*Sebuah Kisah Tentang Aku
dan Pantaiku
Pagi itu aku terbangun oleh percikan sinar mentari pagi.
Hawa dingin dan hembusan mesra bayu memaksaku kembali ke balik sleeping bag
yang hangat.
Suara canda air yang bermain dengan angin menggugah
sadarku serta mengabarkanku untuk segera beranjak dan menyapa sang penguasa
siang.
Senyum hangatnya
seakan mengobarkan semangat hidup abadi.
Sejurus kemudian aku telah menatap lepas tanpa batas.
Wangi laut tanpa komando menyergap indera pembauku. Sangat khas dengan aroma
peluh si pelaut.
Tiba-tiba kudengar suara bisikan yang menegakkan bulu
kuduk. Suara bisikan yang memilukan, rintihan yang mengisyaratkan mengharap
uluran tangan. Bisikan itu bergema ditelingaku “tolong… tolong aku!”
Terpaku aku. Sementara otak warasku berpikir ini
hanyalah halusinasi yang tak perlu aku hiraukan.
Namun suara itu nyaris memekakan gendang telingaku. Ku
coba mengikuti arus suara mengarah. Hingga ku dapati bisikan itu semakin jelas
tatkala telingaku hampir berciuman dengan pasir halus menghampar di depan
indera lihatku.
“Tolong aku wahai
manusia!” bisikan itu seakan berseru kepadaku.
Aku anggukkan
kepala tanda jika aku benar mendengar jelas seruan mengiba itu.
“Lihatlah aku wahai manusia! Aku si pasir malang, bagian
dari keindahan pantai yang terkapar tak berdaya.”
“Lihat! Gerangan
apakah yang mengitari aku!”
Aku mengernyitkan dahi, menegakkan kepala lalu duduk
bersila, kemudian berkomat-kamit laksana orang gila menghitung apa yang
ditangkap lensa mata dalam diri sang pasir. “manusia, binatang, serpihan rumah
kerang, perahu, jaring, dan tanaman”. Tebakku.
“Tertutupkah matamu wahai manusia? Sesuatu hampir
menelanku?Tidakkah engkau menyadarinya?”
Aku diam tak mengerti apa yang dimaksud sang pasir
dengan bisikan gaibnya. Aku bahkan ingin sekali mengacuhkannya.
“Tidakkah kau
lihat begitu banyak sampah yang menutupi kecantikanku?”
Ups! Aku lupa menyebutnya. Benar, sampah nyaris
membelenggunya dalam kebusukan.
“Bersediakah
engkau mempersunting aku?”
Hening sejenak.
“Kudengar engkau seorang pecinta. Engkau bahkan
mendeklarasikan dirimu sebagai seorang pecinta yang mencintai alam. Betulkah?”
Kata-kata itu seakan menghantam telak ke ulu hati
sehingga tanpa aku sadar setitik air yang tak ingin ku cucurkan menetes lewat
celah sanubari yang telah lama tertutup kepongahan.
“Bersediakah engkau menyucikan ragaku dengan cintamu?
Aku sakit, aku miskin cinta, sementara di sini aku menanggung beban berjuta
kotoran sisa manusia. Salahkah jika aku menuntut cinta atas ketidakadilannya?
Walau mereka tlah meracuni diriku?”
Termenung aku.
Naif sekali.
Pertama kali aku mengenalnya aku bahagia mengagumi
kecantikannya, lalu bermain, tertawa, berteriak bebas. Kini ketika sampah telah
mengisi hari-harinya aku hanya bisa mengeluh. Keluhan tentang keburukan,
ketidakindahan dirinya yang pernah mendamaikan jiwaku.
Jiwaku yang dulu
merindu ketentraman, haus ketenangan.
Hari ini mataku
terbuka.
Ternyata kedewasanku selama ini tak cukup memahami
keinginan dari cintaku. Begitu bodohnya aku hingga hanya bisa bermain dalam
duka alam yang senantiasa teraniaya olehku. Oleh ego dan pongahku tuk
menaklukkan dirinya yang berselimut pesona dan mimpi manusia.