RSS
Container Icon

Oktober Still Love

Masihkah Kau Mencintaiku?


Sedikit tergelitik dengan acara reality show berjudul ‘Masihkah Kau Mencintaiku?’ Apalagi waktu kebetulan menonton tema yang diajukan mengenai suami yang tidak lagi perhatian seperti saat bulan madu dulu, eh, kemudian menuduh selingkuh.

Jika benar terjadi perselingkuhan bukankah seharusnya pihak yang diselingkuhi introspeksi diri? Bukannya langsung men-jugde bahwa itu murni kesalahan suami/istri yang selingkuh. Ngaca dunk, say! Sudahkah kau memberikan yang terbaik bagi dia. Sudahkah kau menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami/istri secara seimbang.

Bukannya berheboh ria memanggil kru TV untuk mem-blow up (dimana ‘maluku’ berada saat itu; sepertinya tidak lagi di Indonesia) masalah kamar rumah tangga.

Yeach! Mungkin itu bukan urusanku juga. Tapi ku punya sebuah cerita menarik tentang masihkah dia mencintai kita.

Sebuah kisah yang mungkin bisa menjadi cermin bagi kita, agar tidak langsung main tuduh yang kelak justru bisa berakibat fatal.

Kisah ini ku ambil dari buku ‘Indahnya Kegagalan’ pengarang Yusron Pora.

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan hangat. Kami telah menjalani masa perkenalan 3 tahun, waktu yang cukup lama untuk mengenal dia sebelum masuk masa pernikahan yang sudah saya jalani selama 2 tahun ini. Terus terang saya mulai lelah dengan pernikahan kami. Segala alasan yang menyebabkan saya mencintainya berubah menjadi sesuatu yang membosankan.

Saya seorang yang sensitif dan berperasaan halus yang selalu menginginkan romantisme dengan pasangan. Sayang, suami saya kurang sensitif dan tidak bisa menciptakan suasana yang romantis seperti yang saya inginkan.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya yang ingin bercerai dengan dia. Dia terkejut dan menanyakan alasannya, “Mengapa?”.

“Saya lelah, kamu tidak pernah memberikan cinta yang saya inginkan”.

Dia hanya terdiam dan sepanjang malam malah berada di depan komputernya. Kekecewaan saya semakin bertambah, saya pikir buat apa mengharapkan seorang pria yang bahkan saat seperti ini pun tidak menampakkan reaksi apapun. Begitu dingin!

Keesokan paginya dia bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?”

Saya menatapnya dalam dan menjawab dengan pelan, “Saya punya pertanyaan, jika kamu dapat menemukan jawaban yang ada dihati saya, saya akan berubah pikiran.

Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?”

Dia termenung dan akhirnya berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.”

Hati saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya ketika saya bangun, dia sudah tidak ada di rumah. Saya hanya menemukan selembar kertas dengan coretan tulisan tangannya di bawah segelas susu.

Tulisan itu berbunyi;

Sayang, aku tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tapi ijinkan aku menjelaskan alasannya.

Kalimat pertama sudah menghancurkan hati saya, tetapi saya lanjutkan membaca.

Kamu mengetik di komputerku dan selalu mengacaukan program PC-nya, kamu lalu menangis di depan monitor. Pada akhirnya aku harus memberikan jari-jariku agar bisa membantumu memperbaiki programnya.

Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan aku harus memberikan kakiku supaya bisa mendobrak pintu, membukakan pintu untukmu ketika pulang.

Kamu suka jalan-jalan keluar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, dan aku harus menunggumu di rumah agar bisa memberikan mataku untuk mengarahkanmu.

Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘teman baik’mu datang setiap bulan, dan aku harus memberikan tanganku untuk memijat kaki dan pinggangmu yang pegal.

Kamu lebih banyak di rumah, dan aku selalu khawatir kamu akan menjadi ‘aneh’ hingga aku harus memberikan sesuatu yang dapat menghiburmu atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami.

Kamu selalu menatap komputer, membaca buku yang tidak baik untuk kesehatan matamu, dan aku harus menjaga matakku agar ketika kita tua nanti aku masih dapat membantumu menggunting kuku dan mencabut ubanmu.

Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar cantik seperti cantiknya wajahmu.

Tetapi sayangku, aku tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Aku tidak akan sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku.

Sayangku, aku tahu ada banyak orang bisa mencintaimu lebih dari aku mencintaimu. Untuk itu sayangku, jika semua yang telah diberikan oleh tanganku, kakiku, mataku tidak cukup bagimu, aku tidak bisa menahan dirimu untuk mencari tangan, kaki dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.

Air mata saya jatuh ke atas tulisan dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha membacanya,

Dan sayangku, jika kamu telah selesai membaca jawabanku. Jika kamu puas dengan semua jawabanku dan tetap menginginkan aku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita.

Aku sekarang berdiri di depan pintu menunggu jawabanmu.

Jika kamu tidak puas, sayangku. Biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kau bahagia.

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri tepat di depan pintu dengan wajah penasaran. Di tangannya tergenggam setangkai gelas berisi susu dan roti kesukaanku.

Akhirnya saya tahu bahwa tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya. Ternyata cinta yang dia berikan kepada saya telah hadir dalam bentuk lain yang sama sekali jauh dari bayangan saya. Cinta romantis yang penuh dengan bunga, tidak lebih baik dari tangan, kaki dan mata yang dia persembahkan untuk saya.

So, masihkah dia mencintaiku?

Tanyalah hatimu yang paling dalam, kemudian bercerminlah sudahkah kita memberinya hal yang serupa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS