RSS
Container Icon

Perjalanan Etape 2

(lanjutan *perjodohan)

Sebuah suara mengaburkan segala kenyamanan yang kurasakan saat aku mencoba merebahkan tubuh lelahku.
 “Mari kita lanjutkan langkah kita!” serunya.
 Aku duduk tersenyum. Gerak selanjutnya kembali aku merayap bersama jiwa-jiwa yang mendamba keagungan singgasana.
 Tak terasa tabir terang berganti corak menjadi hitam malam. Aku duduk mengitari api penebar hangat bersama jiwa-jiwa pencari cinta. Banyak cerita, kelakar dan canda. Semua itu membuat hatiku menghangat dan terhibur. Kisah-kisah dan kelucuan yang dilepaskan perlahan menjadi dongeng-dongeng indah dalam mimpi semalam.
 Pagi cerah menyambut geliat mata yang terbuka. Senyum ceria jiwa-jiwa lain yang menyertaiku menambah suasana gemilang. Entah dengan raut mukaku. Bersukakah? Ujian berat untuk mendapat tiket masuk singgasana baru akan dimulai. Tak ada gairah dalam diriku. Aku hanya mengandalkan keinginan diri tuk tetap hidup. Tentu saja! Aku tak mau mati konyol. Ini akan menjadi tongkat sakti yang bakal menuntun  pijak kakiku hingga ku bersanding dengannya nanti.
 Sedikit lagi, pompa semangatku. Jangan mati sia-sia di sini. Tak seorang akan menemanimu kelak. Hanya dingin, gemuruh angin dan tiupan petir yang akan menjilati jiwa kesepianmu. Mantapkan! Bersemangatlah!
 Teriakan kemenangan berkumandang. Ini…..ini adalah puncak singgasana tempatku akan bersanding kelak. Mataku nanar memandang ke sekeliling. Decak kagum tanpa kusadari memuji keindahan istana di atas awan. Dari sini aku merasa bisa melihat dunia seluruhnya. Aku sungguh kecil, sangat kecil. Teringat aku lagu tentang negeri di atas awan milik Katon Bagaskara. Dia benar. Kedamaian adalah jiwanya. Ingin sekali bisa menyatu dalam keheningan alam yang menggambarkan segala kehidupan anak manusia. Dia adalah saksi bisu yang setia menemani polah laku yang kadang sering melukai kesabaran hatinya.
 Kemudian, aku terkesiap. Sebuah wajah lugu nan menawan mendesirkan hati. Piasnya tersembul dari balik gugusan awan. Senyum itu. Jantungku berdetak cepat. Mengagumkan! Mahkota dari jamrud berkilauan menerpa jubah kebesaran bertahtakan mutiara bening yang singgah di pagi buta. Wawasannya luas, mengisahkan dongeng pembentukan aura cantik yang kini memancar.
 Ini adalah maha karya agung yang teramat sempurna. Beberapa kali ku bisikkan nama Sang Pencipta yang telah menghadiahkan keindahan ini. Terimakasih.
 “Ayo, kita segera turun! Sebelum dingin mengarcakan tubuh kita.” seru jiwa yang menyertaiku.
 Tanpa banyak kata aku mengikuti langkah-langkah berarak turun menyusuri jalan setapak menjauh dari singgasana tempat ku bertemu dengan seorang yang dijodohkan untukku. Ada getar aneh menelusup ke nurani. Hatiku perlahan berkata. “Akan kupertimbangkan perjodohan ini.”
 Aku tersenyum puas. Letih yang melibas anggota badanku meluruh bersama tatapan pesona nan anggun itu. Lepas….. Batinku bahkan berucap, “Tunggulah, hadirku akan kembali memeluk dingin yang kau cipta hingga hangat kan kau rasa. Ku pastikan aroma indah yang kau tawarkan akan selalu ku ingat dalam hati yang merindu.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perjalanan Etape 2

* Perjodohan

Ketika embrio berkembang dan terlahir menjadi seorang bayi yang mungil, sebuah taqdir terlukis bahwa dia, bayi mungil itu yang juga aku adalah salah satu dari anak alam. Meski tidak langsung lahir dari perutnya, tapi aku tetap dianggap anak baginya. Aku digembleng oleh siang dan malam yang telanjang. Saat kedewasaan mendekat, aku harus siap menerima perjodohan yang telah disematkan.

Hari ini hatiku resah. Otot-otot tubuh ikut menegang. Seiring otak yang mengutuk tajam kelemahan argumenku tuk mengatakan, Tidak! Mereka tersenyum menyambut kebisuan yang kutampilkan. Tunggu! Ini pasti salah paham! Aku diam bukan berarti aku bersedia, justru kebimbangan yang mengisi penuh benak dengan ribuan pertimbangan.

Terlambat. Ketukan palu telah memutuskan aku harus setuju menerima tantangan perjodohan ini. Meski ketika teringat bagaimana dia menghajarku, mencaciku dan menertawakan diriku ingin rasanya menyudahi permainan bertaruhkan nyawa ini. Terlambat, sekali lagi terlambat. Aku semakin terjerambab jauh dalam arena perputaran nasib yang mengarahkan laju langkahku pada tangga tak beranak. Aku telanjur berucap akan bersedia mengenalnya. Mereka mengartikannya secara berlebihan. Aku harus menikah dengannya?

Baiklah. Demi harga diri agar tidak dijuluki si pecundang, aku rela menyerahkan diriku sebagai bentuk pengabdian. Toh, aku tidak sendiri. Aku yakin akan ada yang mendongkrak semangatku nanti.

Dengan enggan aku mengikuti arak-arakan dalam baris satu-satu yang rapi. Sebuah gerbang megah menjadi batas antara kerajaan alami dengan peradaban kontaminasi. Hawa dingin menerpa lembut dengan tusukan maut menghujam tulang. Nafas mulai kering, berhembus satu persatu. Sementara beban dipundak menekan seakan ingin menancapkan langkahku pada tatanan tanah basah.

Aku sadar, aku hanyalah seorang muda yang lemah. Aku hanya anak manja dari peradaban modern yang tak mengerti dunia alam atau kerajaan liar itu. Jiwaku mencintai dunia kerlip dengan desingan suara gaduh, aku sama sekali tak suka seni petualangan yang dicintai para maniak alam. Tapi…., kenapa dia memilih aku tuk jadi teman hidupnya. Bukankah banyak pejantan tangguh yang lebih kenal dirinya dan mencintainya? Bahkan mereka rela jika harus menjadi budak-budak yang bersedia tunduk pada titah sang alam. Tidak dengan aku.

Aku kira dengan mencoba sisi lain sebuah dunia akan membuatku bahagia. Kenyataannya aku hanya semakin terjebak. Perangkap yang dipasang olehnya sangat erat memasung raga dan sukmaku. Mustahil lepas! Jika kupaksa aku hanya akan menyakiti nyawa lain yang masih ingin menghirup madu kebebasan. Seteguk madu manis yang bagi mereka sangat menggairahkan. Tidak dengan yang kurasakan.

Siang ini hawa dingin yang menyelimuti dinginnya tubuh, sedikit banyak berhasil ditepis oleh pancaran panas surya yang dengan lincah menerobos celah diantara rimbunnya pepohonan. Selama aku melangkah dia tetap setia menyorotkan berkas hangatnya, hingga keringat mengucur deras membasahi balutan tubuhku. Masih jauhkah singgasananya? Hanya itu yang selalu kuucapkan dalam hati tuk mengusir lelah dan bosan.

Aku teguk setetes air tuk menghilangkan dahaga. Undakan yang akan membawaku ke singgasana pelaminan diwarnai dengan berbagai rintangan yang menyusahkan dan melelahkan. Aku mendongak ke sisi kananku jauh di atas. Samar terlihat singgasana yang berhias rangkaian awan putih. Begitu agung. Tidak jauh lagi. Hibur nuraniku. (bersambung….)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS