lanjutan...
Pen, Aku Padamu...!
“Bener nih, kalian mau ikut kita bermalam di sini nggak
ngelanjutin?” tanya Pheenux ke Kisky
dan Alex.
Keduanya mengangguk, lalu mencari sarang mereka sendiri.
“Jangan karena kami lho yaa? Kami nggak biasa jalan
malam.” tambah Citonk.
Kami anak UPL memang anti jalan malam dan tidak setuju dengan model mendaki SKS (Sistem
Kebut Semalam). Sesuai dengan kode etik kepecintaalaman yang menyarankan/MENGHARUSKAN aktivitas
jalan dilakukan siang hari. Alasannya : Pertama; jika jalan malam dikhawatirkan bakal bertemu
dengan binatang yang tidak diinginkan (buas maksudnya), karena beberapa
binatang yang berbahaya melakukan aktivitasnya di malam hari. Kedua; karena
hawa dingin bisa mengganggu metabolisme tubuh__serangan hipotermia lebih ganas.
Pengecualian kalau di goa yang nggak ketahuan siang – malamnya, dan hawa di goa tidak
sedingin di gunung. Ketiga, bagi yang belum pernah naik, kemungkinan buat
nyasar lebih besar. Apalagi kalau jalurnya banyak percabangan, mau ormed gelap.
Jadi nyasar kan?
Ini dia faktor utama kenapa banyak
pendaki yang mati di gunung. Modal fisik saja tanpa bekal pengetahuan yang
memadai.
Pokoknya resiko jalan malam lebih besar deh, yang lebih
gawat lagi kalau ketemu Mbak Kunti dan teman-teman. Hiiiii… serem nggak
sih!
Malam itu begitu cerah, ditemani api unggun yang sukses aku buat bareng Ali dengan
bersusah payah. Bagaimana tidak, kalau buatnya tanpa bahan bakar penyulut seperti minyak tanah,
spirtus ataupun bensin. Benar-benar ajang praktek cara survive di alam. Setelah api jadi Ali kebagian tugas mencari
kayu-kayu kering. Dengan catatan tidak mengganggu tanaman yang masih hidup. Citonk yang tidak begitu pandai masak malam itu dapat jatah masak.
Malam itu banyak juga yang masih nekat mendaki. Kurang
lebih pukul delapan tiba-tiba ada pendaki yang berhenti di perkemahan kami. Jumlah mereka ada
sekitar empat orang. Itu juga kalau tidak salah hitung. Dengan seenaknya mereka
makan dan menguasai api unggun hasil kerja kami. Sumpah,
kesal banget. Apalagi mulut mereka berkoar tidak karuan.
“Ooo, Pheenux, Citonk, Ali terus yang memakai jilbab tadi siapa? Sushi?” seorang anak
menunjuk satu persatu muka rombongan dari Purwokerto. "Sushi kok kayak nama makanan ya?"
"Wah, iya jadi lapar nih, Tang!"
"Kok laporan ke aku?"
"Wis, wis, soal perut nomer dua. Kita kan belum memperkenalkan diri."
"Kalau lapar jadi tidak bisa maksimal menampilkan diri dong." protes seorang yang tadi bilang lapar.
"Diam, pret! Kita mulai saja,"
Dengan pe-denya mereka memperkenalkan
diri mereka. Asli tidak ingin tahu. Kalau tampang mereka ganteng-ganteng sih,
langsung kami mintain tanda tangan malah.
“Yang pakai topi ala bajak laut itu, Kunyit!” kata si rambut
gondrong lusuh, yang tadi paling ngebet ingin memperkenalkan diri.
“Sebelah pohon Kunyit, berambut keriting namanya
Kentang, terus yang agak ganteng itu, Noly. Dan
dari kami berempat yang paling ganteng ini jelas, Ujang!” ujarnya menepuk dan
membusungkan dada. Derai suara huu... membahana.
“Cepret,
paling ganteng dia bilang?” kata anak
yang bernama Kunyit mencak-mencak di sambut pembelaan diri Ujang.
“Dari mana, Mas?” Pheenux bertanya pada Noly yang duduk sebelah Ali.
“Dari bawah mau ke atas,” serobot Ujang tertawa bareng Kunyit.
“Hush, ketawa.
Gak ada yang lucu. Serius, serius!” Kentang berhasil membungkam tawa Ujang dan Kunyit. Tapi selanjutnya
giliran dia yang cekikikan sendiri.
“Dari Yogya.” sahut Noly singkat padat dan jelas. Tidak seperti teman-temannya yang pada saraf semua.
Malam yang kusangka akan indah,
berubah jadi bencana bagi kami dengan hadirnya gerombolan gila ini. Aku
mendadak mengidap penyakit gondok. Cuma bisa cengar-cengir menahan
ketidaknyamanan arena percakapan yang tidak jelas ujung pangkalnya.
Lega banget rasanya bisa menghilang dari mereka. Pheenux dan Citonk
menyusul. Akhirnya kami buka salon di dalam tenda. Obat cantik kami keluarkan,
perkakas perempuan seperti bedak, lipstik, minyak wangi, ups! Memang kami cewek
apaan? Yang jelas aku mengeluarkan cairan yang katanya bisa menghapus jerawat
dari mukaku. Pheenux dan Citonk jadi pada ikutan tuh, menggosok-gosok muka
mereka biar besok pagi bercahaya, mengalahkah sinar matahari.
(tunggu sambungannya ya, bagaimana empat cowok pendatang baru itu menggoda tiga cewek cantik dari Purwokerto). C U!