RSS
Container Icon

The Three Mbakentirs ke Gunung Salak (katanya 1)

Elang, Terdampar!

sumber foto : sidomi.com

 Ternyata virus kangen tidak hanya melanda kami (aku, Pheenux dan Cithonk) saja. Anak-anak Yogya ternyata merindukan kami juga. Satu bulan kemudian saat ada momen tujuh belasan kami (aku, Pheenux, Cithonk plus anak Yogya) sudah merencanakan pendakian berikutnya. Rencana awal sih ingin naik Gede-Pangrango. Tapi ternyata kami yang iseng ngegombal ke anak sekre lain malah mendapat berita duka kalau Gunung Gede-Pangrango tidak menerima pendaki pada tanggal 17 Agustus. Wah, kecewa berat! 
Katanya sih, takut populasi pendaki bakal meluap dan menimbulkan lautan sampah. Yah, kebanyakan pendaki memang tidak peduli dengan sampah. Mereka dengan semena-mena membiarkan bungkus-bungkus makanan mereka tercecer merana di gunung yang dingin. Kasihan, kasihan, kasihan.
Akhirnya setelah mengadakan diskusi panjang kali lebar lewat telpon pilihan jatuh pada Gunung Salak. Sayang referensi tentang tetek bengek Gunung Salak tidak ada di pusdok (pusat dokumentasi) sekre UPL, mungkin dia sengaja ngumpet dari kami. Terpaksa deh mendaki pakai ilmu kiralogi.

*H1 (Pra Operasional)
Benar saja kawan, ilmu kiralogi tidak memuluskan jalan kami. Dari awal kami sudah salah jalan. Ternyata tidak ada kereta dari Purwokerto yang langsung ke Bandung. Jadilah kami naik kereta nebeng sampai stasiun Kroya. Oh ya, anak-anak Yogya menjemput kami di Purwokerto dulu baru berangkat bareng ke Kroya.
“Untung nggak ketinggalan kereta kayak ke Lawu dulu,” ucap Pheenux menyeringai setelah kami sukses menemukan kereta yang bisa membawa kami hingga Kroya saja, “Pakai ngejar-ngejar kereta pula!”
“Memang nggak apa-apa tidak beli tiket?” tanyaku was-was.
“Tenang, kan ada Ujang.” kata Ujang membusungkan dada.
“Benar, wajahmu kan horor, jelas petugas tiket bakal takut.” smash Pheenux.
Santai Sus, kalau ada pemeriksaan tiket tinggal bayar aja. Gampang kan?” timpal Citonk menjawab rasa was-wasku.
“Aku juga sering nembak!” aku Ali kemudian. “Lumayan hemat. Bisa bayar separuhnya atau malah kurang dari itu, hee….” (ini jaman dulu lho saat kereta ekonomi belum ber-AC seperti sekarang).
“Wah, ilegal!” bisikku miris. Bagaimanapun aku ini kan anak manis. Selalu taat aturan. Bahkan karena begitu taat aturan, dulu waktu pertama masuk SMP pas OSPEK dan masih pakai baju SD aku memakai seragam lengkap anak SD, pakai topi dan dasi. Padahal waktu itu tidak ada yang memakai dasi. Kena lah aku! Ini SMP nduk bukan SD. Kesasar ya? Celetuk Pak Pembina membuat mukaku merah kuning hijau.
“Sesekali-kali jadi anak nakal, Sus.” kedip Pheenux.
Jadi anak nakal jangan ajak-ajak!” jitak Ujang ke kepala Pheenux.
“Sembarangan!” Pheenux melotot.
“Memang kamu minta ijin ortu kalau naik gunung?”
“Jangan gitu, Jang, aku juga nggak pernah ijin kalau ke gunung. Eh, pernah sekali ding, pas naik gunung pertama__Slamet. Selanjutnya… hehe… ilegal.” ungkapku terus terang.
“Tuh, kan bukan aku aja yang nggak minta restu.” ucap Pheenux merasa dapat dukungan teman senasib seperjuangan.
“Mbak Mei, pernah ke gunung mana aja?” tanya Citonk pada seorang cewek berjilbab yang Ujang bawa dalam pendakian kali ini. Selain Mei ada satu orang lagi, dia Dede. Kebetulan Dede dan Kentang duduk terpisah dari mereka.
“Baru ke Ceremai.” jawabnya.
“Ciremai?” mataku berbinar. “Kami malah belum pernah ke sana.
“Kapan-kapan kita ke sana yuk!” ajak Pheenux bersemangat.
Boleh, boleh.” sahutku dan Citonk  penuh gairah.
“Siap-siap!” seru Ali. “Tang, De!” panggilnya.
Kami bersembilan dengan cuek turun di stasiun tersebut tanpa bayar. Selanjutnya Pheenux dan Ujang mewakili kami menuju loket. Bukan mau beli tiket lho, cuma mau tanya keberangkatan kereta ke Bandung.
“Hebat! Kita harus nunggu sampai berakar dan lumutan.” lapor Pheenux yang sudah balik bareng Ujang.
“Jam berapa, Pheen?” tanya Citonk.
“Dua jam lagi baru ada. Katanya tadi kereta yang ke Bandung baru aja berangkat.”
Kami mendengus kecewa.
“Padahal aku baru bilang beruntung kita nggak ketinggalan kereta, ini malah lebih parah, ketinggalan sama sekali.” ucap Pheenux.
“Perasaan jadi nggak enak, jangan-jangan bakal terjadi hal-hal yang nggak diinginkan.” timpalku menyeringai.
“Hush! Jangan ngomong sembarangan!” larang Teh Mei. “Pamali atuh!”
“Tapi benar loh Teh,” lanjut Pheenux. “Dulu, pas ke Lawu kita nyaris ketinggalan kereta dan apa yang kita alami? Kita ketemu mahluk-mahluk jelek yang sok manis dan menyebalkan itu!” Pheenux member isyarat menunjuk para cowok yang sedang asyik menghisap asap nikotin.
Teh Mei senyum manggut-manggut.
“Siapa mereka?” tanya Dede penasaran yang tak melihat isyarat Pheenux.
“Yang pada duduk di sebelahmu!” tunjuk Pheenux tanpa basa-basi.
Dede tertawa girang sambil nunjuk-nunjuk Ujang, Noly dan Kentang.
“Hei denger! Ketemu kami justru membawa berkah. Coba nggak ada kami pas Citonk keseleo, siapa coba yang mau gendong dia?”
”Ali!” koor kami bertiga.
Ujang cengar-cengir.
“Lagian siapa yang mau digendong kalian. Idiiih, sori Bang!” kata Citonk.
“Yaah, paling nggak kami berguna sebagai koki dan tukang pasang tenda setelah itu, tho? Harusnya kalian berterimakasih sama kami.” kata Ujang masih nggak mau kalah.
“Kami nggak nyuruh kalian pasang tenda dan memasak. Bagi kami ada yang mau jadi korban, bahagia banget! Ya nggak?” Pheenux mengerling ke aku dan Citonk. Kami menyambutnya dengan anggukan dan acungan jempol mantap.
“Cebret tenan! Jadi cuma dimanfaatin toh.” Ujang geleng-geleng kepala menatap kami. “Hebat, hebat, hebat!”
“Hei, hei lihat, aku udah mulai jenggotan nih!” Kentang memegang jenggotnya yang cuma tiga helai.
“Gara-gara nunggu kereta mpe tumbuh jenggot ya, Tang.” tanggap Dede. “Coba lihat!” Dede memeriksa jenggot Kentang.
“Adauow!!” tiba-tiba Kentang berteriak. “Sakit tau!”
“Ini sih bukan jenggot. “ Dede masih bersikap sok serius dan cuek tidak peduli Kentang yang menoyor kepalanya. “Ini sih rambut yang iseng tumbuh di situ.”
Kami melihat ulah keduanya dengan geli.
“Sebenarnya kita mau naik gunung atau kemping sih?” ucapku spontan setelah melihat barang bawaan kami yang tidak meyakinkan.
“Naik gunung, tho? Naik gunung Salak. Kamu tidur ya, Sus?” jawab Ujang.
“Perasaan kok kayak mau kemping ya, tuh bawa gitar segala.” tunjukku ke gitar yang dipeluk Dede.
“Itu sih nyawa dia,” kata Noly akhirnya.
“Benar kawan. Gitar is my life!” tanggap Dede dengan lafal Inggris yang belepotan. “Buat jaga-jaga juga kalau ntar kehabisan duit, bisa buat ngamen!” Dede mulai menggenjreng gitarnya. “Atau sambil nunggu begini, nyanyi aja yuk!” tanpa mendengar komentar yang lain sebuah nada lagu Sheila On Seven mengalun lewat petikan gitar Dede.
Tanpa komando dua kali kami langsung unjuk suara, meski suara kami kacau, antara fals, sumbang dan kontrol nadanya itu loh! Adu balapan juga sama gitar Dede. Untung nggak ada mbak Ii (Tri Utami), bisa dibantai habis-habisan kami nanti, nyanyi nggak memperlihatkan keindahan ditelinga. Lama-lama seperti kena setrum Ali dan Teh Mei ikutan menambah paduan vokal yang amburadul. Sampai orang-orang yang lewat pada menutup kuping.
Selain nyanyi-nyanyi kami juga melakukan aksi bengong, tukar cerita konyol dan menertawakan orang lewat. Malah sempat terpikir mau melakukan pertunjukan topeng monyet dengan para aktor:
Dede        : monyet 1
Kentang   : monyet 2
Noly         : monyet 3
Ujang       : anjing
Ali            : tukang ambil duit
Mendengar ide cerdas kami para cewek jelas para cowok ngomel-ngomel dan protes keras atas perlakuan yang tidak berperikehewanan.
“Masa Mas Dede yang cool (keren) ini suruh akting jadi monyet, hah! Yang bener dong!” protes Dede. “Gimana kalau orang utan aja?”
Mendengar itu anak-anak langsung ngakak.
“Kurang gemuk dan berbulu tuh! Mana ada orang utan kurus dan gundul gitu,” cetus Noly membuat kami tambah ngakak.
Pukul setengah sepuluh, kami mulai siaga. Takut ketinggalan kereta lagi. Sebagai antisipasi kami meronda bergantian di ujung peron masuk kereta. Noly yang dapat giliran terakhir kembali dengan lesu. Jam sepuluh sudah, dan kereta yang ditunggu belum menampakkan batang moncongnya.
“Nihil!” cetus Noly.
“Tanya lagi yuk!” ajak Citonk. “Teh Mei, yuk!” ketika tidak ada yang merespon, aku ikut menyusul.
“Wajahnya kok pada mendung, nyanyi lagi yuk!” Dede kembali menggenjreng gitarnya. Lagu Ari Lasso, Misteri Illahi. Cocok banget dengan suasana mereka. Yang lirik awalnya, aku masih di sini… mendekap hampa dihati… bla bla….
“Ternyata jam sebelas baru datang.” lapor Citonk.
“Wah, bapak tadi tuti (tukang tipu) banget.” cetus Pheenux.
“Katanya ada halangan, entah apa.” klarifikasi Teh Mei.
“Tapi kok pada senyum-senyum gitu, kita kan jadi deg-degan!” ucap Kentang.
“Dia kan di kampus termasuk Mapres.” puji Pheenux.
“Ah enggak, kok!” protesku malu-malu. “Mengada-ada Pheenux tuh!”
“Mahasiswa berprestasi? Hebat!” ungkap Teh Mei. “Nggak nyangka ya?”
“Mahasiswa prengas-prenges (suka meringis)!” koor Pheenux dan Citonk.
“Huu dasar!” amukku.
“Ge-er dia,” kata Pheenux ke Citonk cekikikan.
“Senyum itu ibadah,” dalihku kemudian. “So, keep on smile!” aku meringis menampakkan seluruh jajaran giginya yang kuning.
“Hiyy, jorok gigi kuning gitu. Gosok gigi seminggu berapa kali, Neng?” tuding Ujang.
“Enak aja! Teratur dong, sehari dua kali, kadang malah tiga kali. Mang dari sononya gini. Yang penting, kan ramah.”
“Ah yang bohong?” komentar Kentang tanpa ekspresi.
“Banyak senyum berarti kamu punya banyak pahala Sus, bagi-bagi tho!” celetuk Dede. “Jangan pelit!”
“Hahh!”
“Koleksi sendiri, Bung!” balasku. “Lagian dibanding dengan pahala koleksi dosaku jauh lebih banyak, mau? Dengan senang hati aku kasih, gratis deh.”
“Walaah, kalau itu aku bersemeru-semeru.” ucap Dede.
“Bersemeru?”
“Gunung Semeru kan tinggi, kalau ber- berarti banyak. Bayang pun Gunung Semeru kalau ditumpuk-tumpuk sampai 100 tingkat, kalau ibarat air sampai tampungannya nggak muat terus banjir kemana-mana. Lha itu….” tunjuk Dede. Yang lain bengong mengikuti arah tunjukan jari Dede. “Kucing!”
“Apa sih?”
“Nggak nyambung!” runtuk kami semua.
Kami terus bersenda. Aku pikir masa penantian kami bakal garing, kering kerontang seperti musim kemarau. Nyatanya bersama mereka suasana sungguh renyah, legit dan manis. Lapis Surabaya kalah. (kira-kira kereta datang jam berapa ya? Dan ketakutanku karena naik kereta nggak bayar membawa petaka bagi kami semua... ikuti lanjutannya yach!)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS