya akan melakukan operasi kaki dua kali, yaitu saat pemasangan pen dan pembersihan tulang-tulang yang retak dan operasi pelepasan pen. Nyatanya ditengah jalan kaki kirinya mengalami masalah penyambungan yang tidak sempurna. Entah karena apa aku tidak tahu pasti. Yang jelas saat ini dia cukup gembira bahwa besi yang tertanam dalam dua kakinya akan diambil. Secercah harapan mekar, setelah ini dia akan kembali berjalan dengan normal.
Aku masih ingat saat pertama dia datang dan menangis meraung-raung pasca operasi pembetulan tulang yang bermasalah dengan penyambungan. Ibunya pun kemudian bercerita asal mula kenapa anaknya mengalami patah tulang semacam itu.
Menurut si ibu sejak SD kelas enam anaknya memang sudah diajari naik sepeda motor. Masuk SMP, si ibu semakin membebaskan anaknya berkeliaran memakai motor. Bahkan kadang malah menyuruhnya untuk membeli sesuatu pakai sepeda motor.
Bayangkan saja anak SMP berkendara motor di jalan tanpa SIM dan tidak memakai helm. Dan tahukah dia tentang tata tertib lalu lintas dan norma berkendara? Menurut pengamatanku anak-anak di bawah umur suka asal dalam berkendara di jalan. Suka asal nyelonong, suka kebut-kebutan, dan suka menyalip sembarangan tanpa perhitungan.
“Saya tidak menyangka Mbak, kalau sore itu akan menjadi sore bencana bagi anak saya. Biasanya dia memang suka keluar membawa motor dan pulang dengan selamat. Tapi sore itu hingga maghrib dia belum pulang. Saya jelas cemas, tak berapa lama saya mendapat telpon dari seseorang yang mengabarkan kalau anak saya mengalami kecelakaan. Langsung lemas tubuh saya.” kisah si ibu dengan titik air merembes di sudut mata.
“Bertabrakan dengan apa, Bu?” tanyaku penasaran.
“Sama motor. Menurut anak saya, waktu itu jalanan terlihat sepi hingga anak saya langsung menyeberang saja. Eh, tidak tahunya ada motor dengan kecepatan tinggi tiba-tiba melibasnya. Anak saya sampai jatuh terseret beberapa meter. Dan yang menabrak menurut kesaksian orang sekitar oleng ke kanan dimakan oleh truk yang melintas. Dia langsung meninggal seketika. Aduh, waktu itu saya tidak bisa berpikir lagi.”
“Rugi dua kali ya, Bu?”
“Begitulah Mbak, saya sangat menyesal membiarkan Anang berkeliaran dengan motor tanpa pengawasan. Ini jadi pelajaran buat saya. Mungkin pelajaran buat Mbak, jangan sampai anak-anak yang masih belum cukup umur main-main dengan sepeda motor. Akibatnya fatal. Cukup anak saya saja.”
Aku mengangguk-angguk dan dalam hati berjanji tidak akan membiarkan anakku keluar membawa motor sembarangan. Semua ada waktunya bukan.
Aku melihat Anang yang asyik bermain game ditabletnya. Ah, bagaimana perasaan si anak itu ya? Apakah tangisannya waktu itu juga tangisan trauma karena telah menghilangkan nyawa orang lain. Entahlah, aku jelas tidak mungkin menanyakannya.
Baiklah, aku sudah berbicara panjang lebar pasti terbetik penasaran kenapa sampai rumahku kedatangan si ibu dan anak yang malang itu. Sejak dua tahun lalu, rumahku tepatnya rumah bapakku dijadikan rumah singgah bagi para pasien patah tulang yang menunggu kontrol berikutnya. Biasanya jarak antara operasi dan kontrol kisaran tiga hari hingga tiga mingguan. Bagi yang rumahnya jauh tentu saja memilih mencari tempat kos sementara dari pada bolak-balik yang bisa jadi berpengaruh pada hasil operasi.
Rumah orangtuaku kebetulan dekat dengan rumah sakit orthopedi. Melihat peluang itu bapak langsung membuat deretan kamar di halaman belakang rumah yang ada kolamnya. Setidaknya ada lima kamar yang berdiri di atas kolam.
Berdasarkan pengamatanku selama ini mayoritas pasien rumah sakit orthopedi adalah pasien akibat kecelakaan lalu lintas. Memiriskan bukan, atau justru menguntungkan bagi rumah sakit. Plus menguntungkan bagi penduduk yang tinggal di sekitar karena mendapat income tambahan dari menyewakan kamar. Entahlah....
Beda cerita lagi dengan tetangga sebelah kamar si ibu tadi. Bapak ini mengaku bahwa lampu motornya sedang mati ketika dia mengalami kecelakaan. Kalau lampu mati buat jalan siang hari tentu masalahnya tidak akan sebesar jika berjalan tanpa lampu di malam hari. Meski aturan sekarang sepeda motor pun wajib menyalakan lampu siang hari. Jelas sekali bapak ini telah melanggar peraturan berlalu lintas.
Bapak Wito beralasan jika kepergiannya tak jauh dari rumah hanya untuk membeli bakso. Jauh atau dekat jika kendaraan dalam kondisi tidak fit, tidak sempurna tetap berbahaya, bukan?
Siapa sangka dari arah depan tiba-tiba sebuah bus telah menyorotkan lampunya dengan raungan klakson membahana. Pak Wito kaget, refleks membelokkan motornya ke arah kiri tanpa sempat mengerem hingga dia langsung terjun bebas ke dalam sungai.
Sementara bus yang juga terkejut karena tidak menyangka ada sepeda motor berjalan di depannya banting setir ke kiri sehingga membentur mobil sedan yang disalipnya. Mobil sedan itu segera meluncur masuk sawah dan bus yang serba salah tersebut menabrak pohon di pinggir jalan.
Kisah selanjutnya Pak Wito tidak tahu pasti. Yang jelas tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan. Tulang punggungnya patah. Setelah melalui beberapa operasi dan perawatan kemungkinan Pak Wito bisa duduk bahkan berjalan lagi.
“Mungkin saya sedang apes waktu itu.” ucap Pak Wito seakan tidak menyadari kesalahannya. “Biasanya aman-aman saja. Haha....” masih juga bisa tertawa.
“Tidak jadi makan bakso dong, Pak?” selorohku.
“Betul itu, wah jan! Busnya memang kurang ajar. Mendahului kendaraan lain kok ya tidak lihat-lihat depan. Rasain sopirnya sekarang dibui. Biar itu jadi pelajaran buat sopir lain agar tidak ugal-ugalan menyetir. Apa tidak sadar kalau membawa nyawa orang banyak?”
“Kalau lampu motor Pak Wito menyala, saya rasa sopir akan tahu kalau ada kendaraan di depan.”
“Dasar sopirnya saja Mbak, saya sering melihat lho bus-bus macam itu selalu mencari menang sendiri. Tidak toleransi pada kendaraan kecil lain, mengebut, menyalip kadang tidak peduli kalau ada motor di depannya.”
“Memang sih,” tanggapku. “Tapi....”
“Lha iya tho? Ini jelas salah sopir bus itu. Lampu motor saya hanya memberi kontribusi kecil.”
Aku senyum-senyum geli. Waduh, gawat juga kalau semua pengendara kendaraan tidak menyadari betapa sekecil apapun kontribusi kesalahan di jalanan bisa berakibat fatal. Entah berapa banyak lagi kecelakaan bakal terjadi. Mungkin setiap menit, setiap kilometer akan ada insiden tabrakan antar kendaraan. Dan akan ada berapa banyak lagi korban yang berjatuhan di jalanan.
Sebenarnya masih banyak cerita tentang peristiwa kecelakaan dari belakang rumahku. Aku hanya mengambil satu dua versi untuk bahan renungan bahwa kecelakaan di jalan raya setiap harinya telah banyak menelan korban dan merenggut nyawa-nyawa yang kadang tidak bersalah. Perlu diketahui bahwa kematian akibat laka lantas sudah termasuk lima besar pembunuh manusia di dunia. Bersanding dengan HIV, TBC, penyakit jantung, dan malaria.
