RSS
Container Icon

The Three Mbakentir's ke Gunung Salak (katanya 2)

Elang, Terdampar!


Pukul sebelas lewat lima menit, kereta baru menunjukkan monyongnya. Kami bersembilan dengan penuh dendam langsung menyerbu ke salah satu gerbong. Benar-benar kayak segerombolan preman, bonek yang kalap.
Wah, ternyata kami salah sasaran, gerbong yang kami masuki tidak menyisakan satu tempat duduk pun. Ali dan Noly menawarkan diri mencari gerbong yang masih ada lowongan. Aku, Pheenux dan Citonk jelas tak bisa tinggal diam seperti Ujang. Kami ikut berburu menuju arah yang berlawanan.
Akhirnya Ali menjemput kami yang berhasil menemukan tempat duduk di gerbong buntut. Kami  duduk terpisah-pisah. Tidak masalah, yang penting bisa duduk. Korea….eh Kroya – Bandung gitu loh! Kalau terus berdiri kaki bisa kayak mesin jahit sebelum mendaki. Bergetar__gemetar kecapaian.
Pada akhirnya rencana nembak yang sudah dirancang begitu sempurna gagal. Kami termakan isu tentang adanya polsus yang ikut memeriksa karcis. Aku yang baru berpengalaman dalam hal tembak-menembak jelas ngeri mendengar itu. Setelah diskusi panjang kali lebar, pada saat kereta berhenti di stasiun Jeruk Legi kami membeli tiket. Fiuh, lega rasanya….
Isu polsus ternyata benar-benar gosip belaka. Ujang cs nampak kecewa berat. Malah sempat mau mengeroyok bapak yang ngasih isu palsu itu. Nah lho, kenapa jadi brutal, tapi nggak kok. Mereka cuma ngegerundel, shs$hsss wewwesss casffd@!!? fgdskjh#$azz!!!…, bukannya takut. Tapi… gimana ya, sejak awal memang sudah salah kan? Melawan? Babak belur. Yang ada kecewa berat pokoknya. Waduh, tidak beres otak mereka, melakukan kebaikan malah kecewa.
Perjalanan yang panjang kami isi dengan berbagai hal agar tidak membosankan. Salah satu caranya; yaah biasa, nyanyi-nyanyi dari lagu dangdut sampai hip hop. Tidak peduli penumpang lain pada keberisikan. Untung tidak ada yang menimpuk pakai sandal. Kami sih berharap ada yang menimpuk pakai hp, atau lontong tahu, pasti asyik!
Piuh, akhirnya setelah kira-kira separuh perjalanan kami semua nyaris bisa duduk bareng. Tempat duduk sebelah berhasil kami monopoli. Menyanyi lagi dan bergurau riang. Kadang diseling tidur lima menit untuk menghemat tenaga.
♪♫Aku ingin terbang tinggi seperti elang… ini tanganku untuk kau cium, ini tubuhku untuk kau peluk tapi tak bisa kau miliki… ♫♪ Lagu Dewa ini yang paling sering diputar berulang-ulang. Kalau kaset bisa cepat rusak tuh, di reff melulu.
Pukul lima sore, kereta masuk ke stasiun Kiara Condong, Bandung. Mereka lalu menelpon ke Mapala__Astapala Bandung. Biasa mau menumpang tidur, sekalian cari info tentang Gunung Salak.
“Ternyata banyak neng geulis nyak?” Dede yang menunggu di luar wartel menatap liar setiap cewek yang lalu-lalang di jalan. Logatnya pun dibuat sesunda mungkin.
“Benar, kenapa ya?” Kentang ikut berpartisipasi mengamati pemandangan segar cewek-cewek Bandung yang manis dan modis, beda jauh dengan penampilan cewek-cewek yang ikut dalam rombongan mereka. Ujang dan Noly tampak cuek dengan hal-hal begituan, mereka hanya sibuk menikmati rokok sambil jongkok di teras wartel. Bagaimana pun Ujang kan sudah ada Pheenux dihati. Ceileee… tipe cowok setia nih ceritanya.
Mendadak terdengar desingan keras mengagetkanku sehingga memaksa leherku mendongak ke atas. Busyet, baru kali ini aku melihat pesawat terbang serendah ini. Aku bener-bener ternganga.
“Tiarap, tiarap!” seru Dede sambil mengangkat gitar untuk melindungi kepalanya.
Wah, keren ya?seruku masih takjub sambil menunjuk ke atas, membuat orang-orang yang lewat memandang kami. Mungkin dibenak mereka, wah, ini pasti orang udik nih! Memang!
Teh Mei yang juga orang Sunda dan pernah jalan-jalan ke Bandung beringsut menggeser posisi berdirinya. Malu atuh! Masak Teh Mei yang manis ini disetarakan dengan anak-anak udik macam mereka. Nggak level!
“Wah, sampai kaget aku,” ungkap Dede pula. “Kirain ada pesawat tempur lewat sambil jatuhin bom.”
Hei, kalian. Jangan ndeso gitu napa. Malu-maluin tahu!cetus Noly yang sewaktu mengucapkan kata ndeso terdengar aneh ditelinga kami, orang Jawa. Noly memang asli Jakarta. Dia sudah bisa mengerti bahasa Jawa, meski belum bisa mengucapkan dengan baik dan benar.
