Elang, Terdampar!
sumber gambar : Mobil Kapanlagi.com
*H2 Operasional
Paginya kami di antar pakai mobil jeep inventaris buat UKM oleh salah seorang anggota Astacala. Namanya Teguh (nama samaran. aslinya lupa, he) anaknya kecil dan
manis. Pheenux lho yang
bilang cowok
itu imut dan
manis. Tapi, itu toh sambil lalu saja, tidak ada yang
semenarik Gunung Salak yang membuat kami begitu penasaran.
Yang jelas kami sangat tersanjung dengan sambutan dan pelayanan mereka. Kalau boleh sih, ingin tinggal di sekre itu terus, coz segalanya terjamin. Wuahaha.... mereka yang pada enek.
“Mas, jangan lupakan kami ya?” pamit Pheenux. “Tiga cewek
manis! Eh, empat ding. Maaf Teh!”
“Maaf, sudah merepotkan. Kapan-kapan lagi ya,”
tambahku.
Cowok itu cuma cengar-cengir.
Fiuh! Mungkin anak-anak Astacala sekarang bisa kembali
bernafas dengan lega, GPK (Gerombolan Pengacau Kedamaian) sudah pergi. Dan ada
satu harapan besar mereka, semoga orang-orang tadi tidak datang lagi dan
membuat repot kami. Amien! (Kira-kira gitu doa bersama mereka)
Dari Bandung kami harus meloncat ke Sukabumi, sebelum terbang ke
Cigugur kami
transit lagi di trotoar jalan dekat terminal. Payah! Ujang dengan tanpa rasa
berdosa bilang kalau mereka cuma bawa bahan bakar gas dua tabung. Hah! Yang benar saja! Habis
ketika masih di Purwokerto, mereka bilang semua beres tinggal berangkat.
Nyatanya? Bikin gondok lagi tuh anak.
Kami kemudian berpencar mencari
penjual tabung gas ke sekitar terminal. Nihil. Akhirnya
setelah mendapat info tempat
pembelian tabung gas, Ujang bersedia membeli, itu pun setelah adu debat hebat dan didesak kiri-kanan, depan-belakang, kepepet
nih!
Yaah, terdampar lagi deh, menunggu Ujang yang minta kawan Noly dan Ali. Manusia tersisa terbiar, terlantar di pinggir jalan. Perut
lapar, di sebelah ada penjual mie ayam… hmm, tambah menderita tuh
cacing dalam perut kami.
Dalam bus yang membawa kami ke pos
pendakian Gunung Salak, kami menyanyi-nyanyi riang kembali. Biarkan saja
cacing-cacing pada demo. Berharap mereka tidak bertindak anarkhis nekat keluar
lewat mulut dan memaki kami. Hiiy....
Sekitar pukul satu siang kami tiba di pos pendakian Cigugur. Ada berita buruk kawan, setelah membeli karcis masuk kami saling pandang dan
mendesah, antara lelah, kecewa, marah, sebal dan bla…bla… perasaan jadi
be-te berat. Bagaimana tidak! Petugas penjaga bilang kami tidak mungkin bisa
sampai ke puncak Salak, katanya ada jalur yang longsor dan tidak bisa dilalui.
Dalam kabut kebingungan muncul malaikat penolong.
Rombongan Mapala UI yang sedang berkegiatan di situ memberikan informasi jalur alternatif,
lewat Cidahu.
“Gimana?” tanya Ujang. “Mau lanjut, apa kita putar haluan ke Cidahu.”
“Tapi sebenarnya sayang kan , kita sudah bayar mahal untuk masuk
lewat jalur ini,” kata Citonk. “Kecuali kalau karcis ini bisa kita tukar lagi dengan uang.”
“Hayuk kita
tuker saja!” ajakku bersemangat.
“Tadi si Bapak bilang jalurnya ada yang longsor?” Kentang coba memastikan.
“Horor dong!”
“Itu sebenarnya
sih bukan masalah,” sahut Noly.
“Bukan masalah
gimana?” tanggap Ujang. “Kalian bawa tali nggak?” tanya Ujang ke aku,
Citonk dan Pheenux.
“Yee, mana kami bawa. Tapi webbing, ada sih.” kata Pheenux.
“Itu bisa dipakai, kan?” timpal Noly.
“Hei, hei… jangan egois, Bleh! Gimana dengan Mei, dia
bisa lewat tidak di jalur longsor yang licin dengan kanan-kiri jurang?” kata-kata
Kentang
membuat semua mata mengarah ke Mei. Mei jadi salah tingkah dan tidak enak hati,
sepertinya dia hanya merepotkan saja.
“Kok kamu tidak
mengkhawatirkan kami?” protesku.
“Loh, bukannya kalian sakti?” tuding
Kentang.
“Kalian kan cowok, masa kami harus
khawatir.” cetus Ujang.
Kami bertiga cengar-cengir meski dalam
hati sudah membayangkan hal-hal ngeri.
“Jadi gimana?” Dede yang dari
tadi diam nyeletuk memecah suasana yang mulai tegang.
“Pin, kayaknya jalur Cidahu itu yang benar deh,” bisikku ke Pheenux.
“Kalau lihat dari karcisnya, ini karcis masuk ke kawasan
Kawah Ratu. Anak UI tadi kayaknya benar, yang mau kita lewati bukan jalur yang
sesungguhnya.” kata Citonk. “Eits… bukannya aku gentar, ciut nyali dengan jalur yang menanti, ataupun
plin-plan. Yeaah, keterangan mereka lebih masuk akal.”
“Lalu?” tanya Ujang. “Ke Cidahu nih?”
“Eh, tunggu! Kita minta dulu duit tiket kita tadi,” usul
Pheenux.
“Yuk!”
Pheenux, Citonk dan aku berderap
menyerbu penjaga loket. Setelah berdebat alot kami terpaksa menyerah.
Bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Tiket masuk yang mahal dan sudah dibeli
tidak bisa ditukar lagi.
“Parah!”
“Gimana?”
“Terserah kalian saja,” kata Ujang seperti tak mau tahu lagi.
Kami saling
pandang.
“Hhh…
sebaiknya kita berhitung sisa uang kita dulu. Cukup tidak buat ke Cidahu dan
balik ke rumah.” kata Teh Mei. Semua menyeringai, lalu mulai sibuk mendata sisa
uang yang ada.
“Serius nih, cuma tinggal segitu?” tanyaku. “Pulangnya bisa long march nih sampai Purwokerto, siap
Pin, Tonk?”
“Siap! Dan semangat!” koor Pheenux dan Citonk sambil mengepalkan
tangannya ke udara. Yang lain cuma berdecak dan ada yang menggeleng-gelengkan
kepala.
“Kalau aku
karena sudah basah, nyebur saja sekalian,” kata Noly kemudian.
“Nyebur ke Kawah Ratu, maksud loh?” celetuk Dede. “Oke,”
“Terserah!”
“Kamu ini terserah, terserah melulu, kasih masukan dong!”
hardik Pheenux ke Ujang.
“Aku sih orangnya santai, mau lewat mana aja oke, nggak
masalah. Ya nggak De?” Kentang unjuk
suara.
“Betul!” sahut Dede sambil menggenjreng gitarnya.
“Dasar cowok nggak punya pendirian!” gerutu Pheenux.
Akhirnya setelah
melalui proses diskusi dan perdebatan panjang. Keputusannya, maju terus!
Daripada pulang long march dan puasa tanpa berbuka. Intinya kepepet lagi
Bersitegang ternyata membuat lapar. Kami pun masuk ke areal
yang mirip dengan bumper (bumi perkemahan). Yang penting makan dulu, biar otak bisa
jalan. Soalnya nih, konon katanya kalau perut kosong, otak jadi ikutan kosong.
Langkah taktis strategis selanjutnya dirundingkan setelah selesai menyantap
jatah makan siang. Pukul dua kami baru menikmati nyamannya perut kenyang. Di lanjut jalaaaan… tu wa tu wa…. (gara-gara nekat terus jalan kami malah kayak rombongan wisatawan bonek, ikuti kelanjutannya....)