Tahun 2014 lalu WHO meranking dan meliris data tentang jumlah kematian akibat laka lantas, sungguh membanggakan Indonesia menempati urutan kelima. Ups! Maksudnya sungguh memprihatinkan. Hebatnya lagi Indonesia justru menempati urutan pertama dalam peningkatan kecelakaan lalu lintas, yaitu mencapai angka lebih dari 80%, melampaui India si jawara dengan tingkat kematian tinggi di jalanan. Dan pembunuh global yang paling mengancam adalah dari kendaraan sepeda motor.
Kenapa bisa demikian? Bukan rahasia umum lagi jika para pengendara motor sering tidak mematuhi peraturan lalu lintas dan mengabaikan standar berkendara yang benar. Seperti penggunaan helm yang disepelekan, membawa barang-barang melebihi muatan, naik motor bertiga, membawa anak kecil diboncengan belakang. Kebanyakan dari mereka berdalih, ah, cuma ke depan sebentar. Atau beralasan hanya mau pergi ke lingkungan sekitar. Padahal lingkungan sekitar mereka sudah jalan raya yang mungkin padat arusnya.
Aku jadi teringat dulu saat aku masih belajar motor. Tiba-tiba motorku melaju kencang tak terkendali karena aku salah memutar gas ke atas. Akibatnya sebuah tembok yang tidak bersalah aku tabrak tanpa ampun. Untungnya motor tidak mengalami kerusakan yang hebat. Aku pun dalam kondisi baik-baik saja, hanya mengalami luka lecet dan memar di muka. Pokoknya bersyukur sekali. Coba bayangkan jika waktu itu kepalaku langsung membentur tembok yang tanpa pengaman helm. Entah apa yang akan terjadi padaku.
Satu hal yang baru saja aku sadari bahwa belajar naik motor pun harus memperhatikan safety prosedure. Tapi kebanyakan dari kita mengabaikan hal itu, berlatih begitu saja tanpa memakai helm baik yang mengajari atau yang diajari dengan dalih berlatih di lapangan yang luas. Bukankah berbahaya sekali jika tiba-tiba kecelakaan tak terduga yang seperti aku alami terjadi dengan kondisi yang lebih parah lagi.
Setidaknya aku sekarang merasa aman. Aku bukan bagian dari pengendara sepeda motor. Dampak latihan dengan insiden menabrak tembok itu membuatku jera untuk berlatih mengendarai motor lagi. Ada sebentuk trauma yang menghantui kala harus memutar setang gas. Meski aku tahu tidak menjadi pengendara pun terkadang bisa mendapat imbas dari pengendara lain yang lalai dan ugal-ugalan.
Seperti yang terjadi pada salah satu penghuni kamar belakang rumahku. Siapa sangka dia bakal jadi korban tabrak lari dan terlantar semalaman.
Rumah Mas Danar dekat hutan karet. Tetangga kiri kanan berjarak cukup jauh. Waktu itu dia hendak menemui temannya di seberang bukit. Saat menyeberang tiba-tiba sebuah kendaraan dengan kecepatan tinggi melontarkannya hingga ke tepi jalan. Bukannya menolong pengendara itu malah langsung tancap gas membiarkan Mas Danar tergeletak begitu saja.
Antara sadar dan tidak, katanya Mas Danar merangkak menuju rumah yang paling dekat dengan lokasi kejadian. Hanya rumah itu satu-satunya harapan Mas Danar agar tetap hidup. Tapi bukannya pertolongan yang dia dapat, si empunya rumah malah mengusirnya dengan air muka setengah ketakutan.
Mas Danar yang tidak bisa berkata-kata karena mulutnya hancur berlumuran darah kembali merangkak ke pinggiran jalan berharap ada pertolongan dari sana. Nihil, malam itu begitu sepi lantaran hujan mengguyur dengan deras. Untunglah, paginya ada seorang bapak tua bersepeda yang lewat melihat Mas Danar melambai-lambaikan tangan dengan lemah. Tanpa berpikir panjang bapak tua itu segera menolong dan membawanya ke puskesmas terdekat.
Ah, aku masih tidak bisa mengerti dengan pemilik rumah itu. Apa dia manusia? Tega membiarkan seorang yang terluka parah terlunta-lunta di luar. Memang menurut si bapak penolong kondisi Mas Danar kala itu sangat mengerikan, darah berlumuran dari hidung ke bawah. Celananya koyak-koyak dan tampak tulang putih menonjol dari sekitaran luka.
Apa pun alasannya, setakut apa pun kita demi sebuah nyawa tak bisakah mengenyampingkan rasa takut itu. Apa yang perlu ditakutkan dari orang yang tidak berdaya? Jika merasa tidak bisa bukankah bisa meminta, memanggil bantuan orang lain untuk mengurusnya. Gampang, bukan? Tidak harus tangan sendiri yang terulur jika takut atau tidak sanggup.
Ini sungguh luar biasa, aku tak menyangka di negara kita ini masih ada orang tidak berhati macam itu. Apa benar nuraninya sama sekali tidak tergerak untuk memberi pertolongan? Aku pikir hanya negara-negara seberang yang melakukan perilaku tidak berperikemanusiaan seperti yang pernah tersiar di you tube. Di depan mataku, nyata kini ada korban tabrak lari yang tersia-sia.
Baiklah, aku rasa sudah cukup menuturkan semua kejadian yang menimpa dari halaman belakang rumahku. Orang-orang malang itu entah karena kesalahan sendiri atau kesalahan orang lain hendaknya tetap berhati-hati jika telah bergaul di area jalanan yang semakin liar.
Sekali lagi tidak bermaksud menggurui, tapi demi meminimalisir cedera dan resiko kematian saat mendapat musibah di jalan, sebaiknya jika berkendara dengan sepeda motor harus memakai prosedur yang aman. Mematuhi tata tertib lalu lintas, tak lupa bertoleransi dengan pengendara lain. Jika semua orang memahami hal itu niscaya kedamaian, keamanan di jalan raya akan tercipta. Jalan raya pun tidak lagi menjadi si ibu tiri yang kejam.


 Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman dan Selamat Bersepeda Motor di jalan.' #Safety First diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Resensi Buku Sayap-Sayap Sakinah

Menikah, Yuk!
Xie Nur


Judul Buku : Sayap-Sayap Sakinah
Pengarang : Afifah Afra, Riawani Elyta
Penerbit : Indiva
Tahun Terbit : 2014, Cetakan Pertama
Dimensi Buku : 248 hlm, 13 x 19 cm
Harga Buku : Rp 44.000




       Pernikahan bukan sekedar ritus yang membuat kita berubah status dari lajang (single) menjadi kawin (double). Proses pernikahan tak sekedar terhenti saat tamu-tamu undangan satu per satu pergi menyisakan sampah berserak.
Pernikahan sesungguhnya merupakan proses belajar yang berisikan tantangan hidup guna meraih surga. Itulah mengapa nikah dapat menyempurnakan separuh dien agama kita.
Sering kita mendengar ucapan selamat agar pernikahan mewujud keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Ini bukan sekedar ucapan klasik tanpa makna yang tinggi. Sakinah sendiri yang berarti tentram harus sepaket dengan sayap lain, yakni mawaddah dan rahmah. Ketiga kata lengkap tersebut jika digabung mengandung keindahan yang bermakna rasa tentram, bahagia dan nuasa penuh kasih sayang yang hanya terjadi dalam pernikahan.
Pada kenyataannya, tidak semua dari kita mudah menuju jalan pernikahan. Misteri jodoh membuat kita harus berupaya mencari jodoh dengan segala cara. Dari cara yang tidak sesuai syariat melalui fase pacaran, atau yang sesuai agama dengan cara ta’aruf. Namun tak jarang banyak yang kesusahan mencari jodoh hingga akhirnya pasif menanti saja sang pangeran datang menjemput.
Pernikahan yang seumpama perahu di lautan lepas tak akan senantiasa bertemu alun yang tenang. Ombak besar bahkan kadang badai siap menghajar perahu pernikahan. Tinggal siapkah kita menghadapinya.
Buku Sayap-Sayap Sakinah siap memandu bagi para lajang yang sedang galau mencari jodoh, para calon pengantin yang resah gelisah menghadapi acara walimah dan malam pertama, para pasangan yang tengah bersiap mengarungi bahtera rumah tangga, atau pasangan yang tengah kalut menghadapi perubahan dari bulan-bulan penuh madu beralih ke bulan-bulan penuh aneka rasa.  
Banyak pelajaran dan hikmah yang dapat diambil dari buku Sayap-Sayap Sakinah. Kita jadi tahu segala macam tetek bengek perihal pencarian jodoh yang halal. Mengenal watak-watak manusia dan definisi tentang cinta. Memahami tujuan pernikahan secara benar sehingga terbentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan wa rahmah. Kita juga diajak menyelami liku-liku pernikahan agar bisa mengantisipasi segala persoalan yang mungkin terjadi setelah pernikahan lewat masa bulan madu.
Sayangnya saat saya membaca bab per bab yang ditulis oleh Afifah kemudian berganti ke Riawani, saya merasa diajak turun jurang kemudian naik kembali ke bukit. Afifah dengan tipe tulisan lincah dan ringan membawa saya turun dengan riang gembira. Riawani yang lebih serius dan dewasa memaksa pikiran menaiki kata-kata untuk menelaah lebih dalam. Saya merasa seperti dijungkirbalikkan oleh gaya bahasa yang berbeda.
Pembagian bab yang acak menyebabkan beberapa bab melompat-lompat. Misal bab ‘Alasan Untuk Mencinta’ tercantum tulisan yang membahas mengenai cara untuk mengupayakan cinta agar langgeng dengan pasangan. Bagian ini bukankah seharusnya masuk pada pasca pernikahan. Tetapi justru muncul pada bab sebelum ‘Perjanjian Pra Nikah’ dan ‘Walimah’.
Selain itu pembagian bab yang berselang-seling antara Afifah dan Riawani menerbitkan materi yang tumpang tindih. Di bab awal Afifah telah menyinggung tentang walimah, pada pertengahan bab Riawani juga membahas walimah. Riawani telah menjelaskan tentang kriteria jodoh ideal menurut hadist Rasulullah pada bab ‘Merencanakan Jodoh Terbaik’, Afifah menyebutkan kembali pada bab ‘Alasan Untuk Mencinta’.
Menurut saya agar pembaca merasa nyaman saat meresapi tiap kata bermakna tanpa mengerutkan kening atau bosan saat ada pengulangan materi, sebaiknya pembagian bab dibagi menjadi dua. Afifah menulis bab-bab awal yang khusus membahas tentang pra pernikahan. Dan Riawani mengulas bab pasca pernikahan. Keduanya begitu bagus saat mengurai bagiannya itu.
Terlepas dari kekurangan tersebut, buku Sayap-Sayap Sakinah memang berisikan formula ajaib yang akan membantu para lajang segera menemukan pasangannya. Jadi sudah sepantasnya jika buku ini wajib dipunyai oleh semua para pencari jodoh. Bagi yang sudah menikah pun akan sangat membantu dalam upaya memperbaiki pernikahan agar selaras dan tercipta sakinah, mawadah, wa rahmah.


Tunggu apalagi, menikah yuk! Agar ibadah kita sempurna dan mendapat banyak pahala.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Piknik Itu Penting

Piknik Asyik VS Ketinggalan Bus



Piknik? Hmph... Desahku.
Yah, aku paling tidak suka acara bepergian macam itu. Menurutku piknik adalah acara paling ribet sedunia, apalagi kalau harus menginap segala. Harus menyiapkan baju, sepatu, sandal dan aneka snack mulai dari yang ringan sampai yang berat. Belum lagi bekal uang yang tentu saja harus banyak. Aku menyebutnya sebagai pemborosan!
Awalnya aku enggan ikut. Tapi setelah guide tour-nya mempresentasikan tempat-tempat yang bakal dikunjungi. Mataku sontak bersinar cerah.
Jadi rencana piknik instansi tempat aku bekerja adalah daerah Yogya dan sekitarnya. Tujuan pertama adalah Goa Pindul yang membuat aku jadi penasaran dan membuat aku memutuskan untuk ikut, berikutnya ke Pantai Indrayanti dan terakhir jalan-jalan di Malioboro.
Tibalah saat keberangkatan. Jam sepuluh malam sudah lewat, tapi bus yang bakal membawa kami belum juga menampakkan moncongnya. Satu jam lagi kami masih sabar menunggu sambil terkantuk-kantuk di samping teras masjid, eh, belum nongol juga. Baru pukul 24.00 WIB, gerung kendaraan besar memasuki halaman kantor. Parah!
Akibat keterlambatan itu tujuan pertama tempat wisata jadi berubah. Kami menyatroni Pantai Indrayanti terlebih dahulu. Padahal kostum sudah siap untuk ‘berpetualang’, pakai celana training dan kaos olah raga. Persis seperti saran guide tour-nya saat sosialisasi. Judulnya, pagi-pagi mejeng di pantai pakai baju olah raga.
Pantai Indrayanti sebenarnya tidak terlalu luas. Hanya sebuah teluk kecil yang kanan-kirinya dibentengi oleh tebing karang yang curam. Debur ombak besar yang terhalang beberapa karang menjulang menjadi tontonan segar. Pasir putihnya memaksa kaki berjalan telanjang menyusuri riak-riak air di pinggiran. Pokoknya tidak kalah cantik dari Pantai Kuta di Bali.
Puas berfoto-foto ria dan mengambil gambar pantai dari segala sudut, tanpa mandi kami segera meluncur ke objek berikutnya Goa Pindul.
Menjelang tengah hari rombongan sampai ke lokasi Goa Pindul. Peserta diwajibkan membawa pakaian ganti ke tempat transit karena jarak dari parkiran bus cukup jauh. Di tempat transit kami dibagi pelampung badan dan diberi ban mobil besar.
Mendadak jadi kuli nih! Harus jalan kaki tanpa alas kaki di atas jalanan berkerikil plus memanggul ban besar. Bagi yang tidak terbiasa pasti sangat keberatan. Mana pakai naik-naik ke puncak gunung pula jalurnya. Fiuh!!
Setelah cukup ngos-ngosan dan mandi keringat, kami sampai di tepi sebuah kolam yang pada satu sisinya terdapat lubang menganga. Itu dia goanya. Briefing lagi untuk teknis masuk ke goa.
Wah, cukup berdebar juga saat melihat beberapa pemandu memberi contoh cara duduk di atas ban serta memposisikan antara satu ban dengan ban yang lain agar menjadi satu deret kelompok. Kami pun diharuskan saling bergandengan tangan agar tidak terpisah dari kelompok masing-masing.   
Akhirnya masuk juga ke zona senja. Area dengan cahaya remang-remang sebelum masuk ke zona malam. Para pemandu berenang-renang membimbing setiap kelompok yang dia pegang sambil menjelaskan tetek bengek tentang ornamen goa.
Pada titik ini jiwa petualanganku menguar. Aku jadi teringat dulu saat menjadi mapala dan mengeksplor sebuah goa. Sensasi ini begitu menyegarkan dan memupus rasa penasaranku akan Goa Pindul.
Panjang Goa Pindul 350 meter, menurutku tak banyak ornamen yang terpajang. Tentu saja karena aku menyamakan dengan goa yang pernah aku jelajahi dulu, goa-goa yang masih virgin. Setidaknya Goa Pindul mempunyai stalakmit, stalaktit, pilar dan guardam yang tercipta di dalamnya. Mungkin karena goa ini belum terlalu tua, sehingga minim ornamen. Tapi tetap menakjubkan.
Zona gelap gulita telah berubah menjadi remang kembali. Cahaya menyilaukan menyambut deretan mengular yang kami ciptakan. Tibalah kami pada sebuah dam.
Saatnya berenang-renang ke tepian. Di bawah cahaya terik membakar kami jalan lagi menuju tempat transit. Untung tidak suruh membawa ban lagi. Membawa badan saja sudah berat, karena perut menabuh genderang lapar.
Baju yang basah membuat kami tidak bisa langsung menikmati hidangan yang tersaji. Mandi di rumah penduduk yang telah terkondisikan menyediakan kamar mandi umum menjadi prioritas utama mesti lambung telah menjerit histeris. Acara makan bersama tiba. Ikan bakar dan goreng serta sambal menjadi menu ternikmat saat itu.
Perjalanan selanjutnya adalah Malioboro. Pukul 17.00 kami tiba di parkiran bus kawasan Malioboro disambut dengan gerimis yang mengundang. Aku dan seorang teman menyewa jasa tukang becak untuk mengantar kami ke area belanja.
Atas usul si abang tukang becak kami berdua dibawa langsung ke pabrik pembuatan kaos khas Yogya. Katanya sih, kalau beli di sini bisa dapat harga lebih murah. Kami senyum-senyum setuju. Berikutnya kami dibawa ke sebuah toko batik. Sayang, harganya tidak cocok dengan kantong.
Tinggal tujuan terakhir ke sebuah mall di Malioboro. Temanku ingin membeli oleh-oleh donat paling terkenal di situ. Okelah, si abang tukang becak kali ini yang menurut permintaan kami.
Dasar ibu-ibu, begitu melihat tulisan sale tergantung dimana-mana langsung terhipnotis dan memburunya. Lumayan, dapat sandal ukuran paling besar buat suami tercinta. Maklum sangat susah mencari sandal yang pas buat suami yang super jangkung.
Belum berhenti sampai disitu, meski jam telah menunjukkan pukul 18.45 WIB, aku masih ingin mencari oleh-oleh bakpia yang fresh from the oven. Maksa banget pokoknya.
Rasanya sangat lega setelah semua yang ada di daftar belanjaan tercentang. Kami menyewa tukang becak lagi untuk mengantar kami ke tempat parkiran.
Waduh, pakai acara kebelet pipis segala. Mau tidak mau kami harus mengantri dalam deret panjang. Dengan dua tangan penuh barang belajaan kami berdua segera mencari bus tercinta.
Deg. Ini bencana! Bus tidak ada.
Kami berdua berpencar berputar mencari bus yang bertuliskan Nusantara. Nihil. Penasaran kami pun bertanya pada orang yang ada di sekitar situ. Benar saja, bus rombongan wisata dari Banyumas telah kabur tanpa membawa kami berdua.
Sempat panik. Setelah mendapat kabar bahwa bus sedang berhenti di Ambar Ketawang, atas usul si abang tukang becak kami naik taksi menyusul ke sana.
Hebat, kami jelas jadi bahan olok-olokan dan kecaman. Lagipula kenapa mereka tidak mengecek anggota bus yang ada. Pihak biro pun sama sekali tidak mengingatkan agar melihat kiri-kanan adakah teman yang tercecer. Ya, sudahlah. Ini salah kami juga tidak memperhatikan waktu yang telah disepakati.
Over all piknik kali ini mengasyikkan, meski ada insiden ketinggalan bus. Aku sangat menikmati acara piknik ke Yogya membuang image ribet yang menghantui. Otak serasa ter-refresh dan siap untuk bekerja dalam rutinitas yang kadang membosankan.  
 Kalau ada kesempatan jadi ingin piknik berdua saja sama suami, honeymoon. Liburan di Bogor dan menginap di Padjadjaran Suite Hotel. Pasti lebih asyik dan romantis.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS