Lanjutan...
Pen, Aku Padamu...!
Selepas pos III medan
sudah berupa jalan setapak tanah dengan tanaman semak menghiasi sisi kanan-kiri
kaki mereka, cukup menyenangkan. Apalagi banyak bonusnya. Kami melipir bukit kecil
yang menjulang di sayap kiri, sayap kanan jurang landai yang mengarah ke
lembahan. Segar pokoknya, laksana hamparan karpet hijau yang digelar pada atas bukit dan
lembahan. Karpet alam berwujud asli rumput-rumputan (sabana) atau tanaman semak
termasuk edelweis yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan saja.
“Dulu di sana
itu banyak edelweisnya, kayak taman edelweiss gitu!” terang Ali sang guide. Ali menunjuk ke sebuah lembahan.
“Pada minggat kemana edelweisnya?” ucapku.
“Biasa buat souvenir.” balas Ali.
“Wah, wah!”
“Nggak asyik banget sih.” tambah Pheenux.
“Penduduk atau pendaki yang sering ngambil?” selidikku.
“Aku kira dua-duanya,”
Kami menghela nafas sangat
menyayangkan kondisi yang mengenaskan itu. Sedikit mengutuk
manusia-manusia yang tega mengeksploitasi alam dengan merampas edelweis dari
singgasananya. Tapi kalau yang mengambil penduduk memang jadi sebuah dilema. Kesulitan
ekonomi sepertinya memaksa mereka memetik dan menjualnya demi sekeping uang untuk makan. Meski tetap saja
tidak bisa dimaafkan.
Yang kebangetan kan
para pendaki. Sadis, jadi seorang penikmat alam yang menggerayangi alam
kemudian mencampakkan. Tidak bertanggung jawab tuh, seenaknya saja mengambil
yang bukan miliknya. Souvenir gunung mereka bilang? Keterlaluan!!! Lalu kami? Kami kan anak-anak manis, Insya Allah
tidak akan melakukan hal-hal yang dilarang oleh senior UPL. Di antaranya ya
memetik edelweis. Kalau ketahuan, bisa disuruh mengembalikan ke habitatnya
sambil jalan jongkok bonus push up 100 porsi.
Suasana masih hening, yang terdengar hanya derik langkah
kaki kami masing-masing.
Tiba di sumber air drajad rombongan yang tersisa tinggal lima biji.
“Lho, yang lain pada kemana?” tanyaku kaget. “Bukannya Ali tadi berjalan tepat
di belakang kita. Ngilang kemana dia?”
“Huh, payah!” keluh Noly. “Tadi sih mereka memang berhenti. Aku kira cuma
sebentar terus nyusul.”
“Menyebalkan!” gerutuku lagi. Pheenux hanya geleng-geleng kepala.
“Mau ambil air nggak?” tanya Citonk setelah mendengus
lelah.
“Ntar turunnya aja, kalo air cuma buat minum sih masih,”
Pheenux
mendekat ke Citonk dan aku yang duduk terpisah darinya. “Eh, minta air matang yuk?” ajak Pheenux ketika melihat ada rumah-rumahan.
“Kayak warung makan?” ujarku heran. “Jadi ini yang dimaksud mall sama Kunyit?”
“Iya, ini.” tanggap Noly.
“Wah, sakti
banget ya bapak-bapak itu.” komentar Pheenux sebelum masuk warung ketika melihat seorang bapak
datang membawa segunung kayu bakar.
“Udah biasa kali.” tanggap Citonk. "Yuk, ah masuk!"
“Noly, airnya ngambil di sini?” tanyaku menunjuk sebuah bak
penampungan air yang bibir baknya aku duduki. Aku tidak ikut masuk ke dalam warung.
“Iya, situ.” jawabnya singkat sambil menghisap sebatang
rokok. Dia lalu menawari ke Alex, tapi Alex menggeleng.
“Makasih,” ucapnya. “Nggak ngerokok.”
Beberapa menit kemudian Ali muncul bersama Kisky. Tiga anak Yogya lain belum kelihatan.
“Mana yang lain?” sambut Noly.
“Masih di bawah. Tapi mereka sudah jalan kok.” jawab Ali.
“Pada ngapain sih?” tanyaku penasaran.
“Biasa pada ngerokok, terus tidur-tiduran.” terang Ali.
“Dasar, pada nggak sadar apa kalo ditungguin.” gerutu Noly yang anaknya kalem
tidak seperti ketiga rekannya.
Pheenux dan Citonk nongol dari warung sambil mengacungkan tas plastik hitam. "Ada yang mau?"
"Apaan tuh?" sambutku.
"Tempe goreng," sahut Pheenux sambil menyeringai.
Kami semua menatap lapar, tanpa komando kami sudah menyergap tas kresek hitam dari genggaman Pheenux. Tak ada satu menit tempe dalam plastik telah raib berpindah ke perut kami.
Pheenux dan Citonk nongol dari warung sambil mengacungkan tas plastik hitam. "Ada yang mau?"
"Apaan tuh?" sambutku.
"Tempe goreng," sahut Pheenux sambil menyeringai.
Kami semua menatap lapar, tanpa komando kami sudah menyergap tas kresek hitam dari genggaman Pheenux. Tak ada satu menit tempe dalam plastik telah raib berpindah ke perut kami.
Begitu ketiga mahluk Yogya kelihatan batang hidungnya dan setelah tempe tandas,
kami
memutuskan melanjutkan kembali perjalanan. Lagipula menurut Ali, puncak sudah dekat.
Dari tempat kami berdiri saja puncak sudah terlihat. Ayo, semangat!!
Matahari saat itu tepat di atas kepala. Cuaca panas dan
berdebu menyambut laju kaki tertatih
kami yang menanjak di antara bulir tanah kering. (sayangnya lagi-lagi aku kena sindrom puncak. Fiuh... sampai nggak ya?)