“Kau juga ndeso kawan, wajahmu itu lho. Ndeso tenan!” balas Dede mancap langsung ke hati.
“Iya deh, yang waras ngalah.” ucap Noly.
Adu mulut itu terhenti ketika Citonk muncul dari dalam wartel bareng Pheenux dan Ujang yang pada waktu pesawat lewat ikut menyusul ke dalam wartel. Dari hasil birokrasi katanya sudah oke, kita diijinkan menginap di Astapala.
Hari sudah mulai gelap. Kami segera mencari angkutan ke sekre Astapala. Sungguh saat yang tidak tepat mencari angkot. Jam-jam segitu jam pulang kantor dan pabrik untuk wilayah Bandung. Kami harus berjuang kejar sana kejar sini agar dapat peluang. Dengan berat hati rombongan terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama Pheenux, Citonk, aku, Teh Mei dan Kentang. Kelompok kedua sisa dari lima orang tadi.
Dan tahu tidak, kami pikir meski dapat tempat di tengah angkot kami bisa duduk. Jangan harap kawan, ini bukan Purwokerto yang selalu menyediakan jengkok (tempat duduk mungil) untuk ditaruh di tengah di sela tempat duduk angkot resmi meski dilarang. Kali ini aku benar-benar membela para sopir angkot Purwokerto. Aku dukung mereka ngumpetin jengkok untuk dipakai saat darurat seperti sekarang ini. Gara-gara tiada jengkok, aku n the genk harus rela jongkok di tengah angkot dan dijepit lutut-lutut penumpang lain.
Setelah kaki semutan akhirnya kami bisa duduk pada tempat yang semestinya. Selama perjalanan kami selalu waspada dan berkali-kali bertanya pada pak sopir sampai pak sopir mau muntah mendengar kami tiap lima detik tanya masih jauhkah, STT Telkom Bandung itu? Pada pertanyaan ke seratus, kami kemudian dilempar ke pinggir jalan sama pak sopir angkot.
Benar-benar marah pak sopir itu, nyatanya ketika kami tanya ke penduduk sekitar mereka bilang masih jauh. Kira-kira 1 km lagi, busyet!
Kami akhirnya jalan, sambil sesekali mengawasi angkot yang lewat. Bukan mau naik angkot lagi (tidak ada budget) tapi, menunggu klongkot (kelompok angkot) kedua. Setiap ada angkot yang lewat kami pelototin sampai angkot yang lewat itu langsung kabur tidak berhenti-berhenti (memang tidak ada kawanan lusuh bin kumuh sih).
Jadi sempat terpikir jangan-jangan empat anak itu nyasar. Salah naik angkot, turun sebelum waktunya, atau… malah sengaja kabur? Wah, bagian terakhir tuh yang gawat, mungkin tidak sih? Ah, yang penting saling percaya saja. Lagian kami punya sandera Kentang. Kalau mereka sampai kabur lihat saja, Kentang ini bakal kami cincang kami buat keripik kentang.
Limabelas menit kemudian setelah leher kaku karena bolak-balik tengok ke belakang, datanglah sebuah angkot impian. Ya, sebuah angkot dengan carrier nangkring di atasnya. Pastilah kawan-kawan ajaib kami menyelip di antara penumpang lain. Serentak kami berteriak berusaha menghentikan angkot itu. Berhasil, berhasil, berhasil, horeeee! Teriakan kami sukses membuat angkot berhenti beberapa meter depan kami.
Satu persatu muka-muka lusuh turun dari angkutan itu. Spontan kami saling bersalaman, berpelukan dan bertangis-tangisan. Aneh banget pokoknya, mendadak kena sindrom kangen. Padahal baru setengah jam terpisah, tapi bagi  kami serasa satu abad. Di negeri antah berantah je, maksudnya di kota yang sama sekali asing.
Kami bersyukur bisa ketemu lagi, kalau sampai terpisah tidak ketemu-ketemu, gawat kan? Bisa-bisa dibuka operasi SAR. Memalukan! Tiga anggota UPL MPA UNSOED dan teman-temannya tersesat di kota Bandung. Cckck… di peradaban, Nek! Masak nyasar! Merusak image UPL yang pernah ke Cartenz Pyramid ajah (malah kemarin sudah ke Elbrus, Kilimanjaro dan besok rencana mau ke Vinson Massif dan Aconcagua). Sayang bukan aku yang melaksanakan tugas suci itu, hiks, hiks....

Ternyata sangat susah mencari lokasi kampus STT Telkom. Lebih mudah menemukan suatu titik dalam hutan dengan peta. Tinggal pakai guide punggungan dan kompas bisa langsung ketemu. Lha di sini kami sudah menggunakan guide andalan kami guide cocot (panduan mulut) bertanya-tanya, hasilnya malah muter-muter tidak karuan. Untung kami ketemu mahasiswa nan budiman yang bersedia mengantar kami sampai ke tujuan. (selanjutnya kami bertiga eh, berempat terkesima dengan pesona cowok-cowok STT Telkom)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS