RSS
Container Icon

Cermis Gunung Lawu



Cerita Mistis Pendakian Gunung Lawu

sumber gambar : ekalawu.weebly.com
 
 “Tang, tadi malam kamu lihat gak?” Kunyit tiba-tiba berseru pada Kentang. Saat kami mulai bosan menunggu kereta yang lewat.
“Hii... syerem deh!” sahut Kentang sambil menutupi mukanya.
“Apaan sih?” selidikku penasaran. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Aku beringsut merapat ke Cithonk yang sibuk menghitung jumlah rel kereta.
“Cerita gak ya?”
“Jangan, syerem!” kata Kentang. “Nanti kalian pada takut lho!”
“Lebih nyeremin dia, kali.” tunjuk Pheenux pada Ujang yang asyik berasap duet bareng Noly.
“Jangan gitu, tho? Biar serem begini hatiku, selembut sutra.” sahut Ujang begitu tahu telunjuk Pheenux menuding ke mukanya.
Sontak yang lain pada tertawa. Kunyit dan Kentang tambah meledek Ujang.
“Cerita dong!” aku yang sebenarnya takut tetap saja penasaran tentang sesuatu  yang seram itu. Mendadak sunyi, seruanku menghentikan tawa mereka.
“Tadi malam ada yang mengikuti kita.” kata Kunyit. Membuat kami semua serentak mengerumuni Kunyit kecuali Ujang, Noly dan Kentang
“Pendaki lain? Kok aku nggak melihat?” sambar Pheenux membuatku menyadari sesuatu.
“Lebih baik kalau kamu gak melihat, Pin.” balas Kentang yang meringkuk dekat tas carrier yang dibawa Ali. “Ngeri deh!”
“Makanya tadi malam aku menghitung jumlah kalian dan mengabsen satu persatu.” terang Kunyit.
Aku ingat semalam Kunyit mendadak aneh menyorotkan senter ke muka kami semua dan sempat membuatku kesal. Kalau tidak salah waktu Cithonk minta turun dari gendongan Ali dan kami duduk melepas lelah. Sekaligus memberi kesempatan Ali untuk bernafas.
Kunyit juga menempatkan kami para gadis di tengah-tengah para pejantan. Dan entah kenapa kami semua menurut saja komandonya. Bahkan Kunyit mengatur dirinya berjalan di antara aku, Cithonk dan Pheenux. Alasannya sih karena dia tidak bawa senter.
Setelah itu leader perjalanan kami, Ali. Dan ekor rentetan rombongan kami pasangan Alex-Kisky. Curang sekali ya anak-anak Yogya itu. Tidak mau ambil resiko. Cari yang aman di tengah. Tapi di tengah juga belum tentu aman, kan?
Kunyit menyeringai, “Orang yang mengikuti kita tidak punya kepala, lho. Hiii...” Kunyit bergidik sendiri.
“Hah?” kami semua langsung disco horor.
“Yang bener, Nyit? Kan gelap, mungkin mukanya saja yang nggak kelihatan.” kata Pheenux.
“Dia membawa caping yang di dekap di dadanya.” lanjut Kunyit tidak menanggapi Pheenux. “Dan waktu kita berhenti istirahat menurunkan Cithonk dari gendongan Ali, dia duduk di sebelah Ujang.”
“Cepret! Kau tak bilang-bilang, hah?” Ujang ngamuk-ngamuk di luar kerumunan. Tapi tidak ada yang memperdulikan.
Aku langsung celingak-celinguk meski tahu sekarang siang hari dan posisi kami sudah di stasiun kereta. “Dia mengikuti kita sampai mana?” tanyaku sambil memegang tengkukku.
“Sampai pos satu aku lihat sudah tidak ada.” kata Kunyit.
Semua tampak bernafas lega.
“Beneran sudah tidak ada?” Kisky masih tidak yakin.
Kunyit manggut-manggut, “Tapi kalau setelah itu dia masuk tenda ikut tidur bareng mereka, aku tidak tahu ya.” kata Kunyit menunjuk kami rombongan Purwokerto.
Kami bertiga saling pandang dan spontan jejeritan heboh. Tidak! Kami bisa ternoda! Tidak peduli lingkungan sekitar.
“Jangan-jangan dia tidur di sebelahmu, Nux?” ucapku yang kebetulan tidur di tengah.
“Ah, nggak ada kok!” bantah Pheenux.
“Tapi kamu kan, tidak bisa melihat.” komentar Ali membuat Pheenux pucat. Aku mengangguk-angguk setuju.
“Di samping Cithonk juga mungkin, kan?”
“Aku merapat ke ujung tenda.” alibi Cithonk. “Pokoknya tidak ada ruang tersisa.”
“Bisa jadi dia malah tidur di tengah antara Pheenux dengan Suxie, atau antara Suxie dengan Cithonk.” Alex urun pendapat yang tidak tepat. Itu semakin membuat kami berhoror ria.
“Tenang, dia hanya mengantar kita sampai pos satu kok,” kata Kentang membuat kami tenang.
“Sebenarnya waktu aku usul agar Cithonk digendong. Aku mau minta tolong sama dia untuk menggendong Cithonk. haha...” Kunyit masih saja menjahili kami.
“Gak lucu!” cetus Cithonk memerah.
“Sembarangan!” timpal Pheenux. “Jangan-jangan kamu yang memanggil dia.”
“Aku nggak ikut-ikut lho, aku nggak bisa melihat.” kata Ujang ingin tampak bersih di mata Pheenux.
“Kamu kan gerombolan Kunyit, pasti terlibat.” tuding Pheenux berapi-api.
Lagi-lagi Ujang dan Pheenux saling berdebat. Tapi nampaknya dari percikan-percikan bara permusuhan itu tercipta sebentuk aura merah jambu di hati Ujang. Cinta, kawan! Ujang telah tersetrum getaran kata-kata Pheenux yang tajam.
Hhh, kembali ke masalah kawan baru kami yang mistis. Terus terang baru kali ini aku, Pheenux dan Cithonk secara tidak langsung bersentuhan dengan mahluk halus melalui Kunyit, dkk. Sebelumnya belum pernah kami mengalami kejadian mistis semacam ini. Apa karena kami anak UPL anak yang baik-baik ya, jadi mereka tak mengganggu kami dengan penampakan dalam bentuk apa pun. Semoga!
Yang jelas, sejak mendengar cerita Kunyit tentang sosok tanpa kepala itu setiap melakukan kegiatan malam pikiranku selalu parno. Mau pipis saja tidak berani sendiri dan tidak berani jauh dari tenda. Parah! Jadi harap maklum, kalau pagi-pagi yang tercium bukan wangi alam tapi aroma hasil buangan alamiah. Pesing, Bleh! Wkwkwkak....